Kamis, 01 Oktober 2009
Berbicara Dengan Empati
Menghadapi seseorang dengan hati antipati, berbicara dibutuhkan kerendahan hati dan secara halus. Kalau tidak, justru bagaikan menabur garam pada luka, dapat memperdalam rasa antipatinya. – Beacon, filsuf Inggris
Pelaku komunikasi yang bijak, biasanya memiliki empati; menyerap sejuta masalah yang dikembangkan secara positif, akhirnya membuat lawan berbalik menjadi kawan.
Misalkan, jaman dulu ahli potong rambut dalam melatih muridnya, secara umum membutuhkan 3 tahun lebih baru bisa “lulus”. Kini, seorang master potong rambut melatih seorang murid, setelah lewat 3 bulan, dianggap sudah menguasai ketrampilan tersebut, diperbolehkan secara resmi buka usaha.
Pada suatu hari, seorang mu-rid diuji coba ketrampilan perdananya, sesudah selesai memangkas pelanggan pertama, pelanggan tersebut sambil melihat ke cermin berkata: “Rambut masih agak panjang”. Si murid tak tahu harus menjawab bagaimana.
Gurunya yang mengamati di sebelahnya, langsung dengan tersenyum menjelaskan: “Rambut panjang, membuat Anda terlihat berisi, ini yang dinamakan Ilmu Padi, sangat sesuai dengan status Anda.” Sang pelanggan mendengar itu, dengan gembira pamit pada mereka.
Si murid sesudah memangkas rambut pelanggan kedua, pelanggan melihat ke cermin dan berkata: “Rambut dipotong terlalu pendek.” Si murid tetap saja tak tahu harus menjawab apa. Lalu guru itu menjelaskan dengan tertawa: “Rambut pendek, membuat anda terlihat bersemangat, sederhana, tulus, terkesan sangat akrab.” Mendengar itu pelanggan pergi dengan gembira.
Si murid sesudah mencukur pelanggan ke 3, pelanggan sembari membayar, sambil berkata dengan tertawa: “Perlu waktu cukur cukup lama ya.” Sang murid tak menjawab. Lalu guru tersebut menjelaskan dengan tertawa: “Untuk melayani seorang tokoh memang perlu waktu yang lebih lama, tak pernahkah anda mendengar: masuk bagai intelek berambut perak, keluar bagai cendekiawan berwajah rupawan?” Mendengar hal itu, sang pelanggan tertawa terbahak dan pergi.
Si murid sesudah membenahi rambut pelanggan ke 4, pelanggan tersebut sambil membayar, sambil tertawa berujar: “Gerakan anda cukup tangkas! 20 menit sudah selesai dibenahi.” Si murid bingung, terdiam membisu. Dengan cekatan si Guru tertawa dan berkata: “Jaman sekarang, time is money, dengan ketrampilan tangkas, gerak cepat selesai, telah menghemat waktu dan uang anda, bagaimana tidak merasa gembira?” Sang pelanggan mendengar itu, mengangguk dengan tersenyum dan pergi.
Setelah salon murid tersebut tutup, si murid bertanya dengan takut-takut: “Guru, mengapa yang Anda sampaikan, selalu beralasan?”
Si Guru menepuk-nepuk bahunya dan berkata dengan tertawa: “Tak salah lagi, setiap persoalan selalu mempunyai dua sisi, ada betul ada salah, ada untung ada rugi.” Saya sengaja menyemangatimu di depan pelanggan, ada dua efek: Bagi si pelanggan, adalah demi membuat orang lain senang, karena siapapun pasti senang mendengar kata-kata manis; bagi kamu, selain memberi semangat juga memecut, karena semua hal pada awalnya pasti sulit, saya mengharapkan kelak kamu mengerjakannya dengan lebih bagus!”
Mendengar hal itu si murid sangat terharu, sejak saat itu lebih giat lagi dalam belajar ketrampil-an. Setelah lewat beberapa tahun, ketrampilan murid tersebut sudah sangat canggih, cukup untuk berwirausaha.
Dalam keseharian, kita biasanya mengerjakan sesuatu hal kecil yang teramat biasa, oleh karena cara pengungkapan yang tidak sama, hasil dan imbalan yang diterima juga akan jauh berbeda. Selain harus bisa me-ngerjakan, juga harus bisa berbicara.
Di dalam hal komunikasi antar manusia, kesalahan yang paling sering dilakukan ialah: setiap orang bersikukuh dengan pandangan diri sendiri, selalu saja menilai permasalahan berdasarkan pandangan diri sendiri. Berdasarkan pengalaman diri sendiri yang masih sempit untuk mengatasi permasalahan, pasti membuat dua pihak yang bermasalah saling beroposisi, berdebat tiada henti, tak akan mampu memperoleh hasil yang sempurna.
Dalam contoh kasus aliran Zen terdapat sebuah cerita kecil yang sangat digemari. Ada dua biksu cilik yang biasanya suka bercekcok. Suatu hari, kedua o-rang tersebut lagi-lagi ribut gara-gara urusan sepele, semakin berdebat semakin berteriak, akhirnya ber-tengkar mulut hingga mukanya merah padam, tidak ada satu pun yang mengalah.
Biksu cilik pertama dengan geram mencari sang guru untuk mengadu. Gurunya dengan sangat telaten mendengar keluh-kesahnya, lalu berkata dengan datar-datar saja: “Kamu benar.” Mendengar omongan sang guru, si biksu kecil pulang dengan hati puas.
Tak lama kemudian, biksu kecil kedua dengan terengah-engah mencari sang guru juga untuk mengadu. Guru juga dengan telaten mendengarkan penjelasannya, tetap saja berkata dengan datar: “Kamu benar.” Biksu cilik kedua juga dengan gembira kembali ke kamarnya.
Waktu itu, biksu cilik ketiga yang senantiasa mendampingi sebagai asisten tak bisa menahan lagi dan berkata: “Guru, Anda biasanya mengajarkan kami melayani orang harus jujur, jangan sekali-kali melakukan hal yang berlawanan dengan nurani, tetapi, saya tadi dengan telinga sendiri mendengar Anda terhadap dua adik seperguruan yang berbeda pendapat dan bertengkar mengatakan,”Kamu benar”. Maafkan atas kelancangan saya, Guru berkata demikian, bukankah itu semacam hal yang berlawanan dengan nurani?”
Si guru menghadapi kecurigaan biksu cilik ketiga, selain tidak marah, malahan berkata dengan tenang dan berseri: “Kamu benar.” Biksu cilik ke tiga menjadi murid sudah agak lama, juga agak mempunyai dasar kebijakan, mendengarkan gurunya berkata demikian, langsung terbuka pencerahannya, dengan segera bersujud berterima kasih atas pengarahan langsung dari sang guru.
Ternyata maksud dari guru tersebut ialah: oleh karena setiap orang selalu menganggap diri sendiri “Saya benar”, maka dari itu baru bisa bersikukuh dengan pendapatnya sendiri, sama sekali tidak mau mengalah.
Jikalau kita bisa membandingkan hati dengan hati, mau berdiri di atas pijakan posisi lawan bicara untuk memikirkan permasalahannya, membalikkan pandangan sendiri, dirubah dengan sikap “Kamu benar”, pertikaian pasti berkurang, gesekan antar mereka juga agak mudah diselesaikan.
Di dalam dunia usaha pada umumnya, bagian operasional dan bagian produksi acap kali terjadi beda pendapat lalu bertikai tak berkesudahan, atasan yang cerdik pasti bisa dengan tepat waktu menyelaraskan kedua bagian tersebut, dengan demikian, keadaan pasti bisa berubah baik.
Mengatasi perselisihan, hadapilah dengan hati empati, baru bisa membuat komunikasi semakin lancar!
Epoch Times Jumat, 02 Oktober 2009
http://erabaru.net/kehidupan/41-cermin-kehidupan/5457-berbicara-dengan-empati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar