Minggu, 04 Oktober 2009
Klasik Itu Indah
Cinta itu sensasi bermata dua. Ia menjadikan hidup terasa indah, tetapi juga bisa mengubahnya menjadi tragedi. Tema inilah yang hendak dinyatakan oleh penata tari Aloysia Neneng Yuniati lewat karya tarinya, ”Jati Kumandang”, yang digelar di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Rabu (30/9) malam.
Tema cinta yang tragis ini direfleksikan lewat percintaan antara Dewabrata dan Dewi Amba. Wayang tampaknya mampu mengartikulasikan drama kemanusiaan yang selalu berulang, karena itu selalu membuat orang kesengsem.
Kisah tentang Dewabrata, satria dari Kerajaan Astina, yang berhasil menaklukkan hati Dewi Amba dari Kerajaan Kasipura, mungkin hanya akan menjadi narasi percintaan yang nyinyir dan klise. Namun, Neneng (27), dengan cerdik mengangkat repertoar ini dalam bentuk garap tari bedhaya.
Bedhaya adalah genre tari yang terbilang ”sakral”, kalau tak boleh disebut klasik, yang pada masa lalu hanya bisa dipertunjukkan di dalam tembok keraton. Tari bedhaya pada umumnya menjadi sarana meditasi bagi penikmatnya. Gerak tarinya lamban mengalun, iringan gendingnya terdiri atas tembang gedhe yang keagung-agungan.
Suasana sakral khas Jawa sengaja dibangun dalam pementasan yang dipadati penonton ini. Seluruh dinding dibalut kain hitam, sedangkan lantai panggung ditebari irisan daun pandan dan semerbak bau dupa wangi terus mengalun sepanjang pentas. Tak ayal, konsep pertunjukan yang ”multimedia” ini terasa unik dan istimewa.
Dengan konsep garap tari bedhaya, repertoar ”Jati Kumandang” tampil bukan sebagai narasi yang runtut dan realis, melainkan amat subtil. Repertoar ini dibawakan dalam format bedhaya, yaitu mengandalkan tujuh penari perempuan dengan busana yang sama; jamang serimpi, kemban merah, dan kain jarit ungu polos. Mereka membawa busur panah sebagai properti, serta keris yang terselip di pinggang depan.
Dengan hanya tujuh penari perempuan itulah, Neneng ”berkisah” tentang lakon cinta Dewabrata-Dewi Amba. Neneng yang menjadi penari utama berperan sebagai Dewabrata, sedangkan Dewi Amba diperankan oleh penari yang lain. Mengambil bentuk langenswara, tuturan kisahnya disampaikan oleh wiraswara atau pesinden. Begitu pun dialog berbentuk tembang dilantunkan oleh penari, baik seorang maupun bersama-sama.
Selibat
Tragedi diawali pada saat Dewabrata memenangi sayembara dan berhak memboyong Dewi Amba. Akan tetapi, Dewabrata menolak menikahi karena bersumpah hidup selibat sehingga membuat Dewi Amba sakit hati dan kecewa berat. Pada puncak percekcokan antara keduanya, Dewi Amba tewas tertikam keris Dewabrata.
Arwah Amba mengutuk Dewabrata dan berjanji akan menjemput sang kekasih kelak dalam Perang Bharatayuda lewat seorang senapati perempuan. Dewabrata yang kemudian menjadi Bisma—sesepuh Pandawa—akhirnya memang menemui ajal di tangan Srikandi, istri Arjuna. Dikisahkan, Bisma hanya berserah ketika ribuan anak panah menghujani dirinya karena tahu Amba bakal menjemputnya.
Seluruh drama itu, dari adegan ke adegan, disusun melalui garap tari bedhaya yang sebenarnya cukup ketat dalam pola bakunya. Lembut-lamban gerak tarinya terus terjaga, begitu pula komposisi dan pola lantainya. Baik saat menggambarkan adegan percintaan maupun adegan ”perang” pun—sekali lagi hanya mengandalkan tujuh penari—tidak memberi kesan vulgar atau keras, melainkan tetap subtil.
”Dalam konsep garapan ini saya menggabungkan tiga unsur, yakni tari bedhaya atau lebih tepat bedhayan, langenswara, dan narasi pewayangan,” tutur Neneng, lulusan STSI Solo (2005) dan dibesarkan sebagai penari di Istana Mangkunegaran.
Pergelaran ”Jati Kumandang” terasa istimewa karena berhasil memanfaatkan, atau lebih tepatnya merevitalisasi, kekuatan tari klasik. Penata tari Retno Maruti pernah menggarap ”Abimanyu Gugur” (1976-2002) dengan konsep serupa. Dalam repertoar itu, Maruti menampilkan dua rakit bedhaya yang masing-masing terdiri atas sembilan penari.
Keberhasilan ”Jati Kumandang”, antara lain, didukung oleh para penari yang rata-rata punya kemampuan prima, di samping kemampuan menembang, mengingat kemampuan itu sekarang ini langka. Juga dukungan penata gending Lukas Danasmara, yang menyusun garapan gending bedhayan dengan sejumlah pembaruan, di antaranya memasukkan unsur musik diatonik yang tak bisa diabaikan. (Ardus M Sawega)
Minggu, 4 Oktober 2009 | 15:14 WIB
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/10/04/15140737/klasik.itu.indah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar