Selasa, 19 April 2011

Revolusi Islam atau Arab?

Mengapa para diktator di Timur Tengah yang belakangan ini bertumbangan bisa bertahan puluhan tahun di singgasana mereka? Ada pendapat, itu antara lain karena (sebagian) ulama di negara yang rata-rata Sunni itu mengusung konsep persetujuan terhadap ”status quo” sang pemimpin Muslim.

Mari mengambil beberapa contoh. Ketika berkomentar tentang demonstrasi anti-Presiden Mesir, 4 Februari silam, seorang imam masjid ternama di Jakarta menyebut ”haram hukumnya menurunkan pemimpin Muslim kecuali ia sudah tidak shalat lagi atau telah kafir”. Sang imam mendasarkan pernyataan pada hadis Nabi Muhammad SAW dalam dua kitab ”sahih” ternama.

Ulama ternama di Arab Saudi, Sheikh Abdul-Aziz Al-Sheikh, juga membuat pernyataan serupa. Di harian Asharq al-Awsat, juga dikutip Reuters, 5 Februari silam, ia mengatakan, berbagai protes di Mesir, Tunisia, dan negara-negara lain untuk merusakkan bangsa-bangsa Muslim-Arab. ”Chaos itu datang dari musuh-musuh Islam,” kata ulama yang dekat dengan Pemerintah Saudi itu.

Saat terjadi demo besar di Mesir, para ulama Al-Azhar pun menunjukkan dukungan kepada Hosni Mubarak. Belakangan dukungan itu berantakan ketika kemudian juru bicara Al-Azhar, Mohammad Rafat al-Tahtawi, mengundurkan diri dan bergabung dengan para demonstran.

Benarkah revolusi-revolusi itu mengatasnamakan Islam? Kita tahu bahwa ”kartu domino” kejatuhan para diktator itu bermula dari protes membakar diri Bouazizi yang jadi katalis dan martir hingga Presiden Tunisia Ben Ali terguling. Tindakan itu tentu sulit diterima sebagai Islami karena bunuh diri diharamkan Islam. Kemudian kita juga menyaksikan sikap aktivis Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam di Mesir, yang sejak awal tak ingin menonjol dalam aksi-aksi demo itu guna menghindari munculnya kesan bahwa ini adalah revolusi Islam.

Andaikata itu semua adalah ”atas nama Islam”, apakah haram hukumnya rakyat mendongkel diktator Muslim yang masih tampak shalat? Tidak juga.

Menilik sejarah, pemberontakan serupa sudah terjadi sejak sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Pada masa Khalifah Usman bin Affan, misalnya, orang-orang Mesir bersama dua ribuan penduduk Basrah dan Kufah (keduanya di Irak) pernah melakukan pemberontakan bersenjata. Usman adalah sahabat utama Nabi SAW, tetapi sebagai khalifah—kata ulama Mesir Maududi dan Ahmad Amin dalam Yaumul Islam—Usman ”telah melakukan penyimpangan, meninggalkan prinsip keadilan, dan melakukan nepotisme sehingga menimbulkan protes rakyat luas”.

Bukan mustahil para pemberontak itu diilhami penentangan tiga sahabat Nabi: Ammar bin Yasir, Ibnu Mas’ud, dan Abu Dzar. Ammar menulis petisi, mengecam kebijakan Khalifah Usman. Ibnu Mas’ud menentang Usman lewat protes, kemudian mengundurkan diri dari jabatannya meski ia tidak mengangkat senjata. Abu Dzar berorasi di pasar-pasar dan turun ke jalan, tetapi juga tanpa senjata.

Demi kemaslahatan umat

Boleh jadi gerakan sekarang ini juga diilhami penentangan ketiga sahabat Nabi SAW itu meski tak harus berlabelkan ”Islam”, sebagaimana dikatakan kelompok Ikhwanul Muslimin. Berbagai protes warga di Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini pun awalnya berlangsung relatif damai, tetapi jadi ”berdarah” ketika penguasa yang represif ngotot mempertahankan kursi.

Meski barangkali tak atas nama agama, kita tahu sesungguhnya berbagai demo rakyat Arab itu tetap saja sebuah tekad yang dianjurkan agama yang madani yang mengedepankan kemaslahatan umat dan akhlak bernegara ketimbang urusan fikih yang penuh perbedaan pendapat (ikhtilaf). Itu sebabnya kita melihat dasar nash (hadis) yang melarang pendongkelan pemimpin Muslim seolah jadi tak bermakna atau ”tidak laku”.

Al Quran sendiri secara tegas mengancam ”mereka yang shalat tapi melupakan orang miskin dan menghardik anak yatim”. Sementara sebuah hadis Nabi SAW yang lain dan sangat populer justru menyuruh orang menentang kemungkaran (korupsi, ketidakadilan) dengan tangan (kekuatan), dengan lisan, atau, minimal menolak dalam hati.

Apakah karena aturan yang demikian maka kaum Muslim Syiah berbeda dari saudaranya yang Sunni memilih konsep untuk lebih mengutamakan pemimpin yang adil meski ia bukan seorang Muslim ketimbang seorang Muslim yang zalim?

Entahlah! Yang jelas, saat masyarakat dicengkeram korupsi dan ketidakadilan, umat Islam sulit menerima pengharaman menurunkan pemimpin yang zalim meski nash dimaksud termaktub dalam kitab rujukan utama. Yang jelas, lebih dari semiliar Muslimin di dunia bisa mengingatkan para pemimpin bahwa para nabi—Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad—selalu membela wong cilik, kaum miskin, dan mustadzaffien (orang lemah) menghadapi penguasa tiran seperti Firaun dan Abu Jahal.

Oleh Syafiq Basri Assegaff, Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina dan Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina

Sumber http://cetak.kompas.com/read/2011/04/08/04085197/revolusi.islam.atau.arab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar