Rabu, 28 Juli 2010

Berita yang Menanti Jawaban

ssalaamu’alaikum wr. wb.

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul). (Q.S. An-Nahl [16] : 36)

Al-Qur’an dibuka dengan surah Al-Fatihah yang memberikan gambaran penuh tentang penyerahan diri total seorang Muslim kepada Allah, dan diakhiri dengan permohonan agar ditunjuki kepada jalan yang lurus. Ayat-ayat berikutnya dalam surah Al-Baqarah menyediakan jawaban yang tegas; Kitab inilah – yaitu Al-Qur’an – yang tak seorang pun yang pantas untuk meragukannya. Maka Kitab inilah jawabannya.

Di sana-sini, bertebaran ayat-ayat Al-Qur’an yang berakhir dengan retorika, “tidakkah kamu berpikir?“, seolah menantang akal manusia untuk terus mencerna pembimbingan Ilahi. Kemudian ada pula ayat-ayat seperti di atas, yang menyuruh manusia untuk berjalan di muka bumi dan melihat dengan mata kepalanya sendiri pembuktian empiris dari seluruh petunjuk agama Allah. Yang paling tegas, barangkali, adalah Surah Al-’Ashr, yang di dalamnya Allah bersumpah bahwa waktu pasti akan membuktikan bahwa semua manusia itu merugi, kecuali yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditentukan oleh-Nya.

Sebenarnya, retorika adalah pertanyaan yang tak perlu dijawab secara verbal, karena hati manusia sudah mengetahui jawabannya, dan tak ada perdebatan atas jawaban tersebut. Sayang, retorika dalam Kitab Suci justru direduksi maknanya menjadi pertanyaan yang tak perlu susah-susah dicarikan jawabannya.

Bercermin dengan ayat di atas membawa kita pada satu pertanyaan: seberapa jauh sudah kita jelajahi bumi ini, dan sebesar apa perhatian kita terhadap kejadian-kejadian di dalamnya? Sebesar apakah perhatian kita, dan sebesar apakah kepedulian kita?

Di era informasi ini, semua berita bisa diakses oleh siapa saja. Dari kriminalitas sampai gosip selingkuh artis, semuanya menjadi konsumsi publik. Pada awalnya semua orang dimabuk oleh kebebasan informasi ini. Semuanya kecanduan informasi. Semua ingin jadi yang pertama untuk tahu setiap detil urusan yang sama sekali bukan urusannya.

Sebagai sebuah siklus, suatu fase yang tidak kalah mengerikannya dari fase mabuk informasi adalah fase jenuhnya. Seluruh informasi bertebaran, dan karena sudah terbiasa, bagaikan tak terasa lagi. Dulu masyarakat bergidik melihat rekaman kekerasan di STPDN. Sekarang, bahkan siswi SMP pun berkelahi jambak-jambakan sambil direkam video ponsel, kemudian video itu disebar kemana-mana. Dulu menggelegak darah kita memikirkan hansip yang main hakim sendiri menggebuki maling jemuran. Sekarang, melihat rekaman seorang guru yang menampari muridnya kita cukup geleng-geleng kepala.

Rasa hilang karena terbiasa. Nikmat yang kita rasakan setiap hari sudah dianggap kebiasaan semata. Demikian pula musibah – selama bukan kita yang merasakannya – tidak lagi membuat kita prihatin. Semuanya telah menjadi konsumsi kita sehari-hari di layar televisi.

Informasi adalah benda mati yang tak bisa dituntut pertanggungjawabannya. Manusialah yang harus bertanggung jawab, karena setiap hari mendapat informasi, tapi tidak juga menggunakan akalnya. Setiap hari menerima berita baru, tapi sedikit saja mengambil pelajaran. Setiap hari Al-Qur’an bertanya-tanya kepada kita, “Apa yang kau dapatkan dari perjalananmu di muka bumi ini?”, dan kita terus saja mengabaikan kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu. “Cuma retorika,” begitulah pembenarannya. Tapi retorika pun menuntut jawaban, meski hanya dalam hati kecil.

Berjanjilah!

Seorang ayah, karena kesal pada istrinya, membawa anaknya yang masih kecil ke pinggir rel KA. Diajaknya anaknya itu duduk di pinggir rel, ditidurkannya, dan dengan sengaja, kaki kecil itu dijulurkannya ke rel KA.

Anak itu, yang masih tak punya niat jahat dan tak kenal rasa dengki itu, yang tak punya kecurigaan sedikitpun pada sang ayah, membiarkan saja kakinya terjulur demikian.

Kereta pun datang dan memutus kakinya tanpa ampun.

Sang Ayah, entah ketakutan, tersadar akan apa yang telah dilakukannya, atau memang karena jahat yang sebenar-benarnya, melawan fitrah-nya sendiri sebagai seorang Ayah. Sudut hatinya menjerit-jerit, atau barangkali mengemis-ngemis belas kasihannya agar ia menolong si kecil yang telah dicelakakannya. Seorang Ayah seharusnya menjadi pahlawan bagi keluarganya sendiri. Seorang Ayah adalah figur yang menggadaikan nyawanya demi keselamatan anak-istrinya. Seorang Ayah adalah manifestasi segala kebanggaan putra-putrinya. Namun sang Ayah, dengan segenap kekuatannya, melawan panggilan fitrah dalam hatinya sendiri. Ia lari meninggalkan sang buah hati yang sebelah kakinya sudah putus disambar kereta.

Ia lari! Ya Allah, ia lari!

Pada titik ini, tidak lagi penting apa yang menyebabkan dirinya begitu marah pada istrinya sendiri sehingga mencelakakan anaknya sedemikian rupa. Tidak ada gunanya berkelit dengan sejuta alasan untuk menjelaskan mengapa ia meninggalkan anaknya yang terluka parah begitu saja. Ia seolah mengolok-olok Allah sebagai pemilik sejati dari anak itu. Tapi Allah mengembalikan makar pada pelakunya sendiri. Anak itu merangkak sampai ditemukan oleh kakek-neneknya. Ia hidup, dan takkan lupa bahwa ayahnya bukan seorang pahlawan. Lelaki yang melalaikan amanahnya itu lari entah kemana; mungkin mati bunuh diri, mungkin pula tidak. Sejarah akan menyimpan namanya dalam kehinaan abadi.

Apa jawaban yang akan kita berikan?

Yang diceritakan di atas adalah sebuah kisah nyata yang baru saja terjadi di negeri ini. Itulah salah satu kisah yang bisa kita temui jika kita berjalan di muka bumi. Inilah salah satu retorika yang diberikan dalam Al-Qur’an. Retorika yang sebenarnya tak perlu dijawab, tapi bagi hati yang sudah berkarat, maka jawaban yang lugas adalah obatnya.

Barangkali kita bisa menangis semalaman memikirkan nasib sang anak yang kini hanya punya satu kaki berkat kedurhakaan ayahnya. Barangkali kita pun bisa berempati pada sekian banyak anak lainnya yang diuji dengan orang tua yang kelakuannya tidak bisa dibanggakan. Kita juga bisa mengutuk para orang tua yang menyia-nyiakan keturunannya sedemikian rupa. Kita bisa menyumbang doa dan dana. Tapi apakah kita bisa mengambil pelajaran?

Orang-orang yang kasar pada istrinya barangkali juga pernah merasa prihatin melihat orang lain mengasari istrinya sendiri. Mereka yang jahat pada anak-anaknya barangkali juga pernah merasakan sakitnya jadi anak yang dicelakai oleh orang tuanya sendiri. Korban tumbuh menjadi pelaku kejahatan. Demikianlah siklus kehidupan orang-orang yang tak mengambil pelajaran, dan tak menjawab retorika Al-Qur’an.

Apa jawaban yang akan kita berikan?

Apa manfaatnya Al-Qur’an menceritakan kisah-kisah kebengisan Fir’aun, yang membunuh semua anak laki-laki Bani Israil hanya karena takut kekuasaannya direbut? Apa gunanya Al-Qur’an menceritakan kisah saudara-saudara Nabi Yusuf as. yang tega mengkhianati saudaranya sendiri hanya karena rasa cemburu semata? Apa faedahnya kisah-kisah Al-Qur’an tentang kedigjayaan, kedurhakaan dan kehancuran Qarun?

Kisah-kisah keji itu – baik yang tercantum dalam Al-Qur’an maupun yang ada di sekitar kita – menuntut kita untuk mengambil pelajaran, dan tentu saja, juga menuntut kita untuk berjanji agar tidak terjerumus dalam lubang yang sama. Kisah kekejaman Fir’aun adalah perintah implisit agar kita tidak meniru kezalimannya. Kisah saudara-saudara Nabi Yusuf as. adalah ungkapan agar kita jangan pernah menggadaikan persaudaraan dengan harga yang murah. Kisah Qarun adalah sekedar sarana untuk membantu manusia melepaskan diri dari jerat kenikmatan duniawi. Kisah tentang ayah yang memutuskan kaki anaknya sendiri adalah cermin bagi kita sendiri – terutama para ayah dan calon ayah – agar jangan menyia-nyiakan titipan Allah. Iringkanlah air mata simpati dengan sebuah janji agar tidak mengikuti jalan orang-orang yang telah tersesat.

Berjanjilah! Berjanjilah engkau tak akan mencelakakan anak-anakmu!

wassalaamu’alaikum wr. wb.

Oleh : Akmal Sjafril
http://www.edumuslim.org/index.php?option=article&article_rf=181

Tidak ada komentar:

Posting Komentar