Sabtu, 11 Mei 2013

Sifat tercela pada diri manusia.




Adapun sifat tercela yang biasa terdapat pada manusia itu jika dilihat banyak sekali tertampak dan tidak mampu untuk dipungkiri seperti, sombong, ujub, riya, budi yang buruk, gila jabatan (kedudukan) dan merasa derajat tinggi, meneliti cela orang lain dan berperasangka buruk, dan masih banyak lagi.

“Tasyawwu fuqa ilaa maa bathana fiyka minal-‘uyuwbi khaiyrun min tasyawwu fiqa ilaa maa hhujiba ‘anka minal-ghuyuwbi”.

“Usahamu untu mengetahui apa yang tersimpan di dalam dirimu dari berbagai macam cela itu adalah baik, dari pada usahamu kepada apa yang terhalang dari kamu dari bebagai perkara yang ghaib”.

Di dalam Al Qur’an manusia yang beriman dilarang meneliti (cela) orang lain separti halnya di dalam Al Qur’an :

“Yaa ayyuhal-ladziyna amanuj-tanibuw kasyiranm minazh-zhanni inna ba’dhadzanni itsmun walaa tajas-sasu walaa yaghtabab-ba’dhukum ba’dhan ayuhhibbu ahhadukum an yak kula lahhma akhihi miytan fakarih-tumuwhu wat taqullaha in nallaha tawwabunr-rahhimun”.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu mempergunjingkan sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik terhadapnya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubaht lagi Maha Penyayang”. {QS. Hujuraat. 12}

Sebuah haditspun menerangkan :
“Dari Abu Hurairah r.a. Bahwasanya Rasulullah s.a.w bersabda: Tahukah kalian, apakah ghibah itu ? Para shahabat berkata Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui, beliau berkata: Ghibah itu ialah menyebut-nyebut saudaramu dengan perkara ia tidak tahu. Seorang berkata : Bagaimana kalau pada saudaraku itu apa yang aku katakan ? Beliau menjawab: Kalau padanya ada sebagaimana yang engkau katakan, sungguh engkau telah mengumpat dia, dan kalau padanya tidak seperti yang engkau katakan, sungguh engkau telah berdusta”.{HR. Imam Muslim}.

Dan pada sebuah hadits yang lain :
“ ‘An Anasin radhiallahi ‘anhu qaala rasulullhi shalallahu alaiyhi wa sallamu. Thubaa liman syaghalahu ‘ayyubuhu ‘an-‘uyubinnasi”.

“Dari Anas r.a. berkata : Telah bersabda Rasulullah s.a.w. berbahagialah orang yang selalu di ingatkan oleh ‘aibnya sendiri dari pada ‘aibnya orang lain”. (HR. Al Bazzar).

Maka dari itu untuk membersihkan jiwa selalu mengoreksi cela yang ada di dalam diri. Yang seharusnya cela-cela itu terbuang jauh-jauh dari diri manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan cela yang terdapat pada manusia bermula dari hawa nafsu.

Dan ketahuilah pula bahwa hawa nafsu bermula dari (4) perkara :
·  Pertama   : Melanggar perintah Allah Ta’ala.
·  Kedua      : Menjalankan amal baik yang disertai dengan riya’.
·  Ketiga : Bersantai-santai sehingga tidak memperhatikan betapa pentingnya wakt.
·  Keempat : Bermalas-malas dalam melakanakan kewajiban-kewajian perintah Allah Ta’ala.

Untuk menghilangkan ke empat perkara itu hendaklah jiwanya diisi dengan ketha’atan tekun dalam menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala serta mengikuti sunnah Rasul s.a.w. dan mengenai perkara-perkara akan suatu kelebihan di dalam beribadaht di antaranya mengenai taqdir, mengenai karamaht dan lainnya. Hal ini jangan dikejar untuk ingin mengetahuinya sebelum menghilangkan aib (cela) yang terdapat pada diri sendiri. Dan janganlah bermaksud bahwa dengan amal-amaknya itu ia ingin mengetahui perkara ghaib. Sehingga hatinya di dalam ibadaht disibukkan oleh perkara-perkara tersebut.

Jadilah kamu yang selalu mencari istiqamah (kelurusan) dan janganlah menjadi orang yang mencari karamaht (kekeramatan) maka sesungguhnya jiwamu menjadi bergolak sedangkan kamu mencari karamaht, akan tetapi Allah Ta’ala mencarimu dengan kebenaran (kelurusan). Dan karena memang Haq Allah Ta’ala itu lebih utama bagimu daripada kamu mengutamakan bagian jiwamu.

Sehubungan dengan hal ini telah diceritakan didalam Hikayat Israilyyat yang bersumber dari Wahab bin Munabbih r.a. :

“Sesunggunya (duhulu) ada seorang laki-laki dari bani Israil menjalani puasa selama 70 tahun. Setiap tahun ia berbuka 7 hari. Kemudian ia memohon kepada Allah Ta’ala agar supaya diperlihatkan padanya bagaimana kekuatan syaithan di dalam mengalahkan manusia. Walaupun permintaannya itu sudah lama sekali diajukan, akan tetapi Allah Ta’ala belum mengabulkannya. Ia berkata dalam hatinya : Seandainya aku tahu atas kesalahanku dan dosa-dosaku yang terjadi antara aku dengan Tuhanku pastilah itu lebih baik bagiku dari perkara yang aku minta ini.

Pada waktu itu juga Allah Ta’ala mengutus malaikat untuk menemuinya. Kemudian malaikat itu berkata : Bahwasanya Allah Ta’ala telah mengutusku untuk menemuimu. Dia (Allah) berkata kepadamu :

Sesungguhnya perkataanmu yang telah lalu itu lebih disenangi Allah Ta’ala dari pada ibadahmu selama itu. Sesudah diberitahu oleh malaikat yang demikian itu, maka Allah Ta’ala membuka penglihatannya sehingga ia dapat melihat bala tentara iblis seketika itu yang telah mengepung bumi, sehingga tidak seorangpun manusia yang tak terkepung olehnya bagaikan pengepungan lalat.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar