Kamis, 08 Oktober 2009

Agama Punya Seribu Nyawa

Pertengahan Juni lalu saya berkesempatan jalan-jalan ke Moskow, menghadiri undangan simposium internasional bertema “Religion and Peace, From Terrorism to Global Ethics.” Bagi saya, tema ini terasa klise dan repetitive. Tetapi karena diadakan di Moskow, hati saya tertarik untuk datang. Hitung-hitung napak tilas kunjungan saya yang pertama tahun 1981 saat Uni Soviet masih tegak berdiri dan disegani Blok Barat. Dunia berputar. Tak sampai seratus tahun pemerintahan Moskow sangat anti agama, kini berusaha bersikap ramah pada ’kekuatan agama’. Uni Soviet bubar, pewaris utamanya adalah Negara Federasi Rusia.

Baik Uni Soviet, RRC maupun Korea Utara ketiganya pernah dikenal sebagai rejim yang memusuhi agama. Ironisnya, mereka menyatakan anti Tuhan, tetapi rakyat dipaksa menyembah para pemimpinnya. Mereka tidak percaya pada malaikat, tetapi intel-intelnya bekerja bagaikan malaikat yang selalu memata-matai setiap warganya. Pemerintah melarang agama, tetapi peraturan dan doktrin partai komunis tak ubahnya syariah agama.

Demikianlah, berbagai ideologi komunis dan sekularisme telah berusaha membangun doktrin dan filsafat untuk membasmi dan mengubur agama, namun kenyataannya amunisi mereka semakin menipis sementara agama tetap hidup di muka bumi. Ketika disebut agama, persoalan dan perdebatan tentu segera muncul. Agama apa yang dimaksudkan di sini? Bukankah kata agama selalu mengasumsikan makna plural, yaitu agama-agama (religions)? Dari sekian banyak agama, mana yang paling benar?

Saya tidak akan memasuki perdebatan yang tak kunjung berakhir mengenai apakah hakikat agama, definisi agama dan asal-usul agama menurut sarjana-sarjana ilmu sosial karena masing-masing memiliki argumentasi dan keyakinan yang tidak selalu sama. Yang ingin saya sampaikan hanyalah sekadar pandangan bahwa manusia dan masyarakat selalu mendambakan dan mencari Tuhan, Dia Yang Maha Absolut, terlepas apakah mereka berhasil atau tidak dalam pencariannya. Oleh karena itu dari sudut pandang ini di Indonesia sesungguhnya terdapat puluhan kepercayaan (keagamaan) namun secara politis-administratif yang diakui pemerintah hanya lima. Adakah pencarian dan keyakinan mereka diterima Tuhan atau tidak, itu masuk wilayah akidah dan keyakinan, bukan lagi wilayah ilmiah.

Jika kita hitung, pemikir dan pemimpin dunia yang mengingkari Tuhan dan anti agama sesungguhnya jumlahnya tergolong minoritas. Namun, di antara mereka ada yang memiliki pengikut besar. Bisa jadi karena kekuatan gagasannya yang tersebar melalui buku-buku, atau karena kekuasaan politik yang dimiliki. Sebut saja di antara mereka adalah Karl Marx, Engels, Lenin, Nietzche, Sartre, Sigmund Freud, Michael Baqunin, August Comte, Charles Darwin, Bertrand Russel dan beberapa nama lain yang pemikirannya berseliweran masuk ruang kuliah di kampus.

Semakin terbukanya jalur, sarana dan forum komunikasi lintas agama, budaya dan bangsa, dunia terasa semakin hiruk-pikuk, termasuk wacana keagamaan. Jutaan buku dan artikel pernah terbit, yang isinya ada yang bernafsu sekali ingin meyakinkan pembacanya bahwa agama tak lagi diperlukan oleh masyarakat modern. Agama tak lebih dari sebuah khayalan orang-orang frustasi dan kalah bersaing dalam perjuangan politik dan ekonomi. Menurut mereka, agama adalah jalan pelarian dari kekalahan. Agama menawarkan hiburan berupa proyeksi dan harapan palsu tentang surga di masa depan agar hidup tetap survive dan beban hidup menjadi ringan. Lebih jauh lagi dikatakan, agama akhirnya jadi sumber masalah sosial, bukannya bagian dari solusi sosial.

Demikianlah, beragam teori dan jutaan lembar buku telah beredar dengan maksud untuk membunuh pemikiran dan gerakan keagamaan. Namun ternyata keyakinan mereka meleset. Agama tidak pernah mati. Kehidupan justru menjadi semakin bermakna ketika agama difahami dan diamalkan dengan benar. Sampai-sampai muncul istilah, agama memiliki seribu nyawa. Dibunuh satu, masih hidup 999. Dari sudut pandang psikologi-tasawuf, dorongan seseorang untuk beragama tidak mungkin mati karena setiap manusia menerima ruh ilahi yang senantiasa merindukan Tuhannya, sedangkan ruh tidak mengenal kehancuran dan kematian karena ruh bersifat immateri dan abadi. Begitu banyak tanda-tanda keberadaan dan keagungan Tuhan. Begitu banyak problem, misteri, dan keindahan hidup yang mendorong manusia berpikir, siapa pencipta semua ini kalau bukan Tuhan. Seorang seniman yang hatinya telah tercerahkan sambil memandang sekuntum mawar berkata: "God never puts His name on the rose, because no one else makes the rose." Ungkapan senada bisa diperpanjang, misalnya: "God never puts His name on the sky, because no one else has ability to make it."

Sebagai seorang muslim mesti yakin bahwa Islam adalah ajaran paling benar di mata Allah. Namun secara sosiologis kita tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa bumi dihuni oleh manusia dengan ragam agama. Berkaitan dengan pluralitas agama, Al-Qur’an secara eksplisit berulangkali mengungkapkan bahwa keanekaragaman flora, fauna dan bangsa, bahasa serta agama semua itu merupakan tanda-tanda kebesaranNya. Ditegaskan dalam Al-Qur’an, tak ada paksaan dalam beragama, karena sesungguhnya antara yang benar dan yang salah sudah begitu nyata, bagi mereka yang hati dan pikirannya terbuka. Bahkan terhadap orang-orang kafir yang membangkang, Allah mengajarkan kepada Rasulullah: bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Namun begitu ingatlah bahwa apapun pilihan iman dan amal seseorang, nantinya Aku (Allah) akan membuat perhitungan dan pengadilan.

Dahulu ketika jumlah penduduk bumi masih sedikit, hidupnya pun saling berjauhan dan alat telekomunikasi belum maju. Penduduk sebuah desa mungkin hidup tenang dengan tradisi yang ada, tak ada pertengkaran soal perbedaan agama. Tetapi bagi generasi anak-anak kita sekarang, realitas dan wajah kehidupan akan terasa semakin warna-warni, yang ada kalanya tampak indah dan ada kalanya membingungkan. Oleh karena itu diperlukan pemahaman agama yang benar serta keteladanan dari orang dalam mengamalkannya. Beragama tidak cukup hanya mengandalkan simbol-simbol lahiriah serta ritus jasmaniah. Hakikat tauhid dan keshalehan harus dimulai dan berakar kuat di dalam hati dan penalaran sehat, lalu diikuti dengan pengamalan yang tulus dan benar.

Di masa Rasulullah dan sahabat, banyak orang kafir tertarik pada Islam karena akhlak mulia yang ditunjukkan oleh tokoh-tokohnya, baru kemudian mereka mendalami dan meyakini kemuliaan dan kebenaran agamanya. Kita berharap training ESQ dan kajian-kajian lanjutan yang tengah dipersiapkan akan bisa menambah bobot keimanan dan pengetahuan yang benar tentang Islam secara lebih substansial, bukan sekadar formal dan seremonial. Terdapat isyarat kuat bahwa agama semakin bangkit dan menguat dalam panggung dunia. Tetapi, paham dan perilaku keberagamaan yang bagaimanakah yang paling mendekati kehendak Allah dan fitrah manusia, itulah yang harus selalu dikaji dalam komunitas ESQ.

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula (ESQ Magazine) Edisi 09/Tahun I/2005)

Rabu, 7 Oktober 2009 13:18:54

Oleh: Komaruddin Hidayat, Alumni ESQ Eksekutif Angkatan 20

http://esqmagazine.com/refleksi/2009/10/07/551/agama-punya-seribu-nyawa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar