Di kalangan masyarakat santri, figur kiai, secara umum kerap dipersepsikan masyarakat sebagai pribadi yang integratif dan merupakan cerminan tradisi keilmuan dan kepemimpinan, ‘alim, menguasai ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan mengedepankan penampilan perilaku berbudi yang patut diteladani umatnya. Semakin tinggi tingkat kealiman dan rasa tawadlu’ kiai akan semakin tinggi pula derajat penghormatan yang diberikan santri dan masyarakat.
Sebaliknya, derajat penghormatan umat kepada kiai akan berkurang seiring dengan minimnya penguasaan ilmu dan rendahnya rasa tawadlu’ pada dirinya, sehingga tampak tak berwibawa lagi dihadapan umatnya. Konsepsi kewibawaan ini telah mendifinisikan fungsinya menjadi etika normatif dunia pesantren, yang oleh budayawan Mohamad Sobari disebut sebagai tipe kewibawaan tradisional.
Ciri pertamanya adalah, penggunaan kekuasaan pribadi yang dihimpun melalui peranan masa lampau dari seseorang sebagai penyedia, pelindung, pendidik, sumber nilai-nilai, dan status unggul dari mereka yang memiliki hubungan ketergantungan yang mapan dengan orang tersebut. Adapun indikasi yang lain, bahwa sumber-sumber kewibawaan tradisional tersebut terletak pada posisinya menjadi sesepuh (orang yang dituakan), sebagai sosok ayah, orang yang dapat dipercaya, orang yang dihargai, berkedudukan resmi, memiliki penguasaan ilmu pengetahuan agama, dan posisinya sebagai pemangku lembaga agama (pesantren).
Derajat kewibawaan-kharismatik ini dalam bentuk penghormatan serta ketaatan massa yang bersifat total dan, bahkan ada ciri taqlid buta, sehingga terhadap penilaian suatu perkara tertentu tak lagi perlu ada pertanyaan, gugatan atau diperdebatkan secara kritis (Sobari, 1998: 132). Hal ini diperoleh kiai atas konsekuensi logis dari segi penguasaan yang mumpuni terhadap ilmu-ilmu agama juga diimbangi oleh pancaran budi pekerti mulia, penampakan akhlak al-karimah yang menyebabkan kiai, di mata umatnya, dipandang bukan semata teladan ilmu, melainkan juga sebagai teladan laku: suatu elemen keteladanan yang bersifat sangat fundamental. Unsur berkah keteladanan yang membawa implikasi pada kecintaan, dan kepatuhan atau ketaatan mutlak kepada sang pemimpin kharismatik sehingga dianggap memiliki karomah.
Oleh karenanya, secara otomatis pada dirinya dinilai sebagai orang berotoritas. Adalah bukti nyata bahwa fenomena kewibawaan spiritual kharismatik ternyata telah melintas batas rasionalitas. Apapun yang dikatakan orang, masa bodoh! Demikian adalah prinsip yang dipegang kuat-kuat di kalangan santri tradisonal meskipun kadang kala ia telah berada di luar habitatnya. Atas dasar inilah maka kemudian muncul pola hubungan patron-klien antara kiai dan santri yang bersifat unik serta menarik diamati.
Sebagai ilustrasi, menurut keyakinan santri, mencium tangan Kiai merupakan berkah dan dinilai ibadah, meski orang-orang yang berpandangan puritan mengejeknya sebagai “kultus” individu, dan karena itu syirik. Mereka tetap tak peduli, sebab mereka beranggapan tidak mencium “tangan” yang sebenarnya, karena perbuatan tersebut sedang memberikan penghormatan yang dalam kepada suatu “otoritas”, yaitu kiai.
Dengan demikian, predikat nilai ke-Kiai-an yang berotoritas dan menyandang kewibawaan spiritual kharismatik bukanlah sangat bergantung pada garis keturunan atau karena dari faktor nasabiah, melainkan harus pula ditempuh dengan cara-cara yang rasional, karena tergantung kepada derajat kealiman juga diimbangi oleh teladan perilaku berbudi (akhlak al-karimah). Dalam arti, secara teoritik dan formal bahwa seorang pengasuh pesantren memang harus memiliki kompetensi yang memadai dan telah pula memiliki religious commitment yang kuat. Yaitu penampilan sosok pribadi yang integratif antara ilmu dan amaliahnya.
Aspek-aspek komitmen religius yang kuat itu meliputi, aspek keyakinan (the belief dimension), ritual peribadatan beserta aurad-dzikirnya (religious practice: ritual and devotion), pengalaman keagamaan (the experience dimension), pengalaman batiniah/rohaniah (spiritual dimension), pengetahuan agamanya maupun kosekuensi-konsekuensi amaliah seorang Muslim yang terbentuk secara baik. Maka tidak mengherankan dengan potensi dan kompetensi tersebut kalau seorang kiai pesantren menduduki posisi puncak yang kukuh dalam struktur sosial terutama dalam lingkaran komunitas pesantren. Munculnya fenomena kewibawaan kharismatik tersebut juga dapat ditelaah secara kritis dalam perspektif konsepsi-teori relasi-kuasa model Michel Foucault (2002), yang mendaraskan adanya kuasa pengetahuan sehingga melahirkan otoritas dan power pada seseorang karena memiliki kewibawaan kharismatik.
Pada telaah kasus lain, kita bisa menganalisa bahwa, meskipun kedudukan kiai berada di puncak struktur sosial pesantren, bukan berarti ia tetap berposisi sebagai subyek kekuasaan, apabila hal itu dilihat dari perspektif relasi kuasa-pengetahuan. Kemungkinan dalam hal ini posisi kiai (pengasuh) dan santri adalah sama, sebagai obyek power walaupun keduanya berbeda status, yakni obyek daripada pengetahuan yang “menghegimoni” tadi.
Kita ketahui bahwa sebagai pewaris Nabi, apa yang dilakukan kiai adalah semata-mata karena dilandasi doktrin ikhlas-lillahi ta’ala, demi mengharap ridlo Allah Swt dan derajat darul akherat. Ia mengabdikan hidupnya di pesantren karena untuk merealisasikan sabda Rasul Saw; “Sampaikan dariku meskipun cuma satu ayat”. Juga perintah Rasulallah Saw yaitu, “Barangsiapa menyimpan suatu ilmu (agama) maka ia karena ulahnya itu besok di akherat akan disiksa dengan cemeti dari api neraka”. Pendek kata, tugas mengampu pesantren, mendidik dan membimbing santri adalah kewajiban agama yang sudah semestinya menjadi tanggung jawab seorang kiai sebagai penjaga tradisi pesantren.
Sementara di pihak lain, kepatuhan dan penghormatan yang diberikan santri kepada kiainya adalah karena demi mendapatkah berkah (kebaikan) dari Allah Swt, juga berharap agar ilmunya nanti bermanfaat. Ritus yang mereka jalani itu termasuk bagaian dari mengamalkan ajara tradisi agama. Disebutkan dalam korpus resmi pesantren, yaitu dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim karangan Syaikh Zarnuji (1963: 60), sebagai berikut: “Mereka yang mencari pengetahuan hendaklah selalu ingat bahwa mereka tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan atau pengetahuannya tidak berguna, kecuali kalau ia menaruh hormat kepada pengetahuan tersebut dan juga menaruh hormat kepada guru yang mengajarkannya. Hormat kepada guru/kiai bukan hanya sekedar patuh. Dikatakan pula oleh Imam Ali ra, “Saya ini adalah hamba dari orang yang mengajari saya (Rasulallah), walaupun hanya satu kata saja.”
Para santri harus menunjukkan rasa hormat dan takzim serta “kepatuhan mutlak” kepada kiai dan ustdznya, bukan manivestasi dari penyerahan total kepada orang-orang yang dianggap memiliki otoritas, tetapi karena suatu keyakinan atas kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan (barokah) Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya, baik ketika hidup di dunia maupun di akherat.
Lebih lanjut, Syaikh Zarnuji (1963: 63) mengatakan, menurut ajaran Islam, murid (santri) harus menganggap guru/kiai seperti ayah kandungnya sendiri, sebagai-mana dikatakan dalam sebuah hadits Nabi Saw:“Dan sesungguhnyalah, orang yang mengajarmu walaupun hanya sepatah kata dalam pengetahuan agama adalah ayahmu menurut ajaran Islam”. Hadits ini memberikan justifikasi bahwa apabila santri tidak taat dan patuh pada kiainya berarti secara terang-terangan telah menyalahi apa yang telah dianjurkan oleh baginda Rasul Muhammad Saw.
Berdasarkan korpus resmi ala pesantren, seperti dijabarkan dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan kitab-kitab sejenisnya yang memberikan kontribusi pada sistem nilai yang dianut warga pesantren, kemudian diintrodusir sedemikian rupa dalam praktek-praktek kehidupan santri baik dalam bentuk konvensi-konvensi atau menjadi teknik-teknik disipliner sehingga menjadi tatanan etis yang mengatur hubungan kiai dan santri. Yang terus dipelihara (reproduksi), kemudian disosialisasikan dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi berikutnya dan akhirnya terinternalisasi pada diri setiap santri.
Melalui cara itulah tertib sosial (social order) di lingkungan pesantren bisa ditegakkan. Sedangkan tindakan apapun yang mencoba menyimpang darinya akan dicap indisipliner, mbalelo dan pantas mendapatkan sangsi (ta’zir) atau dikenakan denda. Adapun sangsi yang ada bisa dalam bentuk sangsi moral, sosial ataupun berupa sangsi fisik, seperti cukur rambut, membersihkan selokan, dan untuk kasus pelangaran yang parah bisa dipulangkan kepada orang tua (di-boyong).
Kendati demikian, haruslah diakui bahwa ketaatan mutlak kepada sang kiai, adalah satu disiplin yang keras dalam pengamalan tradisi sehari-hari, kebersamaan dan persaudaraan di kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial dalam kehidupan pesantren. Mungkin inilah gaya indoktrinasi model pesantren. Dapat pula dikatakan sebagai ruh yang semestinya menopang keberlangsungan hidup pesantren sehingga bisa dipertahankan sampai sekarang. Bahkan dampak pengaruh dari aturan-aturan tersebut membentuk kebiasaan yang terus melekat dan mewarnai perilaku santri hingga berpengaruh pada kehidupan setelah masa-masa tinggal di pondok dulu.
Menelusuri lebih jauh dunia pesantren, maka lazim kita temukan, bahwa pada umumnya setiap santri yang ingin belajar mengaji akan mengatakan kalau tujuan belajar ke pesantren tidak lain karena untuk tabarukan kepada kiai. Berkah yang dimaksud itu adalah nikmat Allah Swt berupa kesuksesan dalam menuntut ilmu, yang menurut keyakinan mereka dapat diperoleh lantaran atas budi baik serta do’a-do’a yang diberikan oleh sang guru, selain berkah do’a kedua orang tua di rumah.
Menurut tradisi pesantren, untuk memperoleh berkah itu pada galibnya santri akan menempuhnya melalui dua cara, yaitu; pertama, melakukan riyadhah (olah rohani). Orang Jawa menyebutnya tirakat atau laku keprihatinan (asketisisme). Pada umumnya santri yang melakukan riyadhah akan memperbanyak amalan puasa sunah, sholat-sholat sunah (qiyamul-lail) atau bacaan wirid tertentu. Hal ini dilakukan selain sebagai upaya mensucikan kondisi rohaniah-spiritual (batin) selain sebagai upaya memperoleh berkah dari Allah Swt. Dengan riyadhah santri berupaya menapaki tangga spiritualitas untuk menjalin hubungan yang lebih dekat kepada Sang Khalik.
Kedua, melakukan pengabdian (khidmah) kepada kiai dan pesantren. Bila santri hendak menempuh cara berkhidmah maka mereka akan berusaha membantu meringankan tugas-tugas kiai/ustadz, misalnya bertindak sebagai khadam atau membantu di rumah kiai seperti, menangani pekerjaan di dapur, menjaga kebersihan rumah, merawat anak kiai, membantu pekerjaan di sawah, atau menangani pekerjaan lainnya. Atau dengan melakukan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan urusan pesantren, seperti membantu mengurusi administrasi dan keuangan pesantren, menjadi badal mengajar dan menangani tugas-tugas pondok lainnya.
Berbeda dengan keadaan yang biasa terjadi di luar arena pesantren, di dalam lingkungan pesantren, menjadi khadam kiai di mata penilain para santri merupakan suatu kehormatan tersendiri. Karena bermula dari sinilahlah ia bisa dekat dengan kiai. Artinya mudah diingat dalam do’a kiai, sehingga kebanyakan para santri ‘tradisional’ tetap berkeyakinan; dengan mendapat barokah do’a dari kiai berarti semakin terbuka lebar pintu barokah Tuhan baginya dan bertambah mudahlah untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Dari sudut pandang yang lain, kita dapat menganalisis bahwa munculnya tradisi penghormatan (pemuliaan) terhadap sang guru/kiai sejak awal bisa dirunut dari gagasan tentang “ilmu” yang khas dalam pandang masyarakat santri. Ilmu di dalam khazanah pesantren dipahami sebagai “limpahan karunia ketuhanan” (al-athaf rabbaniyyah) yang mengandung berkah. Sumber ilmu adalah Allah Swt, dan tujuan utama daripada pengamalan ilmu juga dalam rangka pendekatan diri kepada-Nya. Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an (al-Baqarah: 269) yang menjelaskan; “wa man yu’ta al-hikmata faqat u’tiya khairan katsira”, barang siapa dikaruniai Allah suatu hikmah atau kebijaksanaan, maka dia memperoleh kebaikan yang banyak. Dijelaskan pula dalam surat al-Mujadalah, ayat 11;“…, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Memang demikianlah adanya dalam pandangan agama Islam, ilmu pengetahuan memperoleh kedudukannya yang sangat tinggi. Dengan mengutip sebuah Hadits Rasullah yang menerangkan tetang keutamaan ilmu, seperti termaktub dalam kitab “Irsyad al-Ibad” karangan Syaikh Zainuddin al-Malibary disebutkan, “Kepada ahli ibadah yang bukan ahli ilmu malaikat akan mempersilahkannya untuk langsung masuk ke dalam surga sendiri; namun kepada ahli ibadah yang juga ahli ilmu malaikat akan memberikan kepadanya kebebasan untuk mengajak bersama masuk ke dalam surga siapa saja yang dikehendaki”.
Berkenaan dengan itu, Syaikh Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim, salah satu kitab klasik yang menjadi referensi utama pesantren tradisional berkomentar;“adapun sebabnya ilmu itu mulia karena ia merupakan alat (wasilah) untuk bertaqwa, yang dengan itu orang akan memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan kebahagian abadi dalam kehidupan di akherat kelak”.
Itulah sebabnya, orang yang berilmu disebut orang alim (Arab; al-‘alim) serta menempati kedudukan atau derajatnya yang tinggi dalam pandangan Islam yang kemudian hal ini juga sangat mempengaruhi pandangan masyarakat pesantren. Pola indoktrinasi ini pula yang sekiranya membentuk struktur berpikir (social stok of knowledge) dalam mindset santri sehingga memiliki corak pandangan yang berbeda dengan para sarjana atau akademisi dari kalangan kampus.
Walhasil, bahwa kewibawaan spiritual kharismatik muncul pada diri kiai bukan diperoleh dengan tanpa usaha yang sungguh-sungguh, tetapi derajat itu diperoleh justru setelah melewati proses “dialektika kepatuhan” dalam koridor rasionalitas yang terbilang unik. Pada dasarnya hal itu muncul lantaran karena terbentuknya pola relasi kiai-santri yang besifat reprosikal dan mutualistik. Wallahu ‘alam bi al-sawab.[]
Selasa, 17 Februari 2009
http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=209&Itemid=28
Syamsul Hadi Thubany; Alumni PP. Manbail Futuh Tuban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar