Selasa, 03 Juni 2014

Jokowi dan Islam Indonesia




Setiap menjelang perhelatan politik, seperti pemilihan presiden (pilpres), selalu saja mencuat isu-isu sektarian yang bersifat teologis terkait sisi keagamaan para kandidat. Di era sosial media saat ini, isu-isu ini bergerak begitu masif dan atraktif dalam beragam model dan modusnya. Isu-isunya tidak saja dikemas dalam bentuk rangkaian tulisan dan link berita, tapi juga gambar-gambar yang sarat dengan isu-isu sektarian.

Mencuatnya isu-isu keagamaan ini harus diletakkan secara proporsional dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya mayoritas Muslim. Tentu, sesuatu yang wajar ketika masyarakat Muslim mendamba calon presiden (capres) dari seorang Muslim dengan kualitas kesalihan individu yang mumpuni. Idealnya, kesalihan individu ini diikuti pula dengan kesalihan sosialnya. Karena, pada konteks ini sesungguhnya pesan utama Islam; keseimbangan relasi vertikal dan horizontal (hablun minallah wa hablun minannas).

Jokowi dan isu keagamaan
Di antara dua kandidat capres, Joko Widodo (Jokowi) termasuk capres yang kerap dan masif mendapat serangan terkait isu-isu keagamaan. Dari mulai hal bersifat pribadi (privat) sampai hal yang bersifat publik. Status keislaman Jokowi sampai silsilah (genealogi) keluarganya dipertanyakan. Secara ritualistik, Jokowi dinilai tidak cukup Islam. Keislamannya sekadar formalistis sebagaimana kebanyakan kaum abangan (meminjam istilah Clifford Geertz dalam The Religion of Java).

Isu-isu keagamaan yang bersifat publik juga dipertanyakan. Satu isu yang cukup mengemuka terkait dengan "kebiasaan" Jokowi mengambil pasangannya dalam kontestasi politik yang selalu berasal dari non-Islam.

Ketika menjadi wali kota Surakarta, Jokowi memilih Hadi Rudyatmo yang Katolik sebagai pasangannya. Begitu juga saat mencalonkan sebagai gubernur Jakarta, Jokowi lebih memilih berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang Kristen. Jokowi dinilai sengaja mengambil wakil-wakilnya yang beragama non-Islam, sehingga ketika Jokowi melepas jabatannya, secara konstitusi jabatan tersebut akan jatuh ke tangan non-Islam.

Ketika terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi menyerahkan jabatannya sebagai wali kota Surakarta kepada wakilnya yang non-Islam. Begitu juga ketika nantinya terpilih sebagai presiden, Jokowi pun secara konstitusional harus menyerahkan jabatannya di "negeri Fatahillah" ini kepada wakil gubernur yang  beragama non-Islam.

Demikianlah argumen-argumen yang dibangun oleh mereka yang kerap mengkritisi dan mengangkat isu-isu keagamaan Jokowi. Secara konstitusional, diangkatnya isu-isu tersebut tentu tidak berdasar. Tapi, bila menilik akar sejarah keagamaan di Indonesia, diangkatnya isu-isu tersebut tentu hal yang masih dalam batas kepatutan. Patut, karena Jokowi akan menjadi pejabat publik, di mana publik yang akan dipimpinnya mayoritas beragama Islam. Andai Jokowi tidak akan masuk ranah pejabat publik, hampir pasti isu-isu sektarian seperti itu tidak akan diangkat.

Faktor PDIP, bukan Jokowi
Mengapa Jokowi yang paling kerap mendapat serangan terkait isu-isu keagamaan ketimbang Prabowo Subianto? Jawabnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi faktor paling dominan ketimbang faktor Jokowi itu sendiri.

Kalau mau fair, bicara soal sisi keagamaan Jokowi dan Prabowo, sebenarnya kualitas keduanya tak jauh berbeda. Bila menggunakan pendekatan Clifford Geertz, baik Jokowi maupun Prabowo sebenarnya masuk dalam kategori Muslim abangan. Nama diri keduanya juga memperkuat lebel sebagai Muslim abangan.

Bahwa, dalam praktiknya isu-isu keagamaan paling keras menerpa Jokowi, penyebabnya semata karena faktor PDIP. Selama ini, citra PDIP, termasuk ketika masih bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI), di mata Muslim santri dipandang sebagai partai yang tidak "Islami", bahkan "anti-Islam". Partai yang dihuni kumpulan Muslim abangan, non-Islam, kejawen, dan kelompok lainnya yang jauh dari kesan "Islam" serta selalu menolak kepentingan-kepentingan umat Islam—atau bahkan yang bernuansa Islam sekalipun— di DPR.

Cara pandang yang seperti ini sebenarnya disadari betul petinggi PDI/PDIP, tapi sifatnya sekadar "pemanis bibir". Semasa masih bernama PDI, Ketua Umum Suryadi sempat mendirikan Majelis Muslimin Indonesia (MMI) yang dimaksudkan untuk menampung kalangan Muslim santri. Begitu juga PDIP, sampai membuat Baitul Muslimin Indonesia (BMI) dengan maksud sama. Meski begitu, upaya yang telah dilakukan PDIP ini tidak atau belum mampu menghilangkan citra PDI/PDIP.

Kesan sebagai partai kaum abangan menyebabkan minimnyaMmuslim santri di dalam tubuh PDI/PDIP. Sejak berdiri pada 10 Januari 1973 sampai Pemilu 1982, rasanya sulit sekali menemukan Muslim santri di tubuh PDI atau yang mau menjadi caleg dari PDI. Baru, selepas asas tunggal, tepatnya ketika Pemilu 1987, mulai bermunculan Muslim santri yang masuk sebagai pengurus ataupun caleg PDI.

Kesan Muslim santri terhadap PDIP yang demikian tidak sepenuhnya salah, terlebih bila dikaitkan dengan sikap politik PDI/PDIP di DPR yang hampir selalu vis a vis kepentingan umat Islam. Sekadar contoh, semua RUU yang diajukan ke DPR dan berbau Islam, pasti ditolak PDIP. UU Sisdiknas, PDIP walk out, UU Bank Syariah, UU Ekonomi Syariah, dan UU Pornografi juga mereka tidak setuju. Terhadap RUU Jaminan Produk Halal PDIP juga tidak setuju.

Sikap-sikap PDIP seperti ini menjadikan Muslim santri sulit menerima segala atribut yang berbau PDIP, termasuk terkait pencapresan Jokowi. "Penolakan" sebagian Muslim santri terhadap Jokowi bukan semata karena Jokowi, melainkan justru karena faktor PDIP. Andai kemunculan Jokowi sejak awal tidak didukung PDIP, tapi didukung partai-partai Islam atau sekuler, seperti Golkar atau Gerindra, yang sekarang mendukung Prabowo, pasti resistensinya akan kecil. Sebaliknya, andai saja Prabowo yang saat ini begitu dielu-elukan kalangan Muslim santri diusung PDIP, dipastikan akan mendapat perlakuan yang sama sebagaimana yang diterima Jokowi saat ini. Prabowo pasti akan menjadi pribadi yang resisten di mata Muslim santri.

‘Muhasabah politik’ PDIP
Kalau PDIP mau melakukan koreksi diri, "Kasus Jokowi" ini bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan koreksi politik (muhasabah politik), terlebih dalam relasinya dengan Muslim santri. PDIP harus mampu memahami realitas politik dan realitas kesejarahan Indonesia secara utuh. Kalau selama ini PDIP kerap "jualan" Soekarno, juallah Soekarno secara kafah, termasuk jualan bagaimana Soekarno memperlakukan Muslim santri.

Wajah politik PDIP selama ini, utamanya dalam relasinya dengan Islam menampakkan wajah yang "tidak paham" tentang Islam di Indonesia. Indonesia itu bukan Eropa yang sekuleristik, juga bukan negara teokratik, seperti Iran atau Arab Saudi. Indonesia adalah negara di mana agama menempati posisi yang sangat penting. Nah, dalam konteks ini, PDIP telah gagap memahami Indonesia. Karena gagap, PDIP kerap melakukan "perlawanan politik" secara berlebihan terhadap kepentingan politik Islam di DPR, sesuatu yang sebetulnya tak perlu dilakukan bila PDIP paham tentang Islam di Indonesia.


oleh:Ma'mun Murod Al-Barbasy
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar