Kamis, 31 Oktober 2013
Kenapa Gampang Marah ???
Anda pernah marah? Semua manusia normal pasti pernah merasakan marah dan gembira, menangis dan tertawa, sedih dan senang, murung dan ceria. Kemarahan lumrah dialami siapa saja. Rasulullah sendiri pernah marah, sebagaimana sabda beliau, “Aku ini manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah.” [HR Muslim].
Kemarahan muncul dari dorongan nafsu, yang merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, sepanjang masih bernama manusia, kemarahan pasti ada. Kemarahan orang itu beragam. Menurut Imam Al-Ghazali, ada orang yang begitu lekas marah, lekas reda. Yang lain, lambat marah, lambat pula redanya. Yang terbaik tentu yang lambat marah, tetapi lekas redanya.
Orang beriman harus pandai mengendalikan kemarahan agar tidak meluap, sehingga menyebabkan gelap mata, tuli telinga, mati hati, tumpul akal, hilang pertimbangan. Bijak bestari mengatakan, kapal di laut yang dipermainkan gelombang dan kehilangan kompas masih lebih baik ketimbang kondisi orang yang dilanda kemarahan. Karena, ketika kapal itu rusak, orang yang melihat masih merasa iba. Tetapi orang yang marah, semakin ditolong semakin karam, semakin dibangunkan semakin jatuh, sehingga orang jemu melihatnya.
Kendati demikian, mengendalikan kemarahan sungguh tidak mudah. Terlalu banyak persoalan yang mudah menyulut kemarahan. Tidak heran, Rasulullah menyebut orang yang berhasil mengendalikan kemarahan sebagai orang perkasa. Bukhari dan Muslim mengutip hadis sahih yang berbunyi, “Orang perkasa itu bukanlah orang yang mampu membanting lawannya. Tetapi, siapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah, itulah orang perkasa.”
Bahkan, ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah dan meminta nasihat, beliau hanya berpesan, “Jangan marah!” Menurut Abu Hurairah, Rasulullah mengulang pesan singkat itu sampai beberapa kali. Itu berarti, mengendalikan kemarahan memang sangat diperintahkan. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa kemampuan mengendalikan kemarahan adalah salah satu ciri orang bertakwa.
“(Orang-orang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (harta), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan marah dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [QS Ali Imran/3: 134].
Memaafkan kesalahan orang pasti sukar dilakukan jika hati diselimuti kemarahan. Jangankan memaafkan, yang muncul justru dendam. Kemarahan yang diposisikan pada waktu dan tempat yang pas, itulah marah profesional. Prof Hamka pernah membagi tiga tipologi kemarahan.
Pertama, marah terpuji. Dijelaskan Buya Hamka, marah tipologi ini termasuk ghirah li al-sharaf (marah demi menjaga kehormatan). Ketika Islam dilecehkan, orang beriman wajib marah. Juga ketika istri atau suami kita diselingkuhi orang. Orang yang tidak marah melihat kondisi demikian dikatakan sebagai dayus alias hina budinya. Sebab kehadiran Islam sendiri sejatinya melindungi lima hal prinsip: agama, jiwa, akal, kehormatan, harta. Aisyah berkisah,“Rasulullah tidak pernah marah karena urusan diri pribadi, kecuali jika batasan syariat Allah dilanggar, maka beliau akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah.” [HR Bukhari dan Muslim].
Kedua, marah tercela. Inilah kemarahan yang semata termotivasi dorongan nafsu. Kendati tidak dilarang, kemarahan tipologi ini harus dihindari. Islam mengajarkan sikap sabar. Tetapi sabar adalah ketika sesuatu yang menjengkelkan itu terjadi. Kalau kita marah-marah ketika kehilangan barang, kemudian besoknya setelah kemarahan itu hilang, tiba-tiba kita mengaku bersabar, itu namanya bukan sabar. Rasulullah bersabda, “Kesabaran itu pada goncangan pertama.” [HR Bukhari dan Muslim].
Ketiga, marah terlarang. Kemarahan ini umumnya timbul dari sikap pongah, congkak, dan merasa paling hebat dari yang lain. Tidak ada yang dapat dipetik dari kemarahan tipologi ini kecuali penyesalan. Pelakunya biasa disebut sebagai pemarah. Pemarah tidak pernah dapat mengatasi masalah. Yang terjadi justru berkurangnya kawan, merosotnya martabat, puasnya pendengki, dan bergembiranya musuh. Kata Buya Hamka, ujung dari kemarahan ini adalah penyakit tahawur (berani babi) dan jubun (pengecut).
Kemarahan yang dikelola secara profesional akan menimbulkan sikap syaja’ah. Itulah keberanian yang berlandaskan kebenaran. Ali bin Abu Thalib adalah seorang pendekar jihad. Dalam sebuah pertempuran, Ali berhasil membekuk seorang lawan. Tinggal satu langkah lagi Ali akan mengakhiri riwayat musuh itu. Tiba-tiba, musuh yang tidak berdaya itu meludahi Ali tepat di mukanya. Spontan, Ali melepaskannya. Ada apa gerangan? Ternyata Ali tidak mau membunuh musuh hanya karena marah akibat diludahi, bukan tulus karena membela agama Allah. Sungguh sebuah contoh sikap pemberani yang mampu mengatasi kemarahan.
Pemuda berjuluk Kota Ilmu itu begitu meneladani junjungannya, Rasulullah. Setiap cercaan dan siksaan selalu disikapi Rasulullah dengan kelembutan dan kesabaran. Setiap berangkat dan pulang ibadah di masjid diludahi orang, beliau tidak marah. Salat di Kakbah selalu dilempari kotoran, beliau tetap tenang. Berdarah-darah karena diserbu penduduk Thaif dengan batu, beliau malah balas mendoakan. Bahkan, ketika Aisyah, istri tercinta, digosipkan berselingkuh dengan Shafwan bin Muathal sepulang dari pertempuran melawan Bani Musthaliq, beliau juga tidak membalas fitnah keji yang disebarkan gembong munafik Abdullah bin Ubai itu. Keluhuran akhlak Rasulullah benar-benar diakui kawan sekaligus lawan. Mungkinkah kita sanggup meneladani sosok Matahari Dunia itu?
Kehidupan keseharian kita kerap diwarnai kemarahan. Mendengar pribadi kita diserang, seketika kita naik pitam. Melihat partai atau aliran kita dipojokkan, berjuta cara kita lakukan untuk balas memojokkan. Lucunya, saat kepemimpinan kita dikritisi, segera kita gelar jumpa pers untuk mengemukakan seribu dalih untuk membela diri. Kita rajin mencari pendapat yang menguatkan alibi diri. Kita juga cenderung menggilai sanjungan sembari mengumpat kritik. Kemarahan kita sungguh jauh dari sikap profesional.
Api kemarahan juga sering meletup dalam kehidupan kolektif kita. Sangat mudah kita temukan penyelesaian persoalan dengan jalan kekerasan. Pelakunya bisa berupa lembaga atau organisasi, termasuk yang berbaju agama. Setiap kelompok akan mudah menempuh jalan ngawur apabila tidak mampu mengendalikan kemarahan. Padahal kemampuan mengendalikan kemarahan akan mendatangkan keuntungan besar di masa mendatang. Rasulullah bersabda, “Barang siapa menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, niscaya Allah akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya.” [HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad].
Menurut At-Thibi, mengendalikan kemarahan yang dipuji dalam hadis itu adalah ketika seseorang sedang marah dan mampu untuk melampiaskan. Sementara ketika dia tidak mampu melampiaskan, misalnya karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena kelemahannya, maka menahan kemarahan dalam keadaan demikian tidak termasuk yang dipuji.
Simak kisah menarik yang ditulis Ibnu Rajab dalam kitab ‘Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam’ berikut. Khalifah Umar bin Abdul Aziz marah. Putranya yang bernama Abdul Malik lalu berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, dengan karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepadamu, engkau marah seperti ini?” Umar bin Abdul Aziz berkata, “Apakah kamu tidak pernah marah, Wahai Abdul Malik?” Lalu Abdul Malik menjawab, “Tidak ada gunanya bagiku lapangnya dadaku kalau tidak aku gunakan untuk menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak, sehingga tidak mengakibatkan keburukan.”
Oleh M Husnaini, Penulis Buku “Menemukan Bahagia
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/10/31/mvioh3-kenapa-gampang-marah
Memperbanyak Istighfar
Setelah mendirikan shalat fardhu, seseorang akan melanjutkan dengan zikir atau doa. Ada yang secara berjamaah atau sendiri. Dalam zikir atau doa tersebut tentu diawali dengan istighfar kepada Allah SWT dan shalawat kepada Rasulullah SAW.
Istighfar adalah permohonan ampun seseorang kepada Allah SWT dengan lisan dari segala bentuk kejahatan dan kezaliman yang telah ia perbuat. Istighfar wajib dilantunkan seseorang sebelum memanjatkan zikir maupun doa agar dapat diterima Allah SWT.
Secerdas apa pun seseorang takkan mampu mengetahui dan menghitung jumlah dosa yang telah ia perbuat dalam sehari, baik dalam bentuk fisik maupun batin.
Maka, dengan istighfar dapat menghapus dosa-dosa yang menjadi penghalang terkabulnya doa karena hanya Allah Zat yang Mahapengampun lagi Mahapengasih.
Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman kepada Rasulullah SAW, “Maka bertasbihlah kamu (Muhammad) dengan memuji Tuhanmu dan memohon ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya Dia-lah Zat yang Mahapengampun.” (QS an-Nashr [110]: 3)
Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa beristighfar tak mengenal waktu dan tempat. Selagi ia sempat dan ingat kepada Allah maka dianjurkan untuk bisa beristighfar kepada-Nya.
Istighfar dapat dilafalkan sebelum dan sesudah shalat atau juga di akhir malam. Hal inilah yang dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun) kepada Allah.” (QS adz-Dzaariyat [51]: 17-18)
Lantas, berapakah selayaknya seseorang melafalkan istighfar dalam sehari? Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya untuk bisa beristighfar sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari.
Beliau berucap, “Sesungguhnya, aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR Bukhari)
Tak hanya itu, bahkan beliau melafalkan istighfar dengan lengkap sebagai wujud kesyukurannya kepada Allah SWT, meskipun secara pribadi beliau adalah orang yang ma’sum (terbebas dari salah dan dosa).
Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW menyebutkan, “Ya Allah, ampunilah bagiku dosa-dosaku yang telah lalu dan akan datang, yang tersembunyi dan tampak, dan apa yang Engkau lebih ketahui dariku. Engkau-lah Zat yang Mahapendahulu dan Zat yang Mahapengakhir. Dan, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (HR Bukhari)
Rabiah Adawiyah, wanita sufi dalam sejarah Islam mempertegas dalam ucapannya, “Istighfar kita kepada Allah membutuhkan istighfar yang banyak.”
Dengan memperbanyak istighfar, selain sebagai sarana mengingat kepada Allah sang Mahapencipta juga untuk memohon ampun kepada-Nya; dapat mengingatkan hakikat diri sebagai makhluk-Nya yang lemah, tiada terlepas dari salah dan dosa; memberikan jalan keluar dari segala bentuk kesusahan dan kesempitan; dan mendapatkan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Wallahua’lam.
Oleh: Sinwani
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/10/31/mvj473-memperbanyak-istighfar
Rabu, 30 Oktober 2013
Mukjizat Azan: Bunga-bunga Bermekaran Saat Azan Berkumandang
Subhanallah, lantunan Azan yang mengalun merdu
ternyata mampu membangunkan bunga-bunga yang tertidur. Stasiun televisi
CNN, menayangkan sebuah fenomena yang menunjukkan mukjizat lantunan
azan.
Bunga-bunga yang awalnya kuncup berubah menjadi mekar saat azan berkumandang. Bunga-bunga itu akan bermekaran begitu suara azan berkumandang. Fenomena mengagumkan yang terjadi di Ajerbaizan itu pun mendapat perhatian dari media Barat, Simak mukzijat azan dalam video berikut ini:
http://www.youtube.com/watch?v=_0uqgB3js1g&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=qgeCCZRaY_Q
http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/12/02/10/lz50lc-mukjizat-azan-bungabunga-bermekaran-saat-azan-berkumandang
Selasa, 29 Oktober 2013
Mahalnya Nilai Kejujuran
Kejujuran terkesan sudah menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Berbuat dan berkata dusta (berbohong) terkesan menjadi suatu hal yang lumrah. Kedustaan seakan diumbar tanpa memiliki rasa bersalah dan takut akan ganjaran dosa.
Individu, masyarakat dan bangsa yang sudah tidak mengutamakan kejujuran dipastikan kehancuran akan mudah menghampiri kita. Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT.
Hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran.
Kedustaan dan ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan kepada ketidakadilan, disebabkan karena orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja.
Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara Negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.
Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan. Namun kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Seorang ulama menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu kita dalam mencoba meraih kejujuran.
Pertama, akal yang wajib memandang buruk kedustaan apalagi jika kedustaan itu sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak mencegah bahaya.
Kedua, agama dan syariat yang memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dan kejujuran serta memperingatkan bahaya kedustaan.
Ketiga, kedewasaaan diri kita yang menjadi salah satu faktor pencegah kedustaan dan kekuatan pendorong menuju kebenaran.
Keempat, memperolah kepercayaan dan penghargaan masyarakat. Ada sebuah kata mutiara; “Jadikanlah kebenaran (al Haq) sebagai tempat kembalimu (rujukanmu), kejujuran segai tempat pemberangkatanmu, sebab kebenaran adalah penolong paling kuat dan kejujuran adalah pendamping utama”.
Terakhir, ada baiknya kita menyimak pidato Abu Bakar ash-Shiddiq ra. yang dilansir dari kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, bab Masa Khulafaur Rasyidin, karya Ibnu Katsir. Selepas dibaiat, Abu Bakar mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, ‘Amma ba’du, “Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan.”
Karena itu, sejatinya pribadi Muslim untuk terus membangun kejujuran dalam melakukan semua aktivitas.
Oleh Dr HM
Harry Mulya Zein
Takut Kepada Allah
Setiap orang pasti pernah merasakan takut, mulai dari takut digigit ular, takut kehilangan jabatan, hingga takut kepada Tuhan.
Dalam psikologi agama, sebagian manusia mencari dan membutuhkan Tuhan, antara lain karena adanya rasa takut dalam diri terhadap kekuatan gaib.
Manusia takut kepada kekuatan dahsyat yang ada di alam raya ini, seperti gunung meletus, angin puting beliung, banjir bandang, tsunami, dan sebagainya, sehingga membuatnya mencari pelindung, pemberi rasa aman dan keselamatan hidupnya.
Secara psikologis, takut adalah kondisi psikis (kejiwaan) yang diliputi rasa khawatir, kegalauan, ketakutan, was-was, atau kurang nyaman terhadap sesuatu yang tidak disukainya itu jika terjadi pada dirinya. Takut bisa saja menjadi energi positif, jika dimaknai secara postif, demikian pula sebaliknya.
Kata takut dalam al-Qur’an, antara lain, dinyatakan dengan khauf dan khasyyah. Kata khauf lebih umum daripada kata khasyyah. Khasyyah menunjukkan rasa takut yang lebih spesifik, dan disertai pengetahuan (ma’rifah).
Khasyyah disematkan kepada ulama (ilmuwan, saintis yang takut kepada Allah). Hal ini seperti diisyaratkan oleh firman-Nya: “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS. Fathir [35]: 28)
Takut dalam arti khasyyah hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu seperti Nabi SAW sesuai dengan sabdanya: “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian”.
Sedangkan
takut dalam arti khauf cenderung
dimaknai menghindar dan lari dari yang ditakuti. Akan tetapi, khasyyah merupakan takut
yang cenderung berpegang teguh kepada ilmu atau pengetahuan akan yang ditakuti
dan kepada kebesaran-Nya.
Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif, yaitu rasa takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya.
Jika rasa takutnya meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, melainkan juga melengkapinya dengan amalan sunnah, dan menjauhi hal-hal yang berbau syubhat (grey area, abu-abu, samar-samar status hukumnya).
Setidak-tidaknya ada enam hal yang harus ditakuti Mukmin, yaitu, pertama, takut siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajiban kepada Allah SWT dan kepada sesama. Ketiga, takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya, sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka.
Keempat, takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia. Kelima, takut su’ul khatimah (akhir kehidupan atau kematian yang buruk). Keenam, takut azab kubur, pengadilan dan azab Allah di akhirat kelak.
Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah itu dapat mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan.
Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat. Karena tidak takut kepada Allah, koruptor semakin merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu.
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 175)
Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan bervisi masa depan, menyiapkan generasi yang tangguh, kuat, dan unggul.
Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. an-Nisa’ [4]: 9)
Di atas semua itu, memaknai takut secara positif dapat mengantarkan hamba meraih dan merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu ridha, sehingga pada gilirannya dapat meraih surga-Nya.
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 8)
Takut kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim dengan-Nya, sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan, takut kepada atasan, atau takut tidak memiliki masa depan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Dalam kajian akhlak tasawuf, takutnya Mukmin harus dimaknai secara positif, yaitu rasa takut yang menyebabkannya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya.
Jika rasa takutnya meningkat, Mukmin tidak merasa cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban, melainkan juga melengkapinya dengan amalan sunnah, dan menjauhi hal-hal yang berbau syubhat (grey area, abu-abu, samar-samar status hukumnya).
Setidak-tidaknya ada enam hal yang harus ditakuti Mukmin, yaitu, pertama, takut siksa Allah yang ditimpakan kepadanya karena dosa-dosa yang pernah diperbuatnya.
Kedua, takut tidak dapat menunaikan kewajiban kepada Allah SWT dan kepada sesama. Ketiga, takut tidak diterima amal ibadah yang dilakukannya, sehingga amalnya menjadi sia-sia belaka.
Keempat, takut dihadapkan kepada aneka fitnah (akibat perilakunya) dan kemurkaan Allah yang akan menimpanya di dunia. Kelima, takut su’ul khatimah (akhir kehidupan atau kematian yang buruk). Keenam, takut azab kubur, pengadilan dan azab Allah di akhirat kelak.
Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, takut kepada Allah SWT itu hukumnya wajib. Karena takut kepada Allah itu dapat mengantarkan hamba untuk selalu beribadah kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan.
Siapa yang tidak takut kepada-Nya, berarti ia seorang pendosa, pelaku maksiat. Karena tidak takut kepada Allah, koruptor semakin merajalela, semakin serakah, dan tidak lagi memiliki rasa malu.
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 175)
Muslim yang memaknai takut secara positif pasti akan bervisi masa depan, menyiapkan generasi yang tangguh, kuat, dan unggul.
Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. an-Nisa’ [4]: 9)
Di atas semua itu, memaknai takut secara positif dapat mengantarkan hamba meraih dan merengkuh rasa cinta paling tinggi, yaitu ridha, sehingga pada gilirannya dapat meraih surga-Nya.
“Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. al-Bayyinah [98]: 8)
Takut kepada Allah SWT menjadikan hamba semakin dekat dan intim dengan-Nya, sehingga ia tidak lagi takut kehilangan jabatan, takut kepada atasan, atau takut tidak memiliki masa depan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh Muhbib
Abdul Wahab
Membangun Karier, Menggapai Impian
Lihatlah para elite dan pejabat yang ditangkap karena terbukti melakukan korupsi. Alangkah miris nasib mereka. Puncak karier yang berhasil diraih ternyata hanya mengantarkan mereka meringkuk di balik penjara. Keringat yang mereka kucurkan untuk membangun prestasi mentereng itu seketika menguap. Kebanggaan lenyap entah kemana. Belum lagi cibiran berujung cercaan yang ditanggung diri dan keluarga mereka.
Karier adalah perkembangan atau kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, dan jabatan. Karier sangat terkait erat dengan sebuah impian atau cita-cita. Ada orang yang berkarier dalam dunia kesehatan karena mempunyai impian menjadi dokter hebat. Yang lain berkarier dalam bidang perdagangan karena mempunyai impian menjadi entrepreneur tajir. Lalu ada orang yang berkarier dalam bidang militer karena mempunyai impian menjadi jenderal berbintang. Juga yang berkarier dalam bidang politik karena mempunyai impian menjadi menteri atau presiden.
Semua absah belaka, tidak dilarang. Setiap orang berhak meniti karier sesuai impian. Islam sekadar mengingatkan supaya segala impian yang sudah diraih itu tidak membuat kita lupa Allah. Capaian sebuah impian sungguh karunia luar biasa dari Allah. Tugas kita selanjutnya tinggal menggunakan dan mensyukuri karunia itu sesuai yang dikehendaki Allah. Hanya kerugian yang akan ditanggung siapa saja yang kufur karunia berupa tercapainya impian itu. Sudah banyak contohnya.
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” [QS Al-Munafiqun: 9].
Kita dapat belajar pada sejumlah pribadi hebat yang meniti karier dan sukses meraih impian. Lihat saja Nabi Ibrahim (1997-1822 SM). Beliau berkarier sebagai peternak hewan, dan sukses. Bersama partner bisnis sekaligus keponakannya sendiri, Nabi Luth (1950-1870 SM), jumlah hewan ternak Nabi Ibrahim berkembang biak sampai tidak dapat ditampung dalam kandang yang tersedia. Nabi dan Rasul keenam itu hidup sebagai orang kaya raya karena usahanya maju pesat.
“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami berikan dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishak, seorang Nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishak.” [QS As-Shafat: 108-113].
Kesuksesan meniti karier juga terjadi pada Nabi Yusuf (1745-1635 SM). Nabi Yusuf merupakan putra Nabi Ya’kub (1837-1690 SM), yang hanya seorang miskin lagi buta. Sejak kecil, Nabi Yusuf hidup dalam keluarga sederhana. Bahkan pernah dibuang ke sumur gelap akibat korban kedengkian saudara-saudara kandungnya. Nabi Yusuf lantas ditemukan kafilah musafir dan kemudian dijual kepada Kepala Kepolisian Mesir bernama Futhifar (Qifthir).
Hidup di lingkungan istana tidak lantas membuat hidup Nabi Yusuf tenang. Berbagai fitnah dan tuduhan telah melemparkannya ke penjara. Di penjara, Nabi Yusuf mengisi seluruh waktunya untuk beribadah, berdoa, dan berdakwah. Turunlah wahyu yang mengangkat dirinya sebagai Nabi dan Rasul. Lama mendekam di penjara, segala fitnah dan tuduhan terkuak sudah. Raja Mesir kini luluh hatinya. Karena kecerdasan, kesabaran, keuletan, kejujuran, keramahan, dan ketulusannya, Nabi Yusuf diangkat sebagai Wakil Raja Mesir. Tugasnya, mengurus bidang kemakmuran ekonomi dan keuangan.
“Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir. (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja dia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa saja yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” [QS Yusuf: 56].
Kita juga menyimak kisah Nabi Daud (1041-971 SM), yang meniti karier dalam bidang militer. Mulanya, ketika Raja Bani Israil yang bernama Thalut menyusun strategi perang untuk menghadapi serangan Raja Jalut dari Palestina, Daud bersama kedua kakaknya diperintahkan ayahnya, Yisya, untuk bergabung dalam barisan laskar Raja Thalut. Karena usianya paling muda, maka ayahnya berpesan agar Daud berada di barisan belakang. Sekali-kali tidak boleh turut berperang.
Tetapi, ketika pasukan Raja Thalut dan Raja Jalut bertemu, Daud lupa pesan sang ayah. Ketika itu, suara Raja Jalut membahana, menantang siapa saja untuk berduel dengannya. Tidak terdengar jawaban. Semua jagoan perang dari Bani Israil diam seribu bahasa. Spontan Daud tampil ke depan. Duel hebat tidak terelakkan. Daud keluar sebagai pemenang, sementara Raja Jalut yang terkenal perkasa justru mati terkapar di tanah.
Keberanian Daud itu segera menjadi buah bibir. Raja Thalut terkesan. Dipungutlah Daud sebagai suami dari putrinya yang paling cantik. Mikyal, namanya. Seiring waktu berjalan, ujian datang juga. Raja Thalut dilanda dengki karena pengaruh dirinya merosot, sementara kewibawaan Daud meroket di mata rakyat Bani Israil. Dirancanglah siasat jahat untuk mengenyahkan Daud. Kembali Daud menunjukkan kehebatan. Dia mampu mengalahkan Raja Thalut tanpa pertempuran.
Daud hanya menggunting baju Raja Thalut saat dia sedang tidur. Ketika Raja Thalut bangun dari tidurnya, Daud berkata, “Lihatlah bagian bajumu yang aku gunting sewaktu engkau tidur pulas. Jika aku mau, tentu dengan mudah aku membunuh dan menceraikan kepalamu dari tubuhmu. Namun aku masih ingin memberikan kesempatan kepadamu untuk bertobat dan membersihkan hati dari segala sifat dengki, hasut, dan buruk sangka yang engkau jadikan sebagai dalih untuk membunuh orang sesuka hatimu.”
Raja Thalut malu dan menyesal. Berhari-hari dia merenungi ucapan itu. Pergilah dia meninggalkan kerajaan. Kerajaan kini kosong pemimpin. Saat itulah rakyat Bani Israil beramai-ramai menobatkan Daud sebagai Raja. Di tangan Raja Dawud, rakyat Bani Israil maju pesat, aman, makmur, dan sejahtera. Kehidupan mereka berlimpah berkah karena selalu bertakwa kepada Allah.
“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.” [QS Al-Baqarah: 251].
Aduhai indahnya kehidupan manusia-manusia mulia yang meniti karier hingga puncak, namun tetap bersyukur dan beribadah. Mampu menjinakkan harta dan takhta. Itulah yang juga diperankan utusan Allah paripurna bernama Muhammad bin Abdullah (571-632 M). Beliau adalah Nabi dan Rasul panutan, pemimpin lintas zaman. Di penghujung kisah dakwah, Rasulullah berhasil berkuasa penuh atas dua kota penuh kebanggaan, Mekah dan Madinah.
Karier beliau bermula sebagai pedagang biasa. Ketika menginjak usia remaja, Rasulullah bekerja sebagai karyawan seorang janda kaya, Khadijah binti Khuwailid. Kejururan dan kesetiaan beliau telah menawan hati sang majikan. Janda berharta mantan istri Abu Halah itu akhirnya melamar Rasulullah untuk dijadikan suaminya. Selama 25 tahun mengarungi hidup bersama Khadijah, rumah tangga Rasulullah diliputi bahagia dan berkah. Khadijah merupakan orang pertama yang mengimani kerasulan beliau. Rasulullah sangat mencintai dan menghormati Khadijah. Dialah penyokong dana utama dalam perjuangan dakwah Rasulullah di bumi Mekah.
Hendaklah kita mampu memetik hikmah di balik kisah. Selamat meniti karier dan meraih impian. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang dapat menggenggam sekaligus menguasai dunia. Bukan malah dikendalikan, apalagi diperbudak dunia. Kepada Allah jua kita mohon kekuatan dan perlindungan.
Oleh M
Husnaini, Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/10/30/mvgn3n-membangun-karier-menggapai-impian
Langganan:
Postingan (Atom)