Minggu, 08 Mei 2011

Geopolitik Global dan Krisis Pangan

Krisis keuangan, krisis pangan dan krisis energi dunia menjadi topik yang hangat dibicarakan dalam kurun waktu 4 tahun belakangan ini. Krisis-krisis tadi erat kaitannya dengan penerapan sistem kapitalisme global yang gencar disebarkan dan diterapkan di seluruh belahan dunia.

Kapitalisme global telah menimbulkan korban khususnya di negara dunia ketiga. Kemiskinan yang meningkat, kelaparan dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Menurut FAO, organisasi pangan dan pertanian PBB yang mengeluarkan Indeks Harga Pangan (Food Price Index) untuk memonitor perubahan harga rata-rata dalam satu bulan pada beberapa jenis makanan pokok, melonjak ke 236 poin pada Februari 2011, dibandingkan pada Januari 2011 yang sebesar 231. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak FAO memulai perhitungan Indeks Harga Pangan tersebut di tahun 1990.

Krisis pangan khususnya di beberapa negara telah menimbulkan gejolak politik yang mampu menggulingkan rezim penguasa seperti di Haiti, Tunisia dan Mesir. Salah satu pendorong gejolak politik dan demonstrasi menentang pemerintah adalah kenaikan harga pangan kebutuhan pokok masyarakat.
Krisis pangan juga merupakan topik hangat yang diperbincangkan di Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2011. Namun solusi alternatif yang disepakati adalah menyerahkan peningkatkan produksi pangan sebesar 20% ke perusahaan multinasional (KONTAN, tanggal 29 Januari 2011). Satu solusi yang sarat dengan ide neoliberalisme kapitalis.

Peran korporasi global


Banyak pengamat melihat, rezim perdagangan global turut berperan menciptakan krisis pangan. Meski diakui perubahan iklim global turut mempengaruhi produksi pertanian dan menyebabkan gagal panen, namun pemicu krisis pangan lebih karena ulah manusia.

Bukti pertama, peran kapitalis pemburu rente. Berdalih efisiensi distribusi antar negara, pengusaha multinasional mendorong perdagangan bebas pertanian dan pangan. Faktanya, tujuan menggaet keuntungan lebih mendominasi. Kucuran dana investasi kaum kapitalis di sektor industri biofuel karena menghasilkan keuntungan tinggi, telah menyebabkan penurunan lahan pertanian pangan, dan beralihnya produksi bahan pangan menjadi produk pembuat bahan bakar ramah lingkungan ini.

Komoditas jagung menjadi bahan pangan yang mengundang spekulasi. Pasalnya, jagung selain digunakan sebagai bahan pangan juga untuk bahan bakar ramah lingkungan (biofuel). Stok global yang mulai berkurang berimbas pada naiknya harga bahan pangan lain seperti tepung, maizena, dan beras.

Kebijakan biofuel berupa konversi pangan menjadi bahan bakar nabati berkontribusi 75% terhadap melambungnya harga pangan dunia 2 tahun lalu. Jean Ziegler, pelapor khusus PBB untuk hak atas pangan mengganggap, konversi pangan menjadi biofuel yang mengorbankan akses penduduk miskin sebagai kejahatan kemanusiaan.

Kedua,
intervensi lembaga keuangan multilateral saat krisis di negara berkembang, termasuk Indonesia. Atas saran Dana Moneter Internasional (IMF) atau Bank Dunia, anggaran dan subsidi pertanian dipangkas. Budidaya pertanian diarahkan pada komoditas perkebunan penghasil devisa untuk membayar hutang.

Contohnya, di Haiti beras telah menjadi makanan pokok. Hingga 23 tahun lalu, produksi beras petani sekitar 95% kebutuhan domestik. Atas arahan IMF, negara memangkas tarif impor beras dari 35% menjadi 3% di 1995. Akibatnya, beras dari Amerika Serikat (AS) membanjiri pasar domestik Haiti. Sekarang 75% beras Haiti diimpor dari AS dan petani di sana kehilangan pekerjaan. Hancurlah sistem ketahanan pangan Haiti.

Ketiga,
subsidi terselubung negara maju. Impor beras Haiti bukan lantaran petani AS mampu berproduksi lebih efisien atau berasnya lebih enak, namun disebabkan besarnya subsidi. Pada 2003, subsidi pemerintah AS ke petani sekitar US$ 1,7 miliar atau US$ 232 per hektare (ha) tanaman padi. Dari sini, mereka menjual beras 30%-50% di bawah biaya riil. Ketergantungan pangan diciptakan melalui penguatan penetrasi pasar pengusaha besar pangan negara maju ke negara berkembang. Swasembada pangan negara Asia dan Afrika tinggal kenangan.

Keempat, proteksi pasar domestik dengan hambatan non tarif. Meski negara-negara maju berhaluan pasar, mereka tetap menjalankan proteksi terselubung.

Misalnya, pasca pemboman World Trade Centre (WTC), AS meluncurkan Public Health Security and Bioterorism Preparedness and Response Act of 2002 (PL 107/188) atau The Biotenorism Act. pada 12 Juni 2002 yang berlaku 12 Desember 2003. Akibatnya 16% dari 226.000 eksportir dunia ke AS terganjal. Di antaranya sekitar 600 eksportir produk pangan dan pertanian dari Indonesia.

Selama ini, Food Drug Administration (FDA) menjadi watch dog yang mempersulit masuknya produk pangan dan pertanian negara berkembang, jika kualifikasi produk dianggap tak memenuhi standar mutu dan labeling AS. FDA menolak dan menahan ekspor kakao Indonesia melalui Operational and Administration System for Import Support (OASIS). FDA dapat menahan produk sekitar 45 hari. Prosedur ini membengkakkan biaya ekspor dan menurunkan daya saing produk negara berkembang.

Kelima, ketidakadilan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengatur subsidi ekspor. Negara maju diizinkan mempertahankan subsidi ekspor sekitar 64 selama 1986-1990. Meski pada periode tersebut negara berkembang memberikan 76 persen subsidi ekspor, secara riil subsidi ekspor bagi petani sangat kecil akibat keterbatasan dana.

Uni Eropa memberikan subsidi ekspor tertinggi, hampir 92% atau US$ 29,3 miliar dari total subsidi ekspor dunia pada 1995-2000. Di saat sama 23 negara berkembang hanya mampu memberi subsidi ekspor US$ 1,5 milliar. Adilkah persaingan ini ?

Keenam, akuisisi lahan (land grabbing) swasta besar asing mengancam kemandirian pangan negara berkembang. Petani subsisten dengan penguasaan lahan tak memadai, dipertaruhkan nasibnya. Negara net importir pangan, yang terbatas sumber daya lahan dan air, namun memiliki dana melimpah melakukan land grabbing. Sasarannya negara berlahan subur, seperti Brasil, Rusia, Indonesia, dan Ukraina, maupun negara pertanian miskin, seperti Kamerun dan Ethiopia.

Menurut International Food Policy Research Institute (2009), akuisisi lahan pertanian di negara berkembang sejak 2006 mencapai 15 juta – 20 juta ha atau setengah luas Eropa. Aktor akuisisi ini negara dan dikendalikan swasta (GRAIN, 2008). Tujuannya bukan produksi pangan bagi rakyat setempat namun untuk kepentingan bisnis dan negara investor.

Karena itu, kita perlu mengontrol pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Petani lokal bisa jadi kesulitan akses tanah untuk produksi pangan. Pertanian menjadi bersifat industrial, monokultur, dan berorientasi ekspor di bawah kendali asing. Pasar menjadi rentan dan mudah dipermainkan. Keanekaragaman hayati dan kearifan lokal terancam.

Ketujuh, pengendalian produksi benih oleh korporasi global. Benih bermutu menjadi faktor penting keberhasilan pertanian. Petani menjadi objek eksploitasi perusahaan benih multinasional. Investor Belanda, Korea Selatan, Australia, dan Jepang puluhan tahun berinvestasi benih. East West misalnya, yang dikuasai investor Belanda, menguasai 45% pasar benih hortikultura Indonesia. Untuk benih tomat, cabai, dan mentimun, perusahaan ini menguasai 60% – 75% pasar benih hortikultura (KONTAN, 29 Oktober 2010). Dupont, Monsanto, Syngenta, Bayer, Limagrain, Dow Aventis dan Charoen Phokphand merajai pasar benih dunia melalui akuisisi produsen benih skala kecil. Di 2008, 67% pasar benih dunia dikuasai 10 perusahaan. Siklus pertanian tradisional yang memungkinkan petani mereproduksi benih sendiri terputus.

Pengalaman di atas mendorong kita mempertanyakan solusi peningkatan produksi pangan oleh perusahaan utama dunia seperti rekomendasi WEF 2011. Pernyataan bahwa produksi pangan dunia tidak boleh hanya diserahkan ke tangan pengusaha agrobisnis dan kapitalisme finansial global mempunyai argumen kuat.

Tidak hanya produksi pangan dunia yang tidak boleh diserahkan pada rezim ekonomi kapitalis global, distribusinya pun tak boleh diserahkan ke mekanisme pasar yang eksploitatif.

Siapakah yang mampu mengatasi krisis ini setelah cara Barat dan kapitalisme gagal, tak lain hanya Khilafah dan Syariat Islamlah harapan satu-satunya bagi umat manusia saat ini.

http://mediaumat.com/sejahterakan-indonesia-dengan-khilafah/2562-geopolitik-global-dan-krisis-pangan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar