Senin, 06 Juli 2009

“Philosophy Emerging from Culture: Islamic Thought and Indonesian Culture”


Menghidupkan Kembali Makna Asli Filsafat

Bangsa Indonesia dengan khazanah keragaman budaya dan agama serta pemikiran filosofisnya ternyata menyimpan potensi besar yang mengundang para filosof dan pemikir dunia untuk datang dan menelitinya.

Prof. Dr. George Francis Mc.Lean, Direktur Council for Research in Values and Philosophy (CRVP) Catholic University of America Washington DC, berkerja sama dengan Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta dan Penerbit Mizan memboyong 5 tokoh pemikir dan cendikiawan kelas dunia untuk bersafari keliling ke 10 Universitas terkemuka di 5 kota di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Subaraya, dan Malang.

Rombongan filosof internasional itu adalah Prof. Dr. George F. McLean (dari Catholic University of America, Washington DC), Prof . Dr. Gholamreza Aavani (Direktur The Iranian Institute of Philosophy Iran), Prof. Dr. Osman Bakar (Emeritus Professor dari Universiti Malaya, Malaysia), Prof. Dr. Karim Douglas Crow (dari Nanyang Technological University, Singapore), Prof. Dr. Muhammad Yasin (dari University of the Western Cape, South Africa ), dan Dr. Hu Yeping (CRVP at the Catholic University of America , Washington DC).

Husain Heriyanto, M.Hum, sebagai Project Officer rangkaian konferensi (seminar) ini menyatakan bahwa tujuan safari ilmiah ini adalah untuk mengeksplorasi potensi pemikiran filsosofis dan kebudayaan yang lebih tanggap terhadap problema kemanusiaan, mengelaborasi potensi kebudayaan Indonesia untuk turut menyumbang kekayaan dan keragaman modus pemikiran manusia yang tidak melulu mengacu kepada dunia pemikiran Barat, serta menjajagi kemungkinan filsafat dan tasawuf Islam untuk turut merespons krisis legitimasi pemikiran modern (etis, epistemologis, kosmologis).

Menurut Husein, Direktur Avicena Center for Religions and Science (ACRoSS)-ICAS, rangkaian seminar ini adalah untuk merespons rekomendasi Kongres Dunia Filsafat bertema Rethinking Philosophy Today di Seoul pada Agustus 2008 silam, yang menyerukan agar filsafat memilki komitmen intelektual terhadap problema peradaban kontemporer. “Kami, panitia penyelenggara Serial Konperensi se-Jawa (5 – 15 Januari 2009) bermaksud mengeksplorasi potensi filsafat yang memiliki visi dan perspektif yang lebih mampu menyentuh isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan pada umumnya.” Jelas Husain Heriyanto, kandidat doktoral UI yang kini dosen Filsafat & Logika di ICAS jakarta.

Menurutnya, rangkaian seminar ini dilatari kesadaran bahwa kini filsafat dan kebudayaan Barat modern telah membonceng imperialisme politik dan ekonomi Barat didukung oleh keunggulan sains dan teknologi mereka, telah membelenggu cara berpikir manusia modern umumnya. Telah tiga ratus tahun ditanamkan bahwa filsafat itu adalah semata pelayan sains positivistik (materialisme ilmiah); bahwa filsafat terbatas pada olah nalar menganalisis bahasa; bahwa berfilsafat itu identik dengan berpandangan skeptisisme yang menolak kebenaran universal; bahwa filsafat tidak berhubungan dengan isu-isu moral dan kemanusiaan. Dalam alam pemikiran postmodernis, Filsafat, dalam maknanya yang asli sebagai ‘cinta kebijaksanaan’, sesungguhnya telah mati; dan ia telah bermetamorfose menjadi miso-sophy (‘benci kebijaksanaan’).

Tidak kurang dari 60 sarjana terkemuka setingkat profesor, doktor serta master dari berbagai universitas itu terlibat sebagai nara sumber dan pembicara. Antara lain mereka itu:
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara Prof. Dr. Alois Agus Nugroho, Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Dadang Ahmad, Prof. Dr. Chaedar al-Wasliyah, MA, Prof.Dr. Kusanaka Adimiharja, Prof. Dr. Ahmad Sanusi, Prof. Dr. Baharudin Ahmad, Prof. Dr. Ari Hedi Ahimsa, Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof. Dr. H. Nursyam, M.Si, Prof. Dr. Ishom, Dr. Vincent Jolasa, Prof.Dr. H. Nursyam, M.Si,Dr. Seyyed Mohsen Tabatabaei, Dr. Budya Paradipta, Dr. Haidar Bagir, Husain Heriyanto M.Hum, Dr. Michael Dua, Herminie Soemitro, M.Hum, Donny Gahral Adian, M.Hum, Murniati Agustian, M.Pd, Febiana Rima Kainama, M.Hum, Dr. Zainal Abidin Bagir, Dr. Mukhtasyar Syamsuddin, Dr. Agus Wahyudin, Dr. Syafaatun Amirzamah, Dr. Abdul Kadir Riyadi, Dr. Khairun Niam, Dr. Muhadjir Efendi, Dr. Arief Budi Heriyanto, Dr. Masdar Hilmy MA, dll.

“Rencananya, seluruh makalah dan transkrips hasil rangkaian seminar ini akan diterbitkan menjadi buku yang akan disebarkan ke sekitar 350 universitas sedunia.”, papar Husain Heriyanto. Sebagai tindak lanjut dari rangkaian seminar Philosophy Emerging Culture ini, maka para tokoh pemikir filsafat international telah sepakat untuk mendirikan International Society for Islamic Philosophy (ISIP), untuk periode awal ISIP ini dipimpin oleh Prof.Dr. Gholamreza Aavani sebagai ketua dan Prof.Dr. Osman Bakar sebagai Wakil ketuanya. Sementara untuk Region Asia Tenggara akan bermarkas di Kuala Lumpur Malaysia, dan Chapter Indonesia yang mencakup Indonesia, Australia dan New Zealand bermarkas di ICAS Jakarta.

Dalam sambutannya pada Public Seminar di ICAS, Selasa, 6 Januari 2009, Dr. Seyyed Mohsen Tabatabei Yazdi, Direktur ICAS Jakarta menegaskan bahwa walaupun ICAS adalah masih merupakan sebuah lembaga yang kecil, namun ICAS mempunyai mimpi-mimpi dan cita-cita yang besar, yaitu untuk menjadikan Filsafat, khususnya filsafat Islam sebagai fokus utama dari ilmu pengetahuan dan kesadaran umat manusia, khususnya di Indonesia. Dengan penghargaan sepenuhnya terhadap komitment kemanusiaan dan perhatian yang tulus untuk berdialog menjembatani pemikiran antar berbagai kelompok agama dan peradaban serta budaya dunia, ICAS Jakarta berkeinginan untuk menghidupkan kembali Filsafat Islam. Sebab menurutnya, Filsafat Islam adalah filsafat yang hidup dan menghidupkan, dinamis dan terbuka, bukan sekedar merupakan cerita sejarah atau hanya merupakan bagian dari filologi (ilmu kebahasaan) semata. Dan juga bukan sekedar kumpulan doktrin tanpa relevansi dan sumbangsihnya yang bermakna terhadap solusi atas problem kontemporer global dan tantangan kemanusiaan. Dengan pendekatan yang rasional dan spiritual, pengajaran Islam melalui pendekatan Filsafat Islam dan Tasawuf (Islamic Mysticism), diharapkan akan mengantarkan umat manusia kepada keharmonisan, kebenaran dan kesempuraan kehidupan dunia dan akhirat.

Menghidupkan kembali Filsafat Islam
Umat Islam diingatkan untuk menghidupkan kembali filsafat Islam. Inteletual Muslim, Dr Haidar Bagir dalam wawarancaranya dengan wartawan Republika, mengatakan, kehadiran filsafat Islam yang dianggap sebagian orang telah 'mati' sangat diperlukan kaum Muslimin di era modern ini. Filsafat Islam, tutur dia, dapat memberi manfaat bagi kehidupan umat.

''Filsafat Islam bisa mengembalikan makna hidup yang sebenarnya,'' ungkap pendiri Islamic College for Advanced Studies (ICAS) itu di sela-sela acara A Set of Conferences Across Java di Jakarta, Selasa (6/1). Presiden Direktur Mizan itu menambahkan, akibat tak mengetahui dan mengenal filsafat Islam, masyarakat Indonesia seakan telah kehilangan pegangan dan makna hidup.

Menurut Haidar, filsafat Islam bisa mendorong kaum Muslim benar-benar memahami kompleksitas persoalan pembangunan sistem-sistem kehidupan alternatif. Hanya dengan menguasai isu-isu filosofis mendasar, papar dia, kaum Muslim dapat berpartisipasi dalam upaya mencari sistem-sistem terbaik bagi kepentingan semua orang.

"Filsafat juga bisa memberikan kebahagiaan ke dalam kehidupan manusia dan juga meningkatkan keimanan," tutur Haidar. Menurut dia, kini pengaruh filsafat Islam telah luntur karena kurangnya penghargaan terhadap Islam. Padahal, kata Haidar, filsafat Islam lebih kaya cakupannya dibandingkan filsafat Barat.

Haidar mencontohkan, hampir segala hal seperti sains dan alam semua dasarnya ada dalam filsafat Islam. "Filsafat Islam tidak kalah baik dari pada filsafat Barat. Filsafat Islam ini begitu kaya dan luas," ungkapnya. Ia menegaskan, filsafat Islam berbeda dengan filsafat Barat. Sebab, filasafat Islam berakar dalam metafisika, epistomologi realis-konstruktif dan bersifat teologis.

Peradaban Islam pernah mencapai masa kejayaan dalam berbagai bidang dibandingkan kebudayaan masyarakat lain. ''Salah satu faktornya, filsafat berkembang dengan subur.'' Menurut dia, pada masa keemasannya, peradaban Islam dikembangkan oleh figur-figur ilmuwan yang dikenal sebagai filosof seperti; Jabir Ibnu Hayyan, Al-Biruni, Ibnu Sina, Al-Razi serta Al-Tusi.

Haidar pun mengutip pernyataan Prof.Dr. Osman Bakar yang menyatakan mundurnya sains di dunia Islam lantaran dipicu oleh permusuhan terhadap filsafat yang dilakukan negara-negara Muslim. Haidar mengaku prihatin, karena sebagian besar masyarakat Indonesia telah didominasi oleh logika kapitalisme-liberalism yang mengikuti filsafat Barat.

Dalam kesempatan yang sama, Profesor Karim Douglas Crow dari universitas Teknologi Nanyang, Singapura, menegaskan untuk menjadi bagian dari masyarakat global tanpa kehilangan identitas, umat Muslim harus bisa menggali ajaran Islam dan ajaran Nabi secara komprehensif. Dengan memahami ajaran Islam dan Rasulullah SAW, kata dia, umat Islam harus bisa menerjemahkan dan mengimplementasikannya dalam kehidupan kontemporer.

Dalam konteks sejarah Islam Nusantara, Prof.Dr. Abdul Hadi WM mengungkapkan bukti bahwa ajaran Filsafat Islam dan Tasawuf Islam sebenarnya sudah begitu akrab dengan dunia intelektual bangsa Indonesia (Melayu & Jawa) sejak awal kedatangan Islam di Indonesia. Prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Keadilan, Kemanusiaan, Hikmah-kebijaksanaan dan Musyawarah menjadi menu utama karya-karya filosofis dan tasawuf di Nusantara.

Dalam makalahnya yang berjudul: “Adab dan falsafah: Pemikiran Islam di Indonesia Abad ke 16-17 M.”, Abdul Hadi memaparkan misalnya betapa karya ilmiah dari Bukhari al-Jawhari, Tajus Salatin”, begitu mempengaruhi kehidupan para sultan dan raja-raja Islam serta masyarakat di Aceh, Sumatra, dan Jawa serta pulau-pulau lainnya. Begitu juga karya-karya filosofis-sufistik Hamzah Fanshuri, Syamsuddin Sumatrani, Abdul Rauf Singkel, Nurrudin Ar-Raniry, Sunan Bonang, dll. telah mewarnai kehidupan, etika, peradaban dan budaya lembaga-lembaga pendidikan masyarakat Muslim Nusantara sebelum kedatangan para penjajah kolonialis Barat ke Indonesia.

Pendidikan Islam dan Budaya Pesisir
Pendidikan selalu berhubungan dengan budaya, karena budaya ditransmisikan dari seseorang ke orang lain, demikian juga pendidikan. Mendidik berarti melakukan internalisasi budaya kepada orang lain. Islam meyakini, pendidikan bahkan sudah dimulai sejak manusia masih dalam kandungan. Seseorang yang mengandung, kemudian menjaga diri dari makanan yang tidak halal, berarti sudah meyakini dan berusaha mendidik calon anaknya untuk menjadi anak yang bersih.

Demikianlah sebagian prolog materi yang disampaikan Director of the Iranian Institute of Philosophy Iran, Prof Dr Gholamreza Aavani, dalam “Seminar on Education in Islamic Perspective and Pesisir Culture” di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Kamis (15/1). “Pendidikan dalam Islam memiliki nilai persahabatan, cinta kasih. Ini mengambil ontologi dari sifat Allah yang Rahman dan Rahim. Cinta Allah secara Rahman diberikan kepada semua umat agama, sedangkan Rahim hanya untuk kaum Muslimin,” lanjut Aavani.

Untuk mengimplementasikan sifat Allah itu, di dalam sebuah keluarga maupun dalam lembaga, pendidikan harus memiliki spirit mencari hikmah. Aavani berpendapat, Syariah merupakan salah satu perspektif penting pendidikan dalam Islam dan adab (ethic) tak sekedar sebagai pendidikan yang bersifat materialistik tapi juga jiwa.
Aavani mengritik Imam Al-Ghazali yang berpendapat ada ilmu yang tidak bermanfaat. Baginya, tak ada ilmu yang tidak bermanfaat, sekalipun itu ilmu dunia. Sebab, untuk mencukupi kebutuhan duniawi, tentu diperlukan ilmu alam, seperti fisika, kedokteran, dsb. Sehingga, antara syariah, hakekat dan irfani tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Seminar yang diselenggarakan atas kerjasama UMM, CRVP-The Catholic University of America, The Islamic College (ICAS) Jakarta, dan Penerbit Mizan itu dibuka oleh Pembantu Rektor UMM, Prof Dr Sujono. Seminar diikuti oleh tokoh masyarakat pesisir utara dan selatan Jawa, para pengajar dan dosen UMM, serta dari lembaga-lembaga di atas. Selain Aavani, para pembicara yang hadir adalah Prof Dr Ishomudin (UMM), Prof Dr George F McLean, Asna Husein, PhD (IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh), Dr Arif Budi Wurianto (UMM), Prof Dr Yasin Muhammad (University of Western Cape, South Africa), David Hermawan, MPt (UMM).

Dalam sambutannya, Sujono mengatakan, studi tentang kultur pendidikan dan pesisir merupakan obyek yang menarik. Di Indonesia, kultur pesisir memiliki keunikan dan mitos-mitos yang berkembang hingga saat ini. Di satu sisi, kultur pesisir Jawa Utara cenderung religius, sedangkan pesisir Selatan diwarnai mitos-mitos, semacam Ratu Laut Selatan.

Sementara itu, Prof Dr George F McLean, memaparkan filosofi pendidikan dalam tradisi katolik yang sebenarnya mirip dengan Islam. Dalam pandangannya, interaksi antara universitas sebagai pusat teori, dengan gereja (agama) sebagai pembawa etik, dan negara (regulasi) sangat penting dalam membentuk budaya. Dia memandang, inti ajaran Islam merupakan sesuatu di luar persoalan fisik (beyond phisical).
Secara implementatif, menurut Ishomudin, pendidikan Islam dipraktikkan oleh masyarakat Jawa sejak Islam dibawa oleh pedagang Gujarat ke pesisir Jawa. Terbukti, dari semua penyiar Islam yang dikenal dengan Wali Songo, semuanya bersyiar di pesisir Jawa. Hal ini tentu ada background historis sehingga para Wali memilih pesisir sebagai ruang dakwahnya.

Guru Besar Sosiologi Islam FAI UMM ini mengkritik, kebijakan pendidikan agama saat ini yang dipisah dari pendidikan umum di Indonesia merupakan sebuah dikotomi yang tidak perlu. Sebab, kenyataannya pemisahan itu tak diimbangi dengan kebijakan yang seimbang. “Anggaran dana Depag untuk madrasah-madrasah se Indonesia, tidak lebih besar dari anggaran Diknas untuk sebuah PTN, ini tidak fair,” katanya.
Dari sisi budaya pesisir, Arif Budi Wurianto dan David Hermawan, memaparkan seluk beluk budaya pesisir Jawa Utara dan Selatan. Arif mengatakan, budaya pesisir sebagai modal sosial kultural yang sangat menarik. Hal itu terlihat dari sisi ekologi, geografi, industri dan budaya yang khas pesisir yang berbeda spiritnya dengan masyarakat pedalaman (pegunungan).

Menutup seminar ini, baik Prof Dr George F McLean maupun Prof Dr Gholamreza Aavani, berharap apa yang dilakukan di UMM akan memiliki makna tersendiri. Keduanya optimis dengan spirit yang dimiliki oleh UMM, perubahan kultur pendidikan dan kultur pesisir ke arah yang lebih baik akan berjalan secara baik

Bagaimana dengan Filsafat Jawa ?
Di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu, 14 Januari 2009, dibahas tema “Islamic Thought in Developing Cultural Values: Rural and Urban Communities”. Kegiatan Seminar terselenggara Rabu (14/1), bertempat di ruang sidang Rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya, diikuti 75 orang perwakilan dari beberapa civitas akademika IAIN, mahasiswa program pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan beberapa perwakilan kampus, antara lain ITS, Unair dan Unesa.

Beberapa filosof mengatakan, filsafat Jawa sampai saat ini masih berada dalam pencarian jati diri. Sebagai konsep atau pandangan hidup manusia, filsafat Jawa masih dianggap irasional dan cenderung bersifat mistis daripada sebagai sebuah filsafat yang utuh. Kehidupan manusia Jawa senantiasa tak lepas dari pendekatan mistisisme. Hal ini seperti tercermin dari konsep-konsep seperti ’Sangkan paraning dumadi’ ataupun ’Manunggaling kawula lan gusti’, ”Memayu Hayuning Bawono”
Konsep-konsep tersebut, menunjukkan sikap hidup manusia Jawa yang selalu ingin merefleksikan tentang apa yang terdapat di balik segala wujud indrawi serta pencarian sebab akibatnya. Untuk itu, manusia harus menjalin hubungan baik dengan Tuhan dan sesamanya. Pencarian hakikat hidup itu juga dilakukan dengan ilmu sejati dalam dirinya.

Dalam pandangan hidup manusia Jawa, pewayangan menempati tempat yang sangat penting. Pewayangan adalah dunia khas manusia Jawa. Wayang dengan segala tokohnya merupakan cerminan kehidupan serta norma-norma etis dengan seluruh multidimensi manusia Jawa.
Bahwa menjadi filsuf di Jawa itu tidak perlu jauh dari kehidupan rakyat kecil, dari "budaya alit". Filsuf itu tidak seperti begawan-brahmana dalam Filsafat India, tetapi seperti Punokawan, Semar, Sang Panonong!. Inilah titik krusial dalam alam pemikiran

Di Indonesia saat ini ada tiga diskursus pemikiran di Indonesia: diskursus Islamisme, Liberalisme dan Modernisme. Dalam diskursus Islamisme, terlepas dari pembicaraan yang mencolok bahwa dari ketiga diskursus tersebut, ada persamaan yang patut dicermati yaitu ketiga diskursus itu tidak banyak yang melihat aspek ritual tetapi banyak dicermati dari sisi politik. Dari Islam kasus diskursus Islamis dilihat dari sisi intelektual yang sifatnya teoritis, dalam kasus liberal dan sisi moral etis dalam kasus tersebut. Penekanan sisi politik sebuah agama termasuk Islam dengan melupakan aspek-aspek lain biasanya berujung pada pengkotak-kotakkan masyarakat yang dikotomis.

