Jumat, 16 Oktober 2009
Negeri Sufi
Di luar langit sana, tiba-tiba bumi mengepulkan asap hitam. Tampak seperti bola hitam yang meruak ke angkasa. Boleh jadi, itulah meteor siang bolong, yang sedang melesat, mengikuti edarnya.
Lalu di sebuah surau desa terpencil yang terbuat dari anyaman bambu, dua sosok masih bersila saling berhadapan, sembari mengepulkan asap rokok.
“Negeri ini sedang berguncang, sebagaimana yang kita lihat dalam riak gelombang lautan,” kata Mat Salik.
“Apanya yang aneh?” tanya Syamsuddin.
“Lho, apa sampean tidak merasa asing?”
“Saya kira kok biasa-biasa saja…”
“Maksudnya?”
“Lho iya, bukankah semua itu sudah jadi watak dunia. Selama kita hidup di dunia, ya selalu begitu, tak henti-hentinya?”
Dua orang itu kemudian terdiam. Masing-masing menerawang ke angkasa. Bintang-bintang kecil bertaburan, lalu segerombol bintang membentuk lingkaran yang saling tarik menarik, seperti misteri huruf Hamzah dalam jajaran huruf Hijaiyah.
Tanpa jawaban dan diskusi yang jelas, kedua hamba Allah itu kembali ke rumah masing-masing, namun ada kesepakatan keduanya akan segera sillaturrahim ke Kiai Mursyid, guru mereka berdua.
Di sebuah kota kecil, sebuah bangunan menara menjulang ke langit. Menara itu menjadi lambang sebuah cahaya senantiasa memancar, bukan hanya limawaktu sehari ketika suara adzan menusuk angkasa, tetapi juga seringkali dianggap sebagai lambang kesejukan kota kecil itu. “Selama menara itu masih bersinar, kota ini akan senantiasa damai.” Demikian pameo yang berkembang di benak penghuni kota itu.
Di bawah menara itu, tentu sebuah bangunan yang berjajar seperti sebuah kampung kecil di tengah kota. Bangunan-bangunan itu sederhana, tetapi sangatlah bersih. Tak banyak orang bersuara, kecuali sesekali ledakan tawa yang membahana, bahkan juga suara-suara burung yang berkicau di sudut-sudut kampung itu, serta suara-suara bocah yang sedang bermain dengan gembiranya.
Dan bangunan paling sederhana diantara bangunan-bangunan itu, dihuni oleh Kiai Mursyid dan keluarganya. Walau sederhana, tetapi ruang tamu yang luas, dan dan dapur yang lebih luas lagi. Di sana Kiai Mursyid memimpin sebuah pesantren yang tidak sampai ribuan jumlah santrinya. Tetapi dari sanalah sebuah bangsa dibangun dalam arti sebenarnya.
Kiai ini masih sangat muda, belum sampai lima puluh tahun usianya. Tetapi ia memang cukup dikenal sebagai Kiai Sufi, di kalangan para Sufi negeri ini. Lalu bangunan yang mirip kampung kecil itu, tidak lain adalah bangunan pesantren itu. Kelihatan, segalanya berjalan alamiyah, tidak megah, tetapi kokoh dengan bangunan-banguna kayu jati yang berusia tua.
“Mengapa Pak Kiai tidak membangun pesantren modern, lalu tetap mempertahankan tradisi utama di sini? Bahkan kalau perlu dibangun sebuah akademi paling modern dengan nuansa tradisi yang unik?” tanya seorang tamu dari Jakarta yang ssudah melalang buana di negeri-negeri Islam dan pelosok dunia, sembari ia bandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam di luar negeri, khususnya di Afrika dan Timur Tengah, sehingga Kiai Mursyid bisa menjadi pelopor pertemuan peradaban Islam paling modern tanpa melepas tradisinya?
“Kami di sini mendidik hati, menanamkan biji-biji tauhid, agar tumbuh menjadi sosok pohon sejarah kehambaan, yang berbuah manusia-manusia yang senantiasa mendapatkan ridhaNya…” jawab Kiai Mursyid tetap merendah.
“Saya sudah dua hari di sini Pak Kiai. Saya mengamati semuanya, mendata para santri, mendata murid-murid Kiai dari berbagai profesi. Kenapa seorang insinyur, seorang doktor pula, tiba-tiba harus ditugasi Kiai membersihkan kamar mandi setiap hari. Bahkan itu semua di luar disiplin ilmunya. Mengapa tidak dimanfaatkan dan dikembangkan potensinya, dengan planning modern?”
“Bolehlah anda berpendapat begitu. Tetapi saya tanya, mana universitas terhebat di dunia ini yang bisa membentuk karakteristik manusia yang mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya? Siapa yang bisa menjamin bahwa ide anda itu bisa membuat hatinya berubah, karakternya bisa sesuai dengan keinginan anda,” jawab kiai itu.
Tamu dari Jakarta itu rupanya terhenyak dengan jawaban kiai. Walau pun fikirannya masih tidak puas, diam-diam hatinya tidak menolak lontaran kiai tersebut.
Kiai Mursyid memang aneh. Bukan seperti kiai biasa. Juga bukan seperti Kiai Khos yang selama ini dikenal publik. Sebab para muridnya terdiri dari masyarakat bawah sampai masyarakat atas. Dari anak-anak hingga orang tua-tua yang sudah senja. Terkadang di rumahnya itu, ratusan rombongan tamu datang, terkadang yang beberapa gelintir manusia, bahkan beberapa hari juga pernah lengang. Kadang yang datang dengan pakaian seragam militer, dengan pangkat jenderal, terjkadang pengusaha kaya raya, namun tidak jarang yang ditemui justru para pemulung dan tukang becak. Semuanya tampak akrab dengan Kiai itu.
Ada jutaan muridnya, ada yang satu sama lain mengenal, ada yang tidak kenal sama sekali, walau pun di ibu kota Jakarta, mereka sebenarnya duduk pada satu instansi bahkan satu kantor.
Seluruh lapisan masyarakat, model manusia seperti apa pun, dari yang paling aneh, paling gila, paling nyentrik, bahkan paling jahat, merasa mendapatkan perlindungan jiwa di sana. Apalagi yang paling alim, paling hebat, paling mampu dan paling banyak massanya, juga merasa mendapatkan perlindungan hati di sana.
Tetapi, manusia juga tetap manusia. Manusia tidak lepas dosa dan alpa. Hanya kesombonganlah yang menyeret manusia untuk merasa paling suci, paling Islami, paling alim, paling dekat dengan Tuhannya. Karena itu di pintu gerbang pesantren itu ada tulisan besar.
“Janganlah anda merasa paling kotor dan paling berdosa di tempat ini. Sebab masih banyak orang yang lebih kotor dan lebih berdosa ketimbang anda di sini. Janganlah pula anda merasa paling alim dan paling suci di sini, sebab masih banyak orang alim dan orang suci lebih dari anda di sini.”
Membaca tulisan itu, setiap tamu yang datang bahkan setiap santri yang keluar masuk pesantren itu, sering dihentakkan egonya sampai ke titik paling rendah. Bahkan banyak tamu yang hilir mudik, karena satu dan lain hal, tidak sempat bertemu Kiai Mursyid, sudah merasa bebas dari beban yang menghimpit ketika memasuki gerbang pesantren itu.
Banyak pula para tamu yang membayangkan sosok Kiai Mursyid sebagai sosok yang kharismatis, dengan pakaian kebesaran dan jubah yang menjuntai. Tetapi begitu jumpa kiai itu, terasa seperti berjumpa dengan ayahandanya sendiri. Bahkan lebih dari itu, tiba-tiba sosok kiai itu adalah sosok bapak spiritual yang meluruhkan gumpalan-gumpalan yang berkarat dalam hati.
“Di sini ini seperti supermarket. Mencari apa saja ada …” kata Kiai Mursyid ketika menerima rombongan tamu-tamu dari luar kota.
Memang demikian. Sebab santri Kiai Mursyid memang terdiri dari berbagai macam manusia, dan ilmu yang dimiliki Kiai Mursyid memang lebih dari sekadar seorang Kiai.
Sebab, beberapa tokoh dari perbankan internasional dari mancanegera sering datang hanya untuk konsultasi soal moneter. Ada para politisi yang bertanya soal strategi berbangsa dan bernegara. Ada juga para Ulama besar negara-negara Islam yang datang, hanya untuk bertanya satu dua persoalan saja, ketika persoalan itu sudah ditanyakan hampir ke seluruh tokoh-tokoh Ulama besar, tetapi mengalami jalan buntu. Lalu Kiai Mursyid hanya memberi jawaban satu dua kalimat saja, mereka sudah puas. Namun tak jarang Kiai Mursyid harus bicara soal pertanian dan pendidikan anak-anak di desa, situasi madrasah dan surau, pada orang-orang desa.
Misalnya, seorang professor Filsafat dari Al-Azhar University jauh-jauh datang dari Mesir hanya untuk menanyakan sebuah kompromi polemik intelektual dan teologis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi yang selama berabad-abad tidak bisa dikompromikan secara memuaskan. Tetapi ketika filosuf Al-Azhar itu mendatanginya, dengan membawa masalah tersebut, akhirnya hanya dijawab oleh Kiai Mursyid dengan kata-kata sederhana, terkadang penuh dengan anekdot dan hikmah yang berbau kontroversial.
“Apakah Syeikh tadi sudah masuk ke masjid saya itu, melihat arsitektur dan bangunannya?” tanya Kiai Mursyid.
“Sudah Pak Kiai…” jawab Professor dari Al-Azhar itu.
“Apakah syeikh bisa menjelaskan pada khayalak tentang bangunan itu?”
“Insya Allah saya bisa, bahkan sangat detil. Sebab saya memang pernah belajar arsitektur di Universitas Kairo.”
“Baiklah. Kalau teman anda ini, apakah teman anda ini juga ikut masuk di Masjid?” tanya Kiai Mursyiod pada teman syeikh atau Professor itu.
“Maaf Pak Kiai,” jawabnya dengan berbahasa Arab fasih, “saya hanya melihat-lihat dari luar saja. Tapi saya bisa menjelaskan bentuk detilnya kepada khalayak. Karena saya sebenarnya seorang insinyur bangunan Pak Kiai,” kata teman professor tadi.
“Nah, itulah cara mempertemukan Al-Ghazali dengan Ibnu Rusydi. Syeikh atau professor yang sudah masuk ke dalam masjid lalu keluar dari masjid, kemudian menjaskan kepada khalayak tentang bangunan masjid itu, menempati posisi Imam Al-Ghazali. Sedangkan anda yang hanya melihat masjid dari sisi luarnya, lalu berusaha menjelaskan kepada khalayak tentang sudut-sudut bangunan di dalam masjid, maka anda menempati posisi Ibnu Rusydi.”
Kedua tokoh itu hanya manggut-manggut, sembari meandang sosok Kiai Mursyid tanpa henti-hentinya. Lalu professor itu menangis dengan sesenggukan yang mengharukan.
“Pak Kiai telah menyelesaikan ribuan judul buku, bahkan ratusan ribu kitab, hanya dalam satu kalimat saja. Subhanallah….Subhanalllah…” kata Professor itu sambil mengusap airmatanya dengan sapu tangannya.
Kiai Mursyid hanya menyambut dengan senyuman.
“Apa rahasianya Pak Kiai?” tanya professor itu.
“Kalau hati anda hidup, insya Allah bisa sendiri,” katanya.
“Hati yang hidup itu bagaimana?”
“Ya, hati yang tidak mati…ha…ha…haa…”
Professor itu mengernyitkan keningnya. Lalu Kiai Mursyid menempelkan tepalak tangannya ke dada professor itu.
“Pejamkan mata anda, rasakan apa yang hidup dalam hati anda.”
Professor itu memejamkan matanya, lalu mengikuti perintah Kiai Mursyid. Tiba-tiba keringatnya bercucuran, bahkan airmatanya membasahi pipinya dan membelah bibirnya.
“Iya, iya Pak Kiai, saya mengerti, saya mengerti…”
Lalu Professor itu mengucapkan istighfar berkali-kali, ketika hatinya mengalami futuh (pencerahan), melalui Kiai Mursyid. Dan hari itu Professor dari Al-Azhar itu berbaiat kepada Kiai Mursyid untuk mengikuti thareqat Sufinya.
Malam semakin larut ketika seluruh negeri ini terlelap oleh kedekilan yang menggigilkan. Dan selimut telah menjadi jubah malamnya, seperti malam menjubahi bumi dengan gelapnya. Mat Salik dan Syamsuddin sudah memasuki pelataran pesantren itu. Keduanya memasuki masjid, lalu sholat dua rekaat tahiyyatal masjid. Usai berdzikir dan berdoa, terdengar suara yang memecahkan malam. “Mat Saliiik….!.Syamsuddiiiin….!”. Suara yang khas memanggil dua nama itu. Tidak lain adalah suara Kiai Musryid yang sudah menunggu kedatangan dua orang dari pelosok kampung itu.
Dua orang itu mencium tangan Kiai Mursyid dan duduk di emperan masjid.
“Negeri ini susah diprediksi oleh para pengamat, para pakar, bahkan oleh musuh sekalipun,” tiba-tiba Kiai Mursyid membuka pembicaraannya, seakan-akan menyambung obrolan dua orang kampung itu.
“Kenapa begitu Pak Kiai….”
“Karena di negeri ini masih banyak, ratusan, para wali-wali Allah yang menjaganya….” Kata Kiai Mursyid.
Dua orang itu tetap tak berkata-kata. Tetapi hatinya merasakan getaran-getaran yang aneh dibalik kata-kata Kiai Mursyid itu.
“Karena itu, lanjut Kiai Mursyid, “jangan percaya pada omongan para pakar di media massa, jangan mudah percaya pada pemimpin-pemimpin yang munafik yang hanya mementingkan golongan dan keluarganya sendiri, juga jangan percaya pada suara-suara pikiran belaka. Percayalah pada hatimu paling dalam, percayalah pada Sirr-mu sendiri.”
Dada Mat Salik dan Syamsuddin terasda terguncang mendengar kata hikmah Kiainya. Guncangan itu akibat getaran dzikir yang tak bisa dihentikan oleh usahanya sendiri. Tiba-tiba bergetar dengan dzikrullah, tanpa tahu darimana asal mulanya.
“Getaran dalam hatimu, bermula dari kesadaranmu paling dalam. Kesadaran yang tak terikat ruang waktu, disaat kamu ditanya oleh Tuhanmu, “Bukankan Aku ini Tuhanmu?” Lalu sirr-mu menjawab, “Benar, Engkaulah Tuhanku…”. Itulah sirr-mu yang menjawab. Sirr tempat dimana kamu bertemu dengan Allah.”
Lalu dua orang itu dipersilahkan ke masjid oleh Kiai Mursyid, walau pun sisa airmatanya masih mebekas di pipinya.
Subuh pagi yang cerah, dua orang itu pulang ke kampung dengan wajah seperti matahari pagi.
Keduanya hanya senyum-senyum sendiri, dengan senyum yang menahan rasa gembiranya atas jawaban Kiai Mursyid tentang negeri ini.
http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=279%3Anegeri-sufi&catid=82%3Asketsa-sufi&Itemid=299&limitstart=2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar