Rabu, 14 Oktober 2009
Dialog Binatang Malam di Musim Semi
Di bumi yang hangat disinari mentari pagi, cuaca yang sejuk di musim semi, taman bunga yang indah dan harum semerbak wangi bunga dimusim semi, bunga-bunga yang bermekaran, setiap kuncup bunga, masing-masing berusaha membentangkan coraknya yang terindah, orang-orang dan binatang serta serangga-serangga yang datang ke sini, semuanya dengan bahasa masing-masing yang paling menyentuh mengagumi dan memuji akan keindahan dan warna yang ditebarkan oleh bunga-bunga yang bermekaran disini.
Bumi yang demikian subur, selain terdapat berbagai macam bunga yang indah dan aneka jenis tumbuh-tumbuhan, sampai pada spesies kehidupan berbagai jenis binatang: seperti misalnya kehidupan serangga ini, sama seperti bunga yang beraneka ragam, banyak sekali keragamannya, hidup di alam bebas yang indah ini. Mereka bergembira menikmati kehidupan bebas yang dianugrahkan alam untuk mereka.
Suatu malam yang tenang dihiasi cahaya rembulan, para serangga bagaikan enggan untuk tidur, menghiasi musim semi yang indah ini dengan suara mereka masing-masing yang paling syahdu bak mengalunkan sebuah symphony, menenangkan bagi siapa saja yang mendengarkan musik orkestra symphony yang tiada taranya. Bila malam semakin larut dalam keheningan, perlahan-lahan serangga-serangga yang kelelahan mulai merayap ke alam mimpi indah mereka masing-masing, dan tertidur pulas dalam kedamaian dalam pelukan malam.
Namun, di sebuah hamparan kecil rerumputan yang lebat, kunang-kunang disana malah asyik bermain-main dengan gembira, sama-sama memacarkan cahaya masing-masing yang terindah, melayang-layang menari-nari di udara sangat indah, berkelap-kelip bertaburan laksana “mutiara-mutiara yang bercahaya” diudara.
Di antara mereka ada yang mengalami sedikit peristiwa, tiba-tiba……..aoup!
Kunang-kunang : “Aduh, siapa kamu? Kamu menabrakku! Sakit sekali tahu!” (sambil kunang-kunang mengusap-usap kepalanya yang sakit)
Belalang : “ Maaf! Maaf! Aku tidak menyangka itu kamu kunang-kunang.” (belalang merulang-ulang minta maaf menyadari kekeliruannya)
Ternyata seekor kunang-kunang kecil itu bertabrakan dengan seekor belalang yang sedang meloncat-loncat di padang rumput itu.
Kunang-kunang : “Kamu sengaja ya! Apa kamu tidak melihat cahaya terang yang indah ini?” (sambil kunang-kunang menunjuk kebagian patatnya yang bersinar, dengan ketus)
Belalang : “Justru karena melihatnya maka saya melompat kemari! Saya kira si kecil-nya matahari ke sini, jadi saya melompat kemari.” (belalang sungguh-sungguh dan memang tidak mengenali kunang-kunang ketika hari menjadi gelap)
Kunang-kunang : “Apa itu si kecilnya matahari! Tidak sopan, saya kunang-kunang, kunang-kunang yang indah. Apa kamu tidak tahu?” (kunang-kunang heran karena belalang tidak mengenalinya, padahal mereka hidup bersama-sama selama ini di dalam taman tersebut)
Belalang : “Tahu! Tahu! Mengapa kalian bisa memancarkan cahaya, dan kenapa sih memancarkan cahaya?” (belalang tetap heran dengan bagian belakang kunang-kunang yang menyala seperti lampu dan dia mengelilinginya beberapa kali dengan tak dapat menahan rasa ingin tahu)
Kunang-kunang : “Hmm! Akhirnya enak juga nada bicaramu, kalau begitu saya jawab pertanyaan kamu! Belalang temanku yang baik, sejujurnya mengapa kunang-kunang bisa memancarkan cahaya kami sendiri juga tidak tahu persis. Apa kamu tahu bagaimana diri kamu tercipta?”
Tiba-tiba tanpa diketahui datangnya dari mana kumbang menyeruduk di antara mereka! Dan lagi-lagi tubuh kumbang yang tambun dan berat itu menimpa kunang-kunang yang mungil.
“Aduh! Sakit tahu!” (lagi-lagi kunang-kunang berteriak kesakitan.)
Kunang-kunang : “Wah! Kumbang gendut, kan sudah kubilang jangan makan terlalu banyak, badanmu sudah gemuk! Mau berapa kali kau menabrakku baru puas, setiap kali kau selalu begitu..!”
Kumbang : “Maaf deh! Kunang-kunang.” (sambil meringis juga karena kesakitan)
Belalang : “Kami pernah mendengar manusia mengatakan, merekalah yang menciptakan kita.” (sambil ia mengusap-usap janggutnya yang runcing)
Kunang-kunang : “Apa kamu melihat bagaimana cara manusia menciptakan kita?” (kunang-kunang memandang belalang dengan mata terbelalak)
Belalang : “Tidak sih, apa mereka bicara seenaknya?” (belalang memandangi teman-temannya bergantian)
Kumbang : “Kalau saya pernah mendengar beberapa pembicaraan para serangga, mereka para manusia itu ke luar dari laboratorium, manusia sedang mengacaukan gen mereka, sehingga membuat mereka tidak bisa lagi menemukan kerabat yang sama dengan mereka setelah kembali ke tempat mereka masing-masing.” (kumbang bicara sambil berusaha menahan kantuknya)
Kunang-kunang : “Kalian semua tahu sekelompok manusia yang buta pengetahuan seperti itu justru menjadikan rekan-rekan kita sebagai ‘kelinci percobaan’ laboratorium mereka, nah, bagaimana mungkin mereka itu adalah pencipta kita? Bukankah mereka juga diciptakan oleh seseorang !” (kunang-kunang bicara dengan nada yang meninggi)
Belalang : “Apa yang maksud itu dewa? Tapi, kita kan tidak pernah melihatnya! Semua itu adalah cerita yang tersebar dari generasi ke generasi sampai ke telinga kita.”
Kumbang : “Kunang-kunang, apa kamu mau makan lagi?” (kumbang bicara sambil mengusap-usap perutnya yang terus merasa lapar dan melirik kiri-kanan mungkin menemukan ada biji-bijian yang bisa ia makan)
Kunang-kunang : “Kau mau makan lagi? Sudah kubilang jangan makan terlampau banyak, kau sudah gemuk! Kumbang gendut.”
Kumbang : “Apa para dewa yang menciptakan kita itu semuanya tinggal di langit yang sangat jauh di sana, kalau begitu mengapa mereka tidak turun dan bersama dengan kita? Bukankah lebih baik kalau kita sering berjumpa?” (kumbang bertanya sambil wajahnya mendongak ke arah langit.)
Kunang-kunang : “Kumbang gendut! Tidak semudah seperti yang kau katakan? Hanya manusia yang bisa terus menempa diri (berkultivasi), dan karena mereka mempunyai fisik dari wujud dewa yang tidak kita miliki, maka mereka baru diizinkan untuk bisa terus berkultivasi.
Belalang : “Kalau begitu, apa mereka tahu cara berkultivasi ?”
Kunang-kunang : “Itu tergantung diri mereka masing-masing, paling tidak lingkungan disini harus terpelihara dengan baik, jika tidak, jangankan kultivasi, bahkan untuk keberadaan diri sediri di kemudian hari juga sulit terbayangkan.”
Belalang : “Terimakasih! Kunang-kunang, meskipun saya masih belum dapat melihat dimana sebenarnya Sang Sadar? Tapi saya sudah yakin dengan keberadaan dewa, sebab manusia tidak dapat menciptakan kita.”
Kunang-kunang : “Setelah panjang lebar bercerita sesungguhnya saya sendiri juga tidak tahu darimana asalnya kita ini, mungkin alam mengetahuinya.”
Kumbang : “Kunang-kunang, tolong jangan keras-keras bicaranya, saya mau tidur.” (kumbang bicara sambil merebahkan tubuhnya disemak-semak yang empuk. Uaah….ia menguap lebar-lebar)
Kunang-kunang : “Kumbang gendut! Setiap kali selalu menabrakku, habis makan tidur, habis tidur makan, tidak kubiarkan kau tidur, bangun! Ayo bangun!” (sambil kuang-kunang menguncang-guncang tubuh kumbang. Tapi kumbang sudah sangat ingin tidur)
Kumbang : “Jangan begitu dong! Kunang-kunang. Aku sudah betul-betul ingin tidur. Besok saja kita lanjutkan bicaranya.” (Lalu kumbangpun jatuh tertidur. Kedua temannya hanya menggelengkan kepala melihat kumbang gendut yang terlelap)
Belalang : “Kunang-kunang, terimakasih ya! Saya mau pamit, terimakasih atas semua informasimu.” (belalang pulang kerumahnya karena hari semakin lama semakin larut, ia pergi dengan meloncat-loncat)
Kunang-kunang : “Sama-sama! Ingat, lain kali jangan menabrakku lagi ya.”(kali ini kunang-kunang dengan tersenyum)
Belalang : “Baik, bye-bye!” (belalang menganggukkan kepala tanda mengerti dan melambaikan tangan tanda perpisahan.)
Kunang-kunang : “Bye-bye.” (kunang-kunang pun membalasnya. Lalu ia pun terbang menemui kelompoknya)
(erabaru.or.id)*
Kebijakan Jernih Sabtu, 14 Februari 2009
http://erabaru.net/cerita-budi-pekerti/71-cerita-budi-pekerti/1070-dialog-binatang-malam-di-musim-semi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar