Dua kata, yakni marah dan berbohong selalu saya dengar sehari-hari. Keduanya tidak bagus dilakukan oleh siapapun. Orang yang sedang dimarahi tidak akan senang hatinya. Hal itu juga sama, sesungguhnya bagi orang yang sedang marah pun juga tidak merasakan enak. Hati dan pikirannya merasa sakit, karena kemarahannya itu.
Lain halnya dengan marah adalah berbohong. Biasanya orang berbohong merasa senang jika orang yang dibohongi tidak mengerti bahwa dirinya sedang dibohongi. Seseorang berbuat bohong biasanya untuk mendapatkan keuntungan. Sedang yang dibohongi, selalu merugi karena kebohongan itu. Orang yang dibohongi selalu marah, karena selain rugi juga sekaligus merasa dianggap bodoh.
Oleh karena itu maka siapapun tidak suka dan bahkan marah jika tahu sedang dibohongi. Bahkan anak kecil sekalipun jika tahu bahwa dirinya sedang dibohongi, walaupun yang membohongi misalnya orang tuanya sendiri, atau orang yang sangat dicintai lainnya, tetap akan marah.
Pembohong, sekalipun mendapatkan keuntungan dan senang tatkala berhasil membohongi orang lain, maka hatinya tidak akan tenang. Ia akan selalu khawatir jika apa yang telah dilakukannya ternyata ketahuan orang. Identitas sebagai pembohong bukanlah membanggakan, tetapi sebaliknya sebagai sebutan rendah. Semua orang tidak mau disebut sebagai pembohong. Kalaupun ia suatu ketika berbohong, tidak ingin diketahui. Sebaliknya, ia tetap berharap dikenal sebagai orang jujur dan amanah.
Selalu bersikap sabar dalam arti tidak pernah marah, dan juga tidak berbohong ternyata bukan pekerjaan mudah. Tidak semua orang bisa segera lulus tatkala belajar kedua hal ini. Ada seorang kyai yang pernah saya temui, mengaku telah lama berusaha belajar terhadap kedua hal ini, ternyata ia merasa belum lulus. Ia katakan, bahwa ada saja yang menyebabkan dua hal itu gagal dicapai.
Dua sikap buruk, yakni marah dan bohong, tampak dan terasa sederhana. Keberadaannya bagaikan kehidupan lalat, selalu ada di lingkungan kita. Binatang berukuran kecil ini tidak mudah dihalau, cepat pergi tetapi juga segera datang kembali. Lalat tidak pernah takut pada orang, selalu ada di mana-mana, sederhana tetapi sebenarnya membahayakan. Marah dan bohong adalah bagaikan lalat. Ketika diusir mereka pergi, tetapi segera datang kembali.
Persoalan bangsa Indonesia yang sedemikian rumit diselesaikan, sesungguhnya di antaranya hanya berawali dari dua hal yang sederhana ini, yaitu marah dan bohong. Banyak orang marah terhadap kebijakan penguasa yang dianggap tidak adil. Kemarahan banyak orang itu kemudian terakumulasi hingga menyebabkan jatuhnya pemerintahan. Demikian pula kebohongan, menyebabkan banyak orang terugikan. Fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme di negeri ini sesungguhnya adalah bentuk lain dari kebohongan itu. Bohong kemudian menjadi tidak sederhana, bahkan merupakan perbuatan yang sangat membahayakan.
Kyai yang saya maksudkan di muka, pernah suatu ketika ditawari untuk terlibat dalam aktivitas politik. Segera tawaran itu ditolak olehnya, karena menurutnya akan mengganggu apa yang sedang ia lakukan, ialah belajar tidak marah dan tidak berbohong. Kyai berpandangan bahwa di dunia politik, menurut sepengetahuannya sulit menghindari dua hal itu.
Oleh karena itu, siapapun yang ingin lulus dari belajar agar menjadi tidak banyak marah dan berbohong, --------tidak terkecuali kyai atau para agamawan, semestinya tidak mendekati dunia politik. Kalau pun mereka tetap merasa harus mengambil peran di sana, dengan alasan sebagai bentuk tanggung jawab mereka untuk membela umat, maka harus disadari bahwa beban itu sangat berat. Umpama akhirnya lulus, menjadi politikus yang sabar dan jujur, maka mereka berhak disebut sebagai orang hebat dan luar biasa. Wallahu a’lam.
Selasa, 29 September 2009 15:15
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1159:belajar-dua-hal--tidak-marah-dan-tidak-berbohong&catid=25:artikel-rektor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar