Minggu, 11 Oktober 2009

Prof Dr Komaruddin Hidayat : Sembelihlah Ego dan Kerakusanmu!

Berkurban. Inilah, menurut Prof Dr Komaruddin Hidayat, kata kunci agar kita bisa keluar dari krisis berkepanjangan. Guru besar filsafat agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta ini mengemukakan, krisis multidimensi yang menimpa negeri ini, lantaran para elitnya tidak mau berkurban. Keengganan berkurban itu, lanjut doktor filsafat dari Middle East Technical University, Ankara, Turki dan Ketua Indonesia Procurement Watch (IPW) ini, antara lain karena mereka salah memaknai kurban. Selama ini, katanya, kurban lebih sering diartikan sebagai menyembelih kambing, kerbau atau sapi.

''Itulah yang mereka lakukan. Padahal, menyembelih hewan itu kan hanya makna simbolik dari kurban. Makna sesungguhnya adalah bagaimana kita menyembelih ego, sifat rakus, cinta berlebihan terhadap harta dan jabatan atau kekuasaan,''
tegas pria kelahiran Magelang, 18 Oktober 1953 ini. Karena itu, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pendidikan Alternatif Madania ini, Idul Adha harus dijadikan mementum memperbarui semangat mau berkurban. Berkurban untuk kepentingan bangsa dan negara, dan bukan justru mengurbankan bangsa dan negara untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Kepada Republika yang menemuinya di kediamannya, kawasan kampus UIN, akhir pekan lalu, suami dari Ait Choeriyah dan bapak dari dua anak ini berbicara panjang lebar di sekitar makna kurban. Berikut petikannya:

Selama ini makna kurban dikaitkan dengan Idul Adha selalu dimaknai sebagai menyembelih kambing, kerbau atau sapi. Menurut Anda, bisakah kurban dimaknai secara kontekstual? Lalu apa makna kontekstualnya?
Yang harus diingat, kata kurban itu berasal dari bahasa Arab qaraba-yuqaribu-qurbanan-qaribun, yang artinya dekat. Dengan begitu, sahabat karib berarti teman dekat. Makna kurban dalam istilah Islam berarti kita berusaha menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi upaya mendekatkan kita pada Tuhan. Penghalang mendekatkan itu adalah berhala dalam berbagai bentuknya, seperti ego, nafsu, cinta kekuasaan, cinta harta-benda dan lain-lainnya secara berlebihan.

Dalam konteks Idhul Adha, pesan mendasar dalam perintah tersebut adalah agar manusia tidak sesat dalam menjalani hidup. Untuk itu, harus selalu menjalin kedekatan dengan Tuhan dan merasakan kebersamaan dengan-Nya setiap saat. Karena manusia mudah sekali teperdaya oleh kenikmatan sesaat yang dijumpai dalam perjalanan hidupnya, maka Allah memberikan metode dan bimbingan untuk selalu melihat kompas kehidupan berupa shalat dan zikir agar kapal kehidupan tidak salah arah.

Dalam kaitannya dengan Idul Adha, pengurbanan itu simbolnya anak, yaitu Ismail as, anak Ibrahim as. Simbol kecintaan dunia itu terutama pada anak, sedangkan materi, mobil, rumah dan lainnya itu kan hanya mengikuti saja. Kalau cintanya seorang pemimpin terhadap anak berlebihan dan karenanya takut terjadi apa-apa pada anaknya itu, bisa menghalangi hubungannya dengan Tuhan dan rakyatnya.

Karena itulah pesan mendasar dan abadi dari Ibrahim itu, yakni sembelihlah anakmu. Artinya, sembelihlah segala ego, kerakusan, dan nafsu yang ada di hatimu, yang itu semua dapat menutupi kedekatan dan hubunganmu terhadap Tuhan dan sesama manusia. Tetapi bila itu semua kamu lakukan, maka dapat mendekatkan kamu dengan Tuhan dan dengan rakyatmu.

Ketika Ibrahim akan melakukan itu godaannya berat sekali, ya dari setan, dari istri Ibrahim sendiri, dan lainnya. Meskipun, saat akan dilakukan penyembelihan itu kemudian Allah menggantinya dengan kambing. Karena Allah tahu, cukuplah dengan kambing karena engkau ya Ibrahim telah melakukan yang semestinya, yakni menyembelih ego, kerakusan, dan cinta berlebihan dalam dirimu. Inilah yang mestinya kita ambil maknanya, bahwa sekarang ini berhala-berhala duniawi luar biasa bergentayangan, yang secara tak sadar telah menjerumuskan kehidupan kita, termasuk mengantar bangsa ini ke tepi jurang kehancuran.

Apa pesan mendasar sesungguhnya dari kepatuhan Ibrahim dan digantinya Ismail dengan domba itu?
Dua hal pokok. Pertama, Hatinya (Ibrahim--red) menjadi dekat pada Allah karena nafsunya telah dibunuh. Kedua, dengan kaum fakir miskin dihubungkan dengan mencintai, dalam wujud berbagi kasih sayang dengan sesama manusia. Adapun daging itu sebenarnya hanya makna simbolik. Yang utama adalah keberhasilannya telah membunuh/menyembelih egoisme dalam berbagai bentuknya.

Peristiwa kurban ini kan juga dalam rentetan bulan Dzulhijjah, yang juga di dalamnya ada perintah menunaikan ibadah haji. Lalu apa kaitan antara keduanya?
Secara mendasar dapat saya katakan begini. Dalam Islam itu kan setiap perintah ada dampak sosialnya. Semuanya pasti ada itu. Nah, haji maupun kurban, dampak sosialnya luar biasa besarnya. Di sinilah akan kita temukan sekaligus hikmah haji. Yakni, untuk memutuskan dari bahaya jeratan rutinitas yang sangat potensial mengaburkan arah perjalanan kita, karena tanpa sadar bisa jadi kita telah menciptakan kiblat kehidupan baru.

Mungkin berupa bayang-bayang jabatan politik, kemegahan hidup, popularitas, self-glory, dan berbagai bayang lainnya, sehingga terputus kedekatan kita dengan Allah. Maka, Allah memanggil kita untuk datang ke rumah-Nya. Kita tinggalkan pekerjaan, rumah, tanah air, dan berbagai urusan lainnya. Kita datang memenuhi panggilan cinta-Nya untuk memperoleh pencerahan hidup, agar tidak terlena dengan tawaran kenikmatan sesaat yang bisa menghancurkan makna dan tujuan hidup yang lebih besar nilainya dan abadi.

Karena itulah, dalam konteks ini, keseluruhan rentetan ritual haji yang sesungguhnya merupakan amalan paling berat bila ditinjau dari segi fisik, kemudian diakhiri dengan perintah berkurban. Awal kita datang haji juga semua serba telanjang. Itu menggambarkan kita menghadap Sang Khalik melalui simbol Ka'bah, itu harus dengan hati suci tanpa membawa status sosial yang ada. Di sinilah nilai-nilai kemanusiaan universal didapat. Tak kenal suku dan bangsa, semua sama.

Kurban, sebagai ritual simbolik kelanjutan pelajaran seorang Ibrahim, juga menunjukkan bahwa berbagai sandang dan status sosial sesungguhnya tak ada gunanya di mata Tuhan. Alquran menyatakan, hanya ketakwaanlah yang diperhitungkan di sisi Allah. Maka, dengan berkurban sesungguhnya adalah untuk membunuh berbagai ego tadi, yang dapat menjadi penghalang upaya ketakwaan kepada Allah. Haji dan kurban juga sama-sama melahirkan dan menumbuhkan rasa damai dan aman, serta keduanya sama-sama membangkitkan semangat kebersamaan.

Kalau dalam konteks Indonesia kini, pelajaran apa yang paling menonjol dari peristiwa perintah berkurban itu?
Aspek kepemimpinan sangat fundamental pada pesan ini. Seorang pemimpin, menurut Islam, harus melayani dan mencintai, bukan yang dilayani. Karena dia (pemimpin-red) sesungguhnya diberi amanat itu memang untuk melayani yang memberi amanat tadi.

Nah, ketika Idhul Adha ini yang dikumandangkan adalah takbir Allahu Akbar, Allahu Akbar. Artinya, kita diajak menghayati bahwa hanya Allahlah yang agung, Dia yang paling besar, lainnya itu kecil. Janganlah kecintaan terhadap dunia dan seisinya itu menghalangi kita untuk menghayati keagungan Allah. Karena itulah, ketika berucap Allahu Akbar, berarti yang lain itu kecil.

Dari konteks ini, hikmah terpenting itu adalah bagaimana kita dapat meneladani seorang Ibrahim dalam memimpin dan melahirkan pemimpin-pemimpin berikutnya. Anak keturunannya itu kan para pemimpin. Bisa dibayangkan, Ismail yang begitu dicintainya kemudian ia korbankan untuk memenuhi panggilan Tuhan. Tetapi, sesungguhnya kan pada sikap dan sifat Ibrahim itu, bahwa dia sukses membunuh berbagai ego dalam dirinya sehingga menjadi pemimpin yang melayani rakyatnya. Kita inilah yang dituntut untuk dapat menjadi Ibrahim-Ibrahim itu di tengah kondisi multikrisis sekarang ini.

Selama ini mengapa jiwa dan semangat berkurban itu susah ditumbuhkan, terutama pada para elit negeri ini?
Saya kira, kita harus becermin pada prosesi haji dan kurban tadi. Dalam haji itu kan sungguh mulia nilai-nilai yang ditumbuhkan. Misalnya, haji mabrur, haji yang baik. Kata al-birr (dari kata mabrur--red) itu kan semangatnya melayani fakir miskin, menolong yang tertindas. Sekalipun orang itu berkali-kali haji tapi tak ada karya nyata, ya nggak tercapai prinsip dan nilai haji tersebut.

Nah, dalam konteks kurban, kalau kita tidak ada semangat berkurban dan mencintai, lebih-lebih kepada rakyatnya sendiri, bangsa ini akan hancur. Harus diingat, kehancuran suatu bangsa itu dimulai ketika para elite-nya berbuat fasik, zalim, maksiat, dan tidak mengindahkan hukum. Maka kehancuran akan terjadi. Ini Alquran yang berbicara (QS. 17:16--red). Ibarat orang tua yang memintal benang, tapi setelah rapi, dirusaknya itu pintalan. Suatu kerja keras dan panjang, lalu dihancurkan dalam waktu sepintas. Dalam bahasa sosiologi itu disebut self-destroying nation.

Memimpin adalah mencintai orang lain, dan mencintai berarti siap berkurban. Jadi, adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin untuk memiliki kesediaan berkurban yang didorong rasa cinta terhadap sesamanya yang didasari cinta pada Allah. Saat ini, kita tidak memiliki pemimpin yang demikian ini. Yang ada adalah kesediaan para elite dan pemimpin berkurban untuk diri dan golongannya sendiri, sembari sama-sama mengklaim berkurban untuk rakyat. Mereka-mereka inilah yang sesungguhnya berandil besar dalam mengantarkan bangsa ini ke jurang kehancuran.

Jadi, pelajaran apa yang bisa diambil dari Idul Qurban ini?
Tumbuh dan kembangkan semangat berkurban untuk sesama. Saya yakin, semangat ini akan melahirkan manusia-manusia dan pemimpin generasi seperti Ibrahim tadi. Bangsa ini sudah terlalu capek untuk dikhianati karena kesediaan berkurban hanya untuk diri dan kelompoknya. Lihatlah para pemimpin rakyat di masa lalu. Keluar masuk penjara pun mereka lakukan untuk menegakkan keadilan, melawan penindasan, yang itu semua adalah cermin kesediaan mereka berkurban demi rakyat dan bangsanya.

Penulis : hery sucipto
REPUBLIKA - Jumat, 07 Februari 2003

By Republika Newsroom
Senin, 01 Desember 2008 pukul 15:54:00

http://www.republika.co.id/berita/17864/Prof_Dr_Komaruddin_Hidayat_Sembelihlah_Ego_dan_Kerakusanmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar