Rabu, 07 Oktober 2009
Anak Saya Mengerti Makna Kebahagiaan
Kisah ini disusun menurut cerita dan perasaan sebenarnya dari seorang artis yang ternama di Hongkong dan Taiwan. Di sini kami abaikan namanya beserta nama anaknya. Cerita dari siapa tidaklah penting, yang penting cerita itu membawakan inspirasi kita terhadap kehidupan dan keluarga.
Saya dilahirkan sebagai seorang yang sangat mujur. Kehidupan sebagai selebriti sangat lancar, sesuatu yang dikejar dengan susah payah oleh orang lain, bagi saya sekali mengulurkan tangan saja dengan mudah bisa saya dapatkan, sangatlah wajar. Hal tersebut menjadikan saya sebagai seorang yang sombong, baik dari segi perasaan maupun kepribadian.
Pada saat saya berumur 30 tahun, suasana hati saya mendadak mengalami perubahan aneh, saya sudah tidak puas lagi dengan hari-hari yang penuh dengan keglamouran dan pesta pora, saya mendadak ingin mempunyai seorang anak.
Umur 37 tahun saya melahirkan seorang putra, nama latinnya Oscar, karena saya adalah seorang selebritis, oscar merupakan penghargaan tertinggi dari dunia selebriti. Sejak pertama kali saya menggendongnya dalam pelukan, saya telah merencanakan jalan hidupnya di kemudian hari - saya ingin dia menjadi seorang aktor kecil terbaik.
Diawali dari hal yang terkecil seperti pakaian, makanan, tempat tinggal, akomodasi dan lain-lain, semuanya sengaja saya bina dengan segenap perhatian.
Saat anak saya berumur 5 tahun, saya memperkenalkannya di hadapan khalayak ramai : waktu itu saya mendapat undangan ke bagian utara Thailand untuk mewawancarai desa pengungsi, saya membawanya ikut serta.
Waktu proses shooting, saya menyuruh dia menghafal sebagian dialog skenario, lalu mengarahkan kamera kepadanya. Waktu disiarkan di TV, Hongkong pun gempar. Semua orang histeris, mengaguminya sebagai anak yang berbakat. Setelah berhasil di Hongkong, saya membawanya ke Taiwan untuk diorbitkan, mengikut sertakan dia pada suatu pameran busana anak bermerek internasional, sekaligus mengatur kesempatan agar dia berjalan di atas catwalk.
Hal tersebut dilaporkan secara besar-besaran oleh media ternama, hanya dalam waktu semalam ketenaran anak saya telah menyebar ke seantero Taiwan. Untuk selanjutnya saya memanfaatkan ketenaran saya sendiri untuk mempromosikannya dengan segenap kemampuan, apalagi penampilan dirinya juga bisa dikembangkan, dengan cepat dia telah menjadi bintang film cilik.
Namun di saat ini, terjadilah peristiwa yang amat mengerikan tersebut - anak saya diculik dalam perjalanan ke sekolah. Walaupun penculik selalu mengancam untuk tidak melaporkan hal ini ke polisi, setelah berulang kali saya pertimbangkan, akhirnya saya tetap melapor ke polisi, dengan cepat penculik telah tertangkap.
Ketika saya membuka kotak tempat para penculik menyembunyikan anak saya, seketika itu juga nafas saya menjadi dingin - para penculik telah menyediakan lilin dan kertas sembahyang di dalam kotak. Sangat jelas, mereka telah merencanakan untuk membunuh anak saya begitu uang tebusan telah mereka terima. Sambil memeluk anak saya yang telah hilang dan kini telah saya dapatkan kembali, saya bahkan sudah tidak mampu untuk menangis lagi.
Peristiwa penculikan itu, telah menorehkan luka yang teramat mendalam pada diri anak saya, mentalnya mengalami pukulan berat : sejak saat itu dia sama sekali tidak mau lagi untuk tampil di depan umum dengan saya.
Begitu pulang ke rumah dia pun langsung mengurung diri di kamar, bahkan dipanggil untuk makan pun dia tidak mau keluar, setelah makanan diantarkan ke depan kamarnya pun dia tidak mau membukakan pintu, dia hanya mengijinkan makanan diletakkan di depan pintu kamarnya, setelah yang mengantar pergi baru dia akan diam-diam membuka pintu dan mengambil makan lalu masuk lagi ke dalam kamar. Melihat keadaan anak saya yang dulunya serba bisa sekarang menjadi…, hati saya semakin tersayat-sayat.
Setelah saya konsultasikan dengan banyak psikiater, saran yang saya peroleh hanya satu yaitu penyembuhan dengan waktu. Saya simpan kembali air mata saya, dan berkata pada diri saya sendiri : Tidak masalah, Tuhan sudah bermurah hati kepada saya, Ia telah mengembalikan anak saya dalam keadaan hidup.
Dengan naluri kasih sayang seorang ibu saya mulai belajar hidup berdampingan dengannya, semua yang saya lakukan ini demi untuk membuat dia senang, membiarkan dia mengerjakan apa yang dikehendaki : membuang daging burger di tengah baru dia memakan roti burgernya saja, mengundang teman-teman sekelasnya bermain dan berhura-hura di rumah, bergaul dengan teman kelasnya yang saya anggap tidak berkepribadian dan tidak kaya, memakai celana jeans dan T-shirt murahan, rambutnya tidak lagi disisir rapi, tidak lagi berlatih musik, pasang muka cemberut jika diajak nonton konser…
Pada hari libur saya mengajaknya bertamasya, tidak lagi mengajaknya ke museum atau pun gedung kesenian. Saya biarkan dia bebas menentukan tempat dan acara liburan yang dikehendakinya sendiri.
Suatu saat di Mesir, kami menunggang seekor unta bersama, mengamati patung Sphinx di depan piramida. Anak saya duduk di depan saya, bersandar di dada saya. Bulu leher unta membuat kakinya gatal, saya menyuruhnya untuk melipat kakinya, setengah rebah di dalam pelukan saya, tangan kiri saya mengelus betisnya yang memerah, tangan kanan saya membelai rambutnya, mendadak dia bergerak-gerak, sambil agak mendesak-desakkan kepalanya di dada saya, dengan bergumam dia berkata, “Mama, terima kasih.”
Saya telah membuatnya menjadi murid terbaik di sekolah, dia tidak berterima kasih kepada saya; saya telah membuatnya menjadi bintang film cilik, dia juga tidak berterima kasih kepada saya; saya pernah memutuskan untuk menebusnya dengan seluruh kekayaan saya, dia pun tidak pernah berterima kasih kepada saya.
Justru di jelang senja di atas padang gurun ini, saat sedang bersandar di dalam pelukan saya, dengan tulus dia telah berterima kasih kepada saya. Sepatah “terima kasih”, telah membuat saya memahami bahwa segala kejayaan yang saya miliki tidak bisa dibandingkan dengan dengan kata tersebut. Saya menyadari bahwa kehidupan seperti inilah yang bisa membuat anak saya benar-benar merasakan kebahagiaan dan kepuasan sesungguhnya.
Tiga tahun pemulihan, akhirnya anak saya sembuh total.
Seiring dengan kesembuhan anak saya, saya juga mengalami perubahan hakiki. Saya tidak lagi angkuh, sudah bisa memahami dan bersimpati pada orang lain, berubah menjadi lebih dewasa dan dapat mengendalikan diri, selain itu saya juga memahami makna dari kebahagiaan itu sendiri, yakni : Hidup dalam ketentraman, sanak keluarga selamat. (The Epoch Times/lin)
Epoch Times Kamis, 30 Juli 2009
http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/3413-anak-saya-mengerti-makna-kebahagiaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar