Selasa, 12 Februari 2013

Mendamba Generasi Rabbani



Saat kegelapan menerkam bumi, kerinduan apa yang paling didamba kecuali semburat cahaya fajar yang menghangatkan kehidupan.
Saat tulang semakin rapuh dan pandangan merabun samar, hasrat apa yang paling mendera kecuali lahirnya generasi rabbani yang mampu mewujudkan mimpi-mimpi hamba yang tertunda.

Hamba merindukan generasi yang seluruh jiwanya diterpa cahaya cinta. Generasi yang memiliki harga diri, cerdas, dan tangguh—bagaikan pohon yang akar-akarnya menghunjam ke bumi, batangnya kukuh menjulang menggapai langit.

Betapa hamba merintihkan hasrat tak terperikan, mendamba generasi yang semangatnya bagaikan deburan ombak samudra yang tak pernah lelah menerpa pantai.

Generasi yang di hatinya ada nyala api untuk mengubah tanah lempung menjadi benteng-benteng peradaban. Generasi yang mampu mengacungkan obor rahmatan lil ‘alamin, yang menerangi orang-orang yang tersesat menuju jalan ke akhirat.

Oh Tuhanku, telah hamba hampiri pelosok peradaban. Telah hamba saksikan derita manusia yang terbelenggu angan-angan. Telah hamba saksikan raja dan orang berharta yang tersesat dalam tipuan.

Mereka menyangka kehidupan adalah sukacita, padahal ia hanya perjalanan yang akan berakhir di stasiun dukacita.

Mereka menyangka, pertunjukan ini akan terus berlangsung tanpa ujung. Padahal, beberapa saat kemudian tirai panggung akan tertutup, penjaga gedung menghardik para pengunjung, pertunjukan telah usai.

Berkali-kali hamba saksikan prosesi pemakaman. Para pengantar menghamburkan air mata, mencabik jiwanya yang hampa merintihkan luka hatinya yang tercabik.

Kemudian, hamba saksikan tidak satu pun dari para pengantar jenazah, tidak juga anak-anak dan keluarganya yang terus menunggu tanah kuburan. Mereka pergi meninggalkan jenazah yang kini terkubur dalam lubang-lubang yang sempit.

Wahai para penempuh jalan kematian! Kini, rumah mereka hanya sebuah lubang yang pengap. Jaraknya berdekatan, tapi jiwanya berjauhan, tak mampu bertegur sapa, apalagi saling mengunjungi.

Musuhmu, sahabatmu, dan orang-orang terdahulu kuburnya kini saling berdampingan. Mereka semua bisu, masing-masing beku menunggu. Oh, alangkah singkatnya kehidupan, alangkah cepatnya waktu berlalu. Alangkah sedikitnya bekal untuk menempuh jalan yang panjang.

Rumah mereka yang mewah telah semakin lapuk. Lampu kristal berbinar kini telah pudar. Nama yang menjulang hanya sesaat dikenang, kemudian dilupakan, sia-sia, lindap senyap.

Nama dan potret telah dicoret dari arsip kesibukan. Hidup hanyalah menunda kekalahan dan maut selalu tampil menjadi pemenang. Oh Tuhanku, bahasa apa yang paling indah menggugah. Kalimat seperti apa yang paling menyentuh—untuk menggetarkan hati manusia yang lupa ke mana arah pulang.

Oh Tuhanku, lidah hamba semakin kelu, tubuh hamba mulai kaku, tapi hamba tak henti mengadu. Tuhanku berkahilah hamba, lahirnya generasi baru yang dalam jiwanya bersemayam api jihad penebar harumnya cinta.

Generasi baru yang mampu mengubah dunia dengan prestasi yang menjadikan hidupnya penuh arti. Bila kelak datang hari perjumpaan, basahkan bibirnya mengucap kalimat kerinduan pada-Mu. La ilaha illallah.



Oleh: Ustaz Toto Tasmara
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/02/11/mi1jl4-mendamba-generasi-rabbani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar