Minggu, 15 Mei 2011

Perubahan Prilaku Dunia Keuangan

*****************************************************************************
Untuk menjadikan fungsi kepatuhan didunia perbankan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan prinsip-prinsip KYC (Know Your customer) sebagai senjata pamungkas, ternyata prinsip-prinsip mengenal pegawai (Know Your Employee (KYE)harus utama difungsikan. Sudah cukup banyak bukti, kasus dan skandal perbankan yang mempertegas perlunya diterapkan KYE. Ketidakpatuhan oknum orang dalam bank masih saja terus berlangsung. Oleh karena itu, bank harus mengenal betul semua pegawai mereka, dari level atas hingga bawah, termasuk level direksi dan komisaris.

*****************************************************************************


Sepanjang sejarah banker (pelaku utama di bidang keuangan), selalu dipandang sebagai orang serius yang cermat dan berhati-hati. Mereka selalu mengawasi perusahaan-perusahaan yang diberi kredit. Hal itu terjadi, karena setiap banker pasti menginginkan piutangnya terbayar kembali dan tidak menyukai terjadinya skandal dan kredit macet. Dengan memantau secara seksama portofolio hutangnya, para banker membantu mencegah terjadinya kepailitan suatu usaha yang akan berdampak terhadap dunia bisnis umumnya.

Seiring dengan era ekonomi baru yang membawa banyak perubahan dalam sistem ekonomi global, kapitalisme uang telah megubah tata cara orang dalam melakukan tindak ekonomi. Pertambahan pendapatan tidak dikaitkan lagi dengan kemampuan produksi, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan membuat gagasan, sehingga penambahan kekayaan lebih bersifat maya daripada penambahan asset riil. Pemilik uang dapat menciptakan uang lebih banyak lagi tanpa perlu terlibat pada sektor produksi. Perubahan tersebut, turut pula, mengubah prilaku konservatif para pelaku dunia keuangan dengan etika yang tinggi menjadi luntur dan terasa usang.

Banyak prilaku konservatif pelaku dunia keuangan yang berubah pada era ekonomi baru ini. Para analis perbankan, sampai hati, memuji-muji saham-saham dengan kinerja buruk. Di sisi lain, sebagian banker, rela, membantu sebuah korporasi dalam membentuk entitas-entitas bisnis yang meragukan untuk turut membantu perusahaan tersebut menggelapkan hutang maupun pajaknya. Mereka juga, mengutamakan, penjualan publik perdana saham-saham unggulan kepada kawan-kawannya sendiri, bahkan ikut serta terlibat dalam berbagai kegiatan yang tidak terpuji.

Akibat berubahnya etika moral para pelaku dunia keuangan, kerusakan yang timbul bukan hanya mengenai lingkungan mereka saja, tetapi mempunyai dampak yang besar pada transformasi perbankan terhadap fungsi perekonomian secara umum.

Untuk menjalankan bursa saham yang dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan informasi akurat mengenai nilai suatu perusahaan agar investor bisa membayar harga yang tepat pada saham yang akan dimilikinya. Akan tetapi, karena perubahan etika moral, para pelaku dunia keuangan, berani, mengaburkan persoalan-persoalan inheren perusahaan yang mereka bawa ke pasar atau yang mereka bantu penjualan sahamnya demi menambah modal perusahaan. Dengan demikian, mereka telah ikut menurunkan kualitas informasi. Dalam banyak kasus, mereka mengetahui kondisi riil perusahaan yang mereka tangani, tetapi publik tidak mengetahuinya. Hal itu, menyebabkan keyakinan publik terhadap pasar menjadi turun, dan saat informasi yang benar terkuak, harga-harga saham menjadi terhempas tajam.

Perubahan prilaku tersebut, menurut Stiglitz (2003), terjadi berkaitan insentif yang diperoleh dari penjualan perdana saham korporasi beserta transaksi-transaksi lainnya begitu besar. Dengan menyajikan informasi yang menyesatkan atas sebuah korporasi, mereka akan memperoleh imbalan lebih besar daripada menyajikan informasi akurat. Hal ini terjadi akibat adanya sejumlah perubahan peraturan (deregulasi) yang membuka sumber konflik kepentingan baru. Hak opsi dan skema-skema kompensasi dirancang untuk medorong penitikberatan pada keuntungan saat ini ketimbang hasil jangka panjang.

Banyak pelaku dunia keuangan di era ekonomi baru, tidak ubahnya bagai eksekutif perusahaan. Mereka belajar cara mendorong kenaikan harga saham mereka sendiri sama seperti mereka membantu orang lain berbuat hal yang sama. Kenaikan harga saham seharusnya memberikan keuntungan jangka panjang bagi pemegang saham. Akan tetapi, yang terjadi seringkali pasar hanya menitikberatkan pada jangka pendek, yakni bottom line hari ini. Akibat imbalan bagi sang eksekutif bergantung kepada harga saham hari ini, maka mereka lebih terdorong untuk menitikberatkan laba hari ini ketimbang menjaga reputasi perusahaan dalam jangka panjang. Demikian pula yang terjadi pada para analis, mereka semua menangguk jumlah uang yang besar ketika menggembar-gemborkan informasi yang tidak sesuai tentang perusahaan-perusahaan yang dijagokan. Akhirnya, para investor pelanggan mereka yang kurang waspada atau memang miskin informasi menjadi korban.

Kondisi tersebut di atas diperparah dengan terjadinya teknik-teknik rekayasa finansial yang menawarkan cara-cara baru untuk memelintir informasi. Kini lazim, suatu transaksi tunggal melibatkan banyak pihak. Sebelum era ekonomi baru, pembelian peralatan hanya melibatkan seorang pembeli dan penjual, atau paling banyak ditambah dengan keterlibatkan bank sebagai pihak yang meminjamkan uang. Pada era kini, sebuah perusahaan bisa jadi mensubsewagunakan sepotong piranti computer kepada sebuah perusahaan yang diciptakan khusus untuk tujuan tersebut. Kemudian, perusahaan tersebut mensubsewagunakan lagi ke perusahaan lainnya dan akan membayar uang muka kepada perusahaan tersebut dengan meminjam uang dari sebuah bank. Untuk memastikan perusahaan tersebut menepati prestasinya, perusahaan lain itu mendepositkan sejumlah dana pada sebuah bank. Setelah itu perusahaan tersebut bisa memasukkan modalnya berupa rekening bank dan janji pembayaran sewaguna ke dalam kemitraan usaha. Setelah waktu tertentu sesuai dengan penjanjian, mitra perusahaan tersebut akan mengakuisisi perusahaan tersebut, dan dalam pembukuannya akan dicantumkan kerugian atas kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, telah terjadi pengurangan pembayaran pajak. Perusahaan yang diajak untuk terlibat dalam konspirasi ini bisa banyak perusahaan.

Akal-akalan akuntansi ini sangat dibangga-banggakan oleh para pembuatnya. Mereka tidak merasa menyesal atas tindakan mereka dan menilai risikonya terlalu kecil. Risiko yang akan mereka dapatkan paling-paling hanya Dinas Pajak akan membatalkan kesepakatan ini dan memaksa perusahaan membayar pajak yang memang seharusnya mereka bayar. Risiko ini, mereka ibaratkan sebagai fasilitas kredit dari pemerintah dengan suku bunga yang lebih bagus daripada yang diperoleh pada pasar yang seharusnya.

Membesarnya gelembung ekonomi pada era ekonomi baru membuat laba dari pajak bukan menjadi masalah utama. Bagi sebagian perusahaan, hal yang utama adalah membuat pembukuan terlihat bagus. Teknik yang dipakai untuk menipu pajak tersebut di atas, juga dipakai untuk menipu para pemegang saham dengan sedikit modifikasi. Peran akuntan, sangat besar dalam menciptakan modifikasi-modifikasi pembukuan di masa struktur ekonomi yang telah berubah saat ini.

Masalah yang dihadapi para akuntan pada era ekonomi baru berkembang dan lebih terbuka peluang untuk memakai keterampilan yang terasah menjadi suatu seni. Selama bertahun-tahun mereka telah merancang cara standar untuk menangani asset suatu sektor, dan dengan bangkitnya era ekonomi baru para akuntan harus menghadapi asset yang begitu sulit untuk dinilai. Akibat perubahan etika moral, para akuntan pun kemudian terlibat menciptakan segala macam cara baru untuk memanipulasi angka-angka asset perusahaan. Beberapa perusahaan, kemudian, meraih nilai pasar yang besar tanpa pernah membukukan laba yang sebenarnya ataupun bila ada laba tanpa adanya jaminan laba yang berkelanjutan.

Meskipun seorang akuntan terikat pada aturan-aturan yang telah ditetapkan, tetapi seorang akuntan yang melakukan tugas auditor dibayar oleh perusahaan yang mereka audit, sehingga menjadi lumrah bila mereka ingin menyenangkan kliennya. Di samping itu, perusahaanlah (beserta para eksekutifnya) yang memutuskan siapa yang hendak disewa sebagai akuntan. Dengan demikian insentif yang akan diperoleh oleh seorang akuntan sangat tergantung dari perusahaan-perusahaan yang menggunakannya.

Sejak lama akuntansi telah merambah dua lini bisnis, yakni konsultasi dan auditing. Sinergi secara alami terjadi, yaitu membaca teliti pembukuan suatu perusahaan memungkinkan akuntan memberi saran bagaimana perusahaan itu bisa meningkatkan labanya, atau meningkatkan laporan labanya. Godaan, kapitalisme uang, dapat menjadikan tujuan konsultasi bisnis untuk mengampangkan tujuan audit. Sebuah kantor akuntan yang memperoleh kontrak besar dari sebuah korporasi sebagai konsultan dapat berpaling muka ketika mendapat bukti praktek kecurangan akuntansi, bahkan terkadang bisa menyarankan kecurangan itu sendiri. Mereka dengan mudahnya memberikan metode-metode yang secara teknis tidak melanggar hukum dan peraturan, tetapi memberikan gambaran yang menyesatkan tentang perusahaan.

Sinergi yang seharusnya terjadi antara akuntan dengan bank agar kepentingan publik terjamin, juga telah ternoda oleh logika kapitalisme uang. Akuntansi yang bermasalah berarti akuntan tidak mengawasi kekuasaan bank sebagaimana mestinya. Akibatnya bank menjadi kurang ketat lagi dalam mengawasi perusahaan-perusahaan yang mereka beri pinjaman. Hal ini menyebabkan sektor perbankan yang bermasalah akan mempunyai konsekuensi sistemik yang sedemikian besar.

Gembar-gembor peningkatan persaingan pada era ekonomi baru membawa dampak yang lebih buruk pada konflik kepentingan para banker. Meningkatnya persaingan, membuat bank bernafsu merebut laba jangka pendek. Bahkan, terjadi adu cepat untuk menggapai pasar. Setiap bank tahu bahwa saingannya terlibat praktek serupa, dan bila tidak bersaing maka mereka akan ketinggalan. Setiap pegawai bank sudah tahu apa arti sebuah kekalahan persaingan, yaitu bonus berkurang atau bahkan mungkin dipecat.

Gelembung ekonomi yang terjadi akibat kapitalisme uang, kemudian bertambah hebat seiring dengan prilaku yang tidak terpuji dari para pelaku dunia keuangan tersebut. Semakin besar gelembung yang terjadi, maka semakin besar pula insentif untuk bertindak agar gelembung terus membesar. Sebenarnya, para banker tahu bahwa apabila gelembung meletus, sebagian besar kredit yang mereka kucurkan akan macet. Untuk itu, maka portofolio pinjaman bank sangat bergantung kepada upaya untuk terus menerus melanggengkan gelembung bursa saham.

Apabila, para pelaku pasar, memahami apa yang dimainkan oleh kalangan banker, pialang, dan analis yang bekerja untuk mereka, mungkin mereka akan skeptis terhadap informasi yang mereka peroleh. Nasib paling malang akan diterima oleh orang-orang yang telah mengorbankan assetnya untuk mengejar impian dari riuh-redahnya gelegar kapitalisme uang yang menyilaukan mereka, sedangkan pengetahuan mereka sangat terbatas terhadap itu semua. Sungguh menyedihkan, kepercayaan mereka telah direngut tanpa perasaan oleh pihak-pihak yang telah meraup bergepok-gepok keuntungan.

Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/04/28/perubahan-prilaku-dunia-keuangan/


*****************************

Catatan : Pembobolan Bank


AKSI kejahatan di industri perbankan belakangan ini seperti kian menjadi-jadi. Pembobolan bank yang mayoritas melibatkan orang dalam, dengan beragam modus, datang silih berganti.

Belum lagi skandal pembobolan di Citibank dan penjarahan rekening milik PT Elnusa di Bank Mega terungkap tuntas, terbetik kabar kasus serupa juga terjadi di Bank CIMB Niaga.

Kasus pembobolan di Bank CIMB Niaga dilakukan dengan modus memalsukan surat/dokumen sebagai persyaratan dalam pengajuan kredit. Sekalipun dokumennya palsu serta jaminannya telah pula diagunkan kepada bank lain, toh kredit sebesar Rp234 miliar dapat dicairkan.

Sebelumnya, publik dikejutkan dengan kasus pembobolan di Citibank. Padahal, itulah bank asing yang memiliki nama besar dan memberi kenyamanan pelayanan yang hebat serta keamanan bertransaksi karena didukung kecanggihan sistem teknologi. Toh, Citibank juga dibobol sebesar Rp17 miliar justru oleh senior relationship manager mereka.

Kasus yang kini menyita perhatian publik tentu saja menyangkut Bank Mega. Pembobolan tak cuma terjadi di rekening milik PT Elnusa sebesar Rp111 miliar, tapi juga milik Pemerintah Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, sebanyak Rp80 miliar.

Di luar kasus-kasus itu ternyata sebelumnya juga sudah banyak terjadi pembobolan bank. Misalnya, pembobolan kantor kas BRI Tamini Square, pemberian kredit Bank BII, pencairan deposito di Bank Mandiri, transaksi pinjaman Bank BNI, pencairan deposito nasabah di BPR Pundi Artha Sejahtera, penarikan uang kas Bank Danamon, dan penggelapan dana nasabah di Panin Bank.

Kasus-kasus itu memperlihatkan betapa bank telah menjadi sasaran empuk bagi para penyamun untuk mengeruk dana nasabah. Bayangkan, setidaknya pada 2007-2010 terjadi 15.097 kasus dengan kerugian sekitar Rp42 triliun. Itu artinya, setiap hari setidaknya terjadi 10 kali tindak kejahatan perbankan.

Pembobolan bank itu jelas merusak sendi dasar perbankan, yakni kepercayaan nasabah. Nasabah menaruh uang di bank atas dasar kepercayaan. Bisnis perbankan memang ditegakkan terutama di atas basis kepercayaan. Sekarang kepercayaan itulah yang justru dihancurkan sendiri oleh orang dalam bank dengan membobol uang nasabah.

Jelaslah bahwa bank tidak cukup hanya menerapkan metode know your costumer, tapi juga wajib menerapkan prinsip know your employee untuk mendeteksi kejahatan perbankan yang melibatkan orang dalam.

Keterlaluan bila bank tidak mau tahu perihal gaya hidup karyawan mereka yang sangat mencolok, yaitu sampai-sampai memiliki mobil mewah Hummer dan Ferari. Keterlaluan karena hilangnya sense of proportion. Tidakkah muncul pertanyaan dari mana semua itu berasal?


Sumber ; http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/05/225991/70/13/Pembobolan-Bank-


Aktivitas operasional bank TERNYATA tidak dapat mengandalkan sepenuhnya kepada SOP untuk memitigasi resiko operasional, mengingat kewenangan pemutusan tetap ada pada manusianya. Oleh karenanya kewenangan dibuat berjenjang dan peran pengawasan "below the line" menjadi penting. Umumnya perilaku dan gaya hidup pegawai yang terlihat berubah secara tiba-tiba merupakan early warning untuk memperkirakan ada tidaknya potensi resiko yang mungkin terjadi. Skenario apa yang mungkin dapat terjadi dapat diperkirakan dalam matriks high risk employee yang memetakan antara kewenangan dan besarnya perubahan gaya hidup. Singkatnya, gaya hidup berubah semakin tinggi maka turunkan kewenangannya, prakteknya ini berarti "personal quarantine".
(ida bagus denni peradnyana)


http://hilmanmuchsin.blogspot.com/2011/05/perubahan-prilaku-dunia-keuangan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar