Minggu, 03 April 2011

Krisis Kenegarawanan [Politik dan Keamanan]

DI berbagai seminar belakangan hari ini, yang memusatkan perhatian kepada Bangkitnya Nasionalisme kita pada tahun 1908 dan disusul dengan Sumpah Pemuda tahun 1928, maka sering dipersoalkan visi apa yang menjadi dasarnya dulu itu. Dan mengapa kita dewasa ini sedang menghadapi tercabik-cabiknya Jiwa Nasionalisme itu; sehingga kita menghadapi gerakan separatisme di Aceh, di Maluku, dan di Irian Jaya.

Bersamaan dengan itu, maka kitapun menyaksikan gejala perkembangan otonomi daerah; yang menjurus kearah kepentingan lokal-daerah yang sangat eksessip. Dan tidak atau kurang memperhatikan keseimbangan yang sehat antara Pusat dan Daerah. Apabila dulu Daerah mengeluh bahwa kendali Pusat yang sentralistis, maka kini orang mengeluh kendali itu lepas sama sekali; sehingga daerah bertingkah-laku semena-mena.

Pendulum bergoyang

Pendulum sejarah bergoyang dari sentralisme yang ketat-ekstrim ke daerahisme yang bebas-ekstrim. Hal mana tentu menimbulkan persoalan-persoalan baru. Antara lain bahwa perekat kesatuan dan persatuan Indonesia makin longsor; dan yang menimbulkan realita tercabik-cabiknya Nasionalisme Indonesia. Dikhawatirkan bahaya kecenderungan ini dapat menjurus kearah berantakannya Republik Indonesia!

Mengingat realita yang mencemaskan ini, maka dipersoalkan dalam berbagai seminar sekarang apakah visi Kebangkitan Nasional dan visi Sumpah Pemuda dulu itu tidak dapat diberlakukan untuk masa kini?

Disinilah letak perbedaan fundamental antara masa lalu dan masa sekarang. Dulu kita belum memiliki Negara. Dulu kita berjuang dengan alat partai-partai politik dan organisasi massa lainnya. Nasionalisme kita bervisi idealisme tanpa pamrih. Idealisme yang penuh militanis serta penuh kerelaan berjuang dan berkorban.

Melawan kolonialisme

Barisan pejuang-pejuang kita mayoritasnya adalah tokoh-tokoh serta oknum-oknum politisi. Dan berpolitik berarti menyusun kekuatan rakyat; serta menggunakan kekuatan itu untuk melawan politik kolonialisme. Kolonialisme berpolitik dua arah. Arah pertama adalah "divide-et-impera." Memecah belah dan menjajah. Arah kedua ialah memperbodoh massa rakyat kita. Tujuannya ialah untuk memudahkan penjajahan mereka. Yaitu mendominasi kita dibidang politik; meng-eksploatasi kita dibidang ekonomi, dan meng-infiltrasi dibidang budaya kita.

A contrario, sebagai kebalikannya, Nasionalisme kita ingin mengembalikan kedaulatan politik kita; ingin ke-berdikari-an dibidang ekonomi kita; dan ingin berkepribadian dibidang budaya kita.

Itu zaman pra-kemerdekaan kita. Yaitu di zaman sebelum kita berhasil membangun Negara Nasional kita. Sejak kita berhasil, maka perlu peran sebagai politisi, kita memerlukan barisan Negarawan. Yaitu "Statesmen." Dan ini tidak mudah. Ini harus mengatasi kepentingan partai dan golongan.

Pada awal kita berhasil membentuk barisan negarawan itu. Tapi lama kelamaan mayoritas birokrasi negara kita, terjerumus dalam menikmati kekuasaan Negara yang ia genggamnya. Idealisme makin luntur. Kepentingan pribadi, golongan dan kelompok, serta kepentingan parpol yang dia ikuti lebih diutamakan dan didahulukan.

Politisi dan Negarawan

Bila dulu pada awal fase kenegaraan kita, birokrasi kita, baik yang di eksekutip, legislatip dan judikatip, memegang teguh ajaran Bung Karno, Bung Hatta dan "founding fathers" Republik kita, untuk menghentikan loyalitas kepada parpolnya, pada saat loyalitas kepada Negara mulai, kini ajaran itu dikesampingkan. Malahan diinjak-injak. "My loyalty to my party ends, when my loyalty begins," diabaikan.

Jiwa idealisme menguap. Nafsu materialisme dan individualisme menonjol. KKN dibiarkan subur sebagai benalu. Arogansi merajalela. Karena penyakit ini tumbuh di Pusat, maka dapat dipahami reaksi Daerah yang masih murni idealismenya.

Itulah salah satu sebab pokok pergolakan daerah yang kita hadapi bersama. Memang ada juga Daerah yang sejak semula bersikap a priori terhadap Pusat. Apalagi kalau Daerah itu memiliki sumber kekayaan alam yang eksploatasinya dimonopoli oleh Pusat. Tapi selalu yang menonjol ialah nafsu sentralisme yang membabi-buta. Nafsu demikian menumbuhkan juga hypokritisme. Yaitu kemunafikan dalam tingkah-laku politik yang pandai menganjurkan hidup sederhana; tapi dirinya sendiri mandi dalam kemewahan dan kemubadhiran.

Idealisme luntur

Sumber sebabnya ialah bahwa kesadaran bernegara sudah luntur. Negara bukan lagi dilihatnya sebagai suatu organisasi kekuasaan untuk kepentingan rakyat banyak melalui sistem demokrasi yang jujur. Melainkan Negara dilihatnya sebagai "sapi perahan" untuk kepentingannya sendiri dan untuk kelompok dan golongannya. Khususnya kepentingan parpolnya. Nafsu mementingkan parpolnya mengatasi jiwa kepentingan rakyat banyak. Negara dianggap milik parpol. Bukan parpol yang harus tunduk kepada kepentingan Negara dan orang banyak.

Masalahnya makin memprihatinkan, karena kita menyaksikan dewasa ini bagaimana sistem kepartaian kita makin ruwet dan super-pluralistis. Dasar ideologinya makin kabur. Parpol bukan lagi saluran aspirasi rakyat, melainkan alat tokoh-tokoh yang ambitieus, dan yang haus kekuasaan dan kekayaan.

Tidak heran kalau kita menyaksikan kontroversi serta pertentangan antarparpol. Malahan kita menyaksikan juga pertentangan internal dalam tubuh parpol itu. Akibatnya perpisahan dan perpecahan. Dan juga tumbuhnya parpol-parpol baru. Bukan parpol "made by the people." Tapi parpol "made by ambitious individuals."

Karena itu tidak berlebih-lebihan kiranya apabila kita sekarang ini sedang mengalami juga krisis dalam kepandaian kita mengelola Negara. Akar pokoknya ialah krisis dalam watak dan jatidiri mayoritas lapisan kepimpinan bangsa Indonesia.

Sulit tapi harus

Karena itu yang harus kita gerakkan bersama ialah ikhtiar mempersenjatai diri kita masing-masing dengan Jiwa moral-etika yang religious-monotheistis. Sambil mengasah otak kita agar memiliki lagi daya-ilmu-pengetahuan dan daya-menganalisa hakikat arti dan fungsi Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan yang demokratis untuk kepentingan rakyat kita dari Sabang sampai Merauke. Serta berdaya melawan nafsu kelompok-kelompok masyarakat kita yang memperlakukan Negara sebagai "sapi perahan" bagi kekayaan dan kekuasaan diri, kelompok dan parpolnya saja.

Jiwa kenegarawanan harus kita bangkitkan dalam kerangka kesatuan Nation-, Character-, Economy- dan State-building kita, Suatu tugas raksasa yang tidak mudah. Tapi merupakan keharusan untuk mencegah kehancuran!


Oleh Dr H Roeslan Abdulgani
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=13608

Tidak ada komentar:

Posting Komentar