Minggu, 03 April 2011

Lorong rahasia menuju Tuhan

BANYAK lorong rahasia menuju Tuhan. Lorong-lorong itu kadang mendaki, kadang terjal, berliku, dan penuh jebakan. .

Tafakkur

Pintu pertama yang harus dilewati ialah tafakkur
Kata tafakkur berasal dari akar kata fakkara-yufakkiru berarti berfikir dan merenung.
Tafakkur adalah berusaha untuk mengecoh atau menjinakkan pikiran kita yang terpecah dari berbagai obyek lalu difokuskan kepada obyek terbatas, yaitu memikirkan kemahakuasaan Allah SWT. Betapa yang banyak itu berasal dari Yang Maha Esa. Dari situ nanti seseorang secara bertahap akan sampai pada sebuah aksioma bahwa memang Tuhan betul-betul ada. Wujudnya berbeda (incomparable) dengan makhluk-Nya. Wujud Tuhan disadari lebih mutlak daripada wujud makhluk. Pemilik wujud yang hakiki adalah Tuhan. Kita dan seluruh makhluk-Nya yang lain hanya wujud semu. Diri kita hanya wujud kamuflase. Kita dan para makhluk-Nya hanya bentukan dari kumpulan atom-atom. Kalau atom-atom itu diurai tidak lebih hanya semacam uap dan menguap akhirnya hilang. So, everybody and everything are nothing.

Kalangan teosofi mengumpamakan kita dan para makhluk bagaikan gambaran yang ditangkap dalam cermin. Kelihatan punya bentuk dan gerakan aktif tetapi sesungguhnya mereka itu tidak ada apa-apanya tanpa adanya wujud di depan cermin itu. Wujud makhluk hanyalah wujud reflektif dari Sang Maha Wujud yang tertangkap di dalam cermin. Tanpa wujud hakiki itu maka tidak ada wujud kamuflase itu. Dari tafakkur ini kita akan sampai pada kesimpulan selanjutnya bahwa Tuhan memang Maha Luar Biasa. Bukan Tuhan Maha Angkuh dan kikir untuk memperkenalkan dirinya kepada kita tetapi kapasitas memori kita tidak sanggup untuk merekam hakekat wujud Tuhan. Apa arti sebuah cangkir untuk untuk mewadahi samudera, demikian ungkapan syair Jalaluddin Rumi. Kapasitas memori kita amat terbatas (QS al-Isra/17: 85).

Ambisi manusia untuk mengerti dan memahami Tuhan adalah manusiawi. Namun Al-Quran mengisyaratkan bahwa dengan motivasi logika, seseorang tidak akan pernah memahami Tuhannya secara sempurna. Nabi Musa pun sadar akan hal ini sehingga harus mengalah terhadap Khidlir (baca kisah Musa dan Khidlir dalam QS al-Kahfi). Ini pelajaran buat kita bahwa perestasi ilmiah dan intelektual seharusnya tidak membuat manusia itu congkak. Karena hukum alam sangat bisa ditaklukkan oleh Pencipta-Nya. Kebenaran ilmiah dan intelektual hanya bersifat akumulatif dan nisbi. Kebenaran hakiki di tangan Sang Khaliq. Itulah sebabnya Ibn Arabi, tokoh utama teosofi mengistilahkan Tuhan dengan Al-Haq (kebenaran) dan makhluk-Nya disebut al-khalq (ciptaan). Al-khalq adalah obyek Sang Al-Haq.

Bagaimanapun tafakkur sudah masuk dalam wilayah advans (advanced are) yang sulit dimasuki hanya dengan modal keinginan. Hanya dengan kemauan disertai dengan konsistensi usaha spiritual (riyadlah sulukiyah) yang dapat mengantar seseorang ke posisi (maqam) ini. Energi yang lebih kuat untuk dan paling dominan di dalam maqam tafakkur ini masih akal pikiran. Orang yang sudah di maqam ini sudah mampu menjinakkan pikiran-pikiran liarnya. Ia sudah mampu mengambil hikmah dan pelajaran (itibar, seakar kata dengan tadabbur) terhadap apa saja yang ditangkap oleh panca inderanya dan langsung dihubungkan dengan Al-Haq, Sang Pencipta, Sang Prima Causa. Namun orang yang sudah sampai di maqam ini belum bisa merasa puas apalagi sombong. Di atas langit masih banyak langit. Ini baru anak tangga pertama dari sembilan anak tangga yang harus dilewati.

Tadzakkur

SETELAH melewati pintu tafakkur, seorang pencari Tuhan (salik) harus melewati pintu berikutnya, yaitu tadzakkur. Kalau tafakkur masih mengandalkan energi dan kekuatan pikiran. Tadzakkur sudah melewati akal pikiran (behid the mind). Tadzakkur berasal dari akar kata dzakara-yadzkuru berarti mengingat dan menghayati. Tadzakkur berarti upaya untuk mengalihkan berbagai gangguan pikiran dan perasaan dan berada pada puncak ketenangan batin. Tafakkur adalah suasana batin seseorang yang sampai pada kesadaran puncak bahwa Tuhan sudah begitu dekat dan tidak lagi berjarak dengan makhluknya. Tidak ada lagi subyek dan obyek. Berbeda dengan tafakkur yang masih menyadari dirinya sebagai makhluk dan Tuhan sebagai Sang Khaliq. Tadzakkur sudah sampai pada tauhid yang sejati.

Tauhid sejati bagi orang yang sudah sampai di maqam tadzakkur sudah menyadari dan menghayati keesaan zat (tauhid al-dzati). Selama manusia masih menyadari ada subyek dan ada obyek, atau adanya hamba dan Tuhan, maka belum dianggap menyadari tauhid al-dzati. Bahkan tadzakkur juga bisa mengantar manusia pada kesadaran keesaan perbuatan (tauhd al-afal) dan kesadaran sifat (tauhid al-shifat). Kesadaran akan tauhid al-afal dan tauhid al-shifat ketika seseorang sudah menyadari bahwa perbuatan dan sifat itu hanya satu yaitu perbuatan dan sifat Tuhan dalam arti lebih tinggi. Mirip dengan apa yang dikatakan Ibn Arabi sebagai ketunggalan wujud sejati (wahadat al-wujud). Dalam tahap ini seseorang sudah berhasil memecahkan kebuntuan dualitas Ilahi (duality of God). Zat, perbuatan, dan sifat hanya satu. Inilah makna hakiki: La Ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Namun demikian, tadzakkur tidak menurunkan Tuhan menjadi manusia atau menuhankan makhluk. Tadzakkur tidak menghilangkan fungsi dan kewajiban kehambaan. Justru jalan menuju ke tingkat tadzakkur tidak ada cara lain selain melakukan kesadaran syariah secara sempurna. Sulit membayangkan adanya tafakkur dan tadzakkur tanpa syariah yang perfect.

Tadzakkur tidak bisa didefinisikan dan tidak bisa diceritakan. Tadzakkur adalah pengalaman yang yang sangat pribadi. Pengalaman ini tidak bisa didekati dengan model atau kategori disiplin ilmu konvensional dan kontemporer, apalagi dengan ilmu fikih. Kekeliruan di masa lampau pernah terjadi karena pengalaman spirituan yang amat pribadi tetapi diadili (tahkim) dengan paradigma formal logik ilmu fikih. Akibatnya Al-Hallaj jadi korban dan dunia teosofi dan tasawuf mengalami kemandekan.
Tadzakkur salah satu lorong rahasia menuju Tuhan. Ekspresi dan pengalaman tadzakkur tentu tidak identik satu sama lain, namun secara prinsip memiliki kesamaan satu sama lainnya. Bahkan pengalaman tadzakkur bisa dijelaskan oleh agama-agama lain. Dunia spiritual seperti kegiatan tasawuf dan teosofi lebih bersifat perenialistik. Dalam dunia spiritua-sufistik sekat-sekat agama, budaya, dan bangsa sangat tipis. Karena itu, komunikasi tokoh-tokoh mistisisme lintas agama seringkali ditemukan.

Tadzakkur berbeda dengan meditasi meskipun dalam praktiknya memiliki keserupaan. Dalam dunia meditasi, tujuan utama yang diharapkan adalah ketenangan paripurna yang akan melahirkan kebahagiaan batin sejati. Memang hal itu dimungkinkan dicapai melalui meditasi. Meninggalkan stres, mengobati kekecewaan, dan menstabilkan emosi dapat dilakukan dengan meditasi. Namun tafakkur dan tadzakkur tujuannya bukan mencapai ketenangan atau menyembuhkan penyakit batin, tetapi lebih jauh dari itu, untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT. Dan pada saatnya seseorang mungkin akan sampai pada kesadaran spiritual bahwa manusia, makhluk, dan Tuhan sesungguhnya tidak bisa dipilah-pilah. Yang banyak itu ternyata hanya satu dan Yang Satu Itu menampilkan spektrum yang beraneka ragam.

Kesungguhan (Azam)


KESUNGGUHAN (azam) adalah kesungguhan yang luar biasa ditunjukkan seorang hamba untuk berusaha mendekatkan diri sedekat-sekatnya kepada Tuhan. Bukan itu saja tetapi bersunguh-sungguh pula untuk mempertahankan maqam yang telah dicapai selama ini. Tanpa kesungguhan, sulit dibayangkan seseorang akan mampu meningkatkan prestasi spiritualnya. Karena semakin tinggi tingkat pencapaian spirirual (maqam) seseorang semakin berta pula proses pendakian itu. Mungkin di level awal seseorang bisa melejit dan meloncat ke jenjang lebih tinggi tetapi orang yang sudah di jenjang lebih tinggi mau ke yang lebih tinggi lagi, apalagi untuk sampai ke puncak, betul-betul memerlukan kesungguhan yang luar biasa, berbeda dengan apa yang pernah dilakukan sepenuhnya. Semakin tinggi pendakian itu semakin berat pula cobaan dan godaan yang akan dialami seseorang.

Kesungguhan di sini meliputi kesungguhan dalam berbagai dimensi. Mulai dari kesungguhan ibadah fisik (ibadah badaniyyah), seperti shalat-shalat fa rdu dan sunnat, puasa wajib dan puasa sunat, kesungguhan dalam ibadah harta (ibadah maliyyah) seperti zakat, infaq, dan sahaqah, kesungguhan ibadah rohani (ibadah ruhiyah) seperti tafakkur dan tadzakkur, dan penggabungan kesungguhan berbagai aspek seperti haji, yang melibatkan kekuatan badan, kemampuan harta, dan kekuatan spiritual. Seorang salik yang sudah sampai ke tingkat kesungguhan seperti tadi berpeluang memperoleh jenjang spiritual yang lebih tinggi lagi. Hanya saja berapa lama yang bersangkutan harus menjalani kesungguhan itu untuk sampai ke jenjang berikutnya, hanya Allah Yang Maha Tahu.

Orang-orang yang sudah sampai di tingkat azam ini Tuhan meminta agar ia tawakkal, sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran/3: Fa idza azamta fatawakkal alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin (Jika kalian telah berupaya dengan penuh kesungguhan maka berpasrah dirilah kepada Allah SWT, karena sesungguhnya Allah SWT Maha Mencintai orang-orang yang bertawakkal). Tawakkal adalah penyerahan diri tanpa reserve kepada Allah SWT. Tawakkal itu sendiri termasuk anak tangga yang mesti dilewati, karena tanpa tawakkal sulit bagi seseorang untuk melewati fase-fase tertentu di dalam suluk. Nasehat yang sering diucapkan seorang syekh atau muridnya ialah untuk mencapai kualitas tawakkal yang lebih baik. Tawakkal tidak tidak cukup dengan berpasrah diri saja, tetapi harus diawali dengan upaya dan perjuangan sungguh-sungguh. Bukan hanya dalam urusan dunia tetapi juga dalan dunia spiritual. Tawakkal lebih tinggi dari sabar, karena kesabaran masih sering terselip niat untuk mengakhiri sebuah kekecewaan dengan mengandalkan upaya diri sendiri atau orang lain. Akan tetapi tawakkal tidak lagi berharap apapun selain Allah sendiri.

Tawakkal sesudah melakukan kesungguhan (azam) sangat tidak mudah. Biasanya orang yang telah melakukan kesungguhan sudah nyata hasil di depan mata, terutama dalam dunia material. Orang sering tergoda karena hasil perjuangan. Seolah-olah hasil itu adalah buah dari perjuangannya sendiri. Padahal hasil usaha adalah dari Allah sendiri. Orang yang sudah azam seolah-olah tidak sadar kalau dirinya itu sedang melakukan upaya kesungguhan. Mereka tidak sadar lagi kalau dirinya telah dan sedang melakukan sesuatu yang menurut orang lain luar biasa. Padahal, sesungguhnya telah melakukan sesuatu yang teramat mulia di mata Allah SWT.

Azam adalah anak salah satu tangga yang gampang diucapkan tetapi teramat sulit untuk diamalkan, apalagi dengan pengamalan yang istiqamah. Mungkin orang bisa saja melakukan suatu kesungguhan teta pi temporer, atau karena didorong oleh keinginan di dalam dirinya untuk memperoleh kebahagiaan dan kesenangan. Tetapi azam di sini sudah tidak berharap apapun selain Allah SWT

Oleh Nasaruddin Umar
Source :
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=96345
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=96725
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=97430

Tidak ada komentar:

Posting Komentar