Dalam kerangka ini semua masyarakat biasanya dilihat dari sisi hitam putihnya saja, benar dan salah, lurus dan sesat, padahal dalam Agama termasuk Islam tidak selamanya tentang pembagian yang hitam putih. Sama dengan diskursus Islamisme, diskursus yang kedua yaitu liberalisme sering kali melihat aspek agama saja dan sering kali melupakan satu aspek penting yang dimiliki oleh agama Islam yaitu syari’ah padahal menurut Gholamreza Aavani, syariah merupakan acuan bagi penganut agama Islam untuk menjalankan ajaran agamanya. Syari’ah juga dimaknai sebagai kerangka moral dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama yang telah dituntunkan. Kelemahan diskursus liberalisme adalah pengandaiannya bahwa seluruh dimensi agama Islam bisa dipahami secara rasional belaka, padahal ada aspek-aspek agama yang bersifat irrasional. Diskursus yang ketiga melihat Islam sebagai sistem moral dan etika. Pada tataran tertentu yaitu tataran dengan sosial kemanusiaan diskursus ini nampaknya memilik relevansi yang tinggi. Dengan melihat agama sebagai system moral dan etika, diskursus ini dapat menemukan dan menawarkan comment value, seperti toleransi, menghormati pendapat orang lain, keharmonisan dan kerukunan yang terdapat dalam semua agama. Dilihat dari sisi teologis dan metafisis, diskursus yang ketiga ini tentunya memiliki kelemahan karena mereduksi agama sebatas sebagai system moral dan akhlak saja.

“Dilihat dari sumber-sumber intelektual ketiga diskursus ini memiliki perbedaan-perbedaan yang mencolok, saya mengamati bahwa sebuah diskursus yang menjadikan legalisasi pemikiran Islam abad pertengahan, berbagai sumbernya biasanya cenderung bersifat konfrontatif dan ideologis. HTI adalah contohnya. Kelompok ini sering kali mengumandangkan slogan-slogan berbau abad pertengahan seperti khilafah. Kelompok ini sering juga menggunakan ide-ide ulama terdahulu seperti Ibnu Taimiyah, sebagai landasan dan kerangka ideologisnya. Padahal sosok dan pemikiran Ibnu Taimiyah identik dengan polemik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan. Analisa yang lebih mendalam didukung dengan fakta-fakta yang ada juga cenderung menunjukkan bahwa hampir seluruh aliran pemikiran abad pertengahan bersifat konfrontatif atau paling tidak pernah terlibat dalam sebuah ketegangan dengan aliran pemikiran yang lain.

Contohnya adalah ketegangan antara madhab Hambali, Maliki, Hanafi dan Syafi’i dengan madhab Dhohiri. Dan juga ketegangan antara sesama madhab kalam seperti As’ary dan Mu’tazilah serta Khawaridz. Diskursus yang kedua yaitu liberal yang banyak melandaskan acuan-acuan epistimologinya pada kajian Islam kontemporer yang kritis, juga tidak kurang konfrontatif dari diskursus yang pertama,” ungkap Kadir.

Islam mempunyai fondasi etik yang sangat indah, banyak orang yang tahu tentang keindahan fondasi etik tersebut akan tetapi mereka belum mempraktekkannya dalam keseharian. Tugas dari ilmuwan, ulama, umat Islam adalah berusaha menggali lebih banyak lagi makna yang lebih dalam dari fondasi etik itu. Sekaligus menjadikan etik Islam sebagai realitas. Sufism ethic is the ethic of realization not just the ethic of conceptualization.

(Ahmad Y Samantho, dari berbagai sumber)
WWW.Madina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar