Sabtu, 11 Mei 2013

Membersihkan sifat-sifat tercela.



Setiap insan manusia yang menghendakki mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, itu membutuhkan jiwa yang bersih yaiitu dengan menyingkirkan (menghilangkan) sifat-sifat yang tercela yang mendekam di hati seseorang. Misalnya : menyombongkan diri, dengki, rakus, serta membanggakan amal baiknya dan sebagainya. Apabila shifat yang jelek itu mampu untuk ditiadakan (disingkirkan) lalu diisi dengan amalan-amalan yang baik atau dengan menjalankan sifat-sifat yang terpuji lainnya. Seperti ramah-tamah sesama manusia, ringan tangan dalam tolong-menolong, ikhlash dalam semua ibadaht.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an :
“Wamaa umiruw illa liya’budullaha mukhlishiyna lahud-diyna hhunafaa-a wayuqiymush-shalaahta wayuktuz-zakaahta wa dzaalika diynul-qiyyamahti.”
“Padahal mereka tidak disuruh melainkan supaya mereka menyembah Allah dengan memurnikan ketha’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalaht dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” {QS. Al Bayyinah. 5}.

Dari itu ketahuilah behwasanya shifat manusia yang ada hubungannya dengan agama itu ada (2) macam yaitu yang berkaitan dengan keadaan lahir dan berkaitan dengan bathin. Yang  berkaitan dengan lahir, yaitu semua gerakan anggota badan lahir disebut Amal inipun terbagi (2) dua yaitu :
Pertama : Amal yang sesuai dengan perintah (disebut tha’at).
Kedua    : Amal yang menyimpang dari perintah disebut ma’siat.
Yang berkaitan dengan keadaan bathin yaitu dari gerakan hati (janji). Dan janji inipun dibagi menjadi dua yaitu :
Pertama : Janji yang sesuai dengan Haqiqat disebut ilmu dan iman.
Kedua    : Janji yang menyimpang dari haqiqat disebut munafik dan kebodohan.

Keta’atan dalam menjalani syari’aht agama itu karena adanya ilmu dan iman yang masuk dalam hati. Sedangkan kemaksi’atan itu dikarenakan adanya shifat nifaq dan bodoh yang masuk didalam hati.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam Al Qur’an :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” {yaitu} orang-orang yang menafkahkan {hartanya}, baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan {kesalahan} orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Dan {juga} orang-orang  yang apabila mengerjakan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah ? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu. sedang mereka mengetahui.” Mereka itu balasanya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang didalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah sebaik-baik fahala orang-orang yang beramal.” {QS. Ali ‘Imran. 33-36}

Maka jika jiwa manusia telah diperbudak akan hawa nafsunya dan terjadilah anggapan semua yang dikerjakannya selalu dalam keadaan benar sehingga dia merasa tenang-tenang tanpa memikirkan resiko dirinya tentang apa yang diperbuat itu. Jika sudah demikian, berarti kelalaian kepada Allah Ta’ala telah mengusai dirrinya. Dan apabila ia lalai kepada Allah Ta’ala maka terjadilah perbuatan maksi’at.

Ketahuilah didalam jiwa manusia itu terdapat (2) dua nafsu yang berada atas perbedaan yang dapat manusia bereda dalam kebaikkan atau sebaliknya.

Pertama : “Nafsu Ammarah”. Yaitu nafsu yang selalu condong kepada kejahatan yang berkaitan dengan badan (lahiriah), karena badaniah itu selalu condong kepada kelezatan dan kepuasan syahwat yaitu senang makan minum yang enak-enak, tamak akan kebendaan dunia, dan senang kepada perbuatan maksi’at.

“Wamaa ubarri-u nafsiy innan-nafsa la-amarratun bissuw-i illa-maara-hhima rabbiy inna rabbiy ghafurunr-rahhiimun.”

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan. Kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” {QS. Yusuf. 53}

Kedua : “Nafsu Mutmainnah”. Yaitu nafsu yang tenang yang tidak condong kepada perbuatan maksi’at dan sifat-sifat tercela lainnya. Nafsu ini yang diberi rahmat oleh Allah Ta’ala yang dari dalam hatinya terpancar sinar kejernihan yang menunjukkan bahwa ia bersih dari perbuatan yang tercela, dan kelak di akhirat ia mendapat panggilan dari Tuhannya :
“Ya-ayyuhan-nafsul-muthmainnatu” Irji’iy ilaa rabbika radhiyatanm-mardhiyyatan” Fadkhuli fiy ‘ibaadiy” Wad khuli jannatiy.”

“Hai jiwa yang tenang. Kembali kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku.” Dan masuklah kedalam surga-Ku.”
{QS. Al Fajr. 27-30}.

Adapun “nafsu ammarah” jika diperinci menjadi (6) enam macam antara lain :

1.   Pertama   : Syahwat.
2.   Kedua      : Marah.
3.   Ketiga      : Thama’.
4.   Keempat : Sombong.
5.   Kelima     : Riya’.
6.   Keenam  : Dengki.

Keenam macam nafsu tersebut harus diperangi, dibersihkan dari hati dengan mencukupi amalan-amalan yang bersifat pendekatan kepada Allah Ta’ala. Nafsu ammarah yang bersifat syahwat dan marah harus diperangi dengan sifat “Sabar”. Nafsu thama’ diperangi dengan sifat “Qana’ah”, yaitu menerima apa adanya dari pemberian Allah Ta’ala. Nafsu sombong harus diperangi dengan sifat “Tawwadhu’ “, yaitu merendahkan diri. Nafsu riya’ dan dengki harus diperangi dengan sifat “Ikhlash”.

Adapun Nafsu Muthmainnah itu mempunyai (5) lima macam sifat, antara lain :

1.   Pertama   : Amalan-amalan yang shifatnya pendekatan kepada           
                          Allah Ta’ala.
2.   Kedua      : Sabar, ya’ni tabah hati didalam menghadapi segala 
                          ketentuan Allah Ta’ala.
3.   Ketiga      : Qana’ah yaitu menerima apa adanya dari pemberian 
                          Allah Ta’ala.
4.   Keempat : Tawwadhu’ ya’ni merendahkan diri sehingga tidak 
                          berbuat sewenang-wenang.
5.   Kelima     : Ikhlash yaitu memelihara diri dari pada ingin 
                         diperhatikan makhluq.

Maka dalam hal ini untuk mencapai amal kebaikkan dunia dan akhirat, harus selalu takut kepada Allah Ta’ala baik diwaktu sepi atau ramai, ikhlash menerima ketentuan Allah Ta’ala, bersikap baik dan ramah tamah kepada sesamanya dalam dalam semua keadaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar