Kamis, 07 Februari 2013

Tanggapan (2) The Death of Samurai


Oleh Simon J. Sibarani

Bagian Dua


 
Konsep Manajemen Jepang : salahnya apa?

Pada bagian satu saya sudah membeberkan, factor apa sesungguhnya yang menyebabkan dunia industri Jepang mengalami kesulitan dan sekarang ini mengalami limbung, yaitu:

Pertama: Faktor eksternal perusahaan, yaitu penjualan ekspor Jepang yang tergerus disebabkan nilai tukar yen yang tinggi sehingga harga produk Jepang menjadi mahal dan tidak dapat bersaing dengan produk Korea, China atau produk Negara Negara berkembang lainnya.

Kedua: Supply tenaga kerja domestic sangat tidak mencukupi kebutuhan industri, dalam negeri, sehingga industri Jepang tidak bisa berproduksi secara maksimal (efisien).

Akan tetapi, Bung Yodhia mengemukakan bahwa yang menyebabkan ambruknya industri Jepang ada 3 faktor, yaitu:

1. Harmony Culture Error

Bung Yodhia menyalahkan soal harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan, membuat kinerja manajemen Jepang menjadi lamban. Bung Yodhia menganggap bahwa Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch.di Jepang sangat lamban karena setiap pengambilan keputusan harus melalui kesepakatan

2. Seniority Error

Bung Yodhia menyalahkan sistim promosi karyawan berdasarkan seniority atau urut kacang. Hal ini oleh Bung Yodhia dianggap sebagai penghambat product development.

3. Old Nation Error

Bung Yodhia menyalahkan sistim manajemen Jepang yang seakan akan mempertahankan pekerja tua, dan menghambat professional muda untuk berkiprah di level atas perusahaan.

Faktor pertama dan faktor kedua adalah adalah merupakan konsep manajemen Jepang, yang sering disebut sebagai "harta suci" dalam konsep HR Management di Jepang. Sedangkan faktor ketiga adalah anggapan bahwa tenaga kerja tua membuat kinerja perusahaan menjadi lamban.

Yang jelas, pada uraian saya di Bagian Kesatu, saya sudah menegaskan vahwa yang menyebabkan limbungnya indddustri di Jepang, bukanlah ketiga faktor ini,

Lalu, apakah ketiga faktor diatas, termasuk 2 faktor pertama yang merupakan konsep manajemen Jepang, bermasalah atau tidak, mari kita telaah lebih dalam.

Sanggahan Pertama: Harmony Culture Error? Salahnya dimana?

Terlebih dahulu, mari kita pilah ungkapan Bung Yodhia menjadi 2 hal, yaitu:

Ü Harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan.

Ü Speed yang lamban karena harus melalui kesepakatan.

Mengenai harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan, apakah itu salah? Setiap manajemen pasti selalu berupaya membangun harmony di dalam perusahaan masing masing, dan itu sebabnya ada training Team Work, membangun synergy, manajemen konflik dan lain sebagainya.

Demikian pula dengan "kesepakatan". Kesepakatan adalah faktor pendukung untuk kelancaran pekerjaan.

Seabagai contoh, kebetulan pada saat menulis ini saya menemukan pertanyaan dari seorang member diskusi Indonesia HR Forum "apakah ada peraturan/perundangan yang mengatur besaran jumlah tunjangan tidak tetap terhadap gaji Pokok?

Maka, jawaban atas pertanyaan tersebut tidak akan pernah lugas, selama tidak ada kesepakatan tentang makna dan batasan tentang "Gaji Pokok", "Upah Pokok" dan "Upah Tetap".

Kesepakatan itu sangat penting demi lancarnya setiap pekerjaan, dan untuk menghindari terjadinya kegagalan atau pelaksanaan yang melenceng (tidak sinkron). Dan sistim inilah salah satu faktor yang mendukung berhasilnya program "zero defect" di Jepang.

Kemudian tentang pengambilan keputusan gaya Jepang, yang membutuhkan waktu lebih lama
Saya tidak tahu sudah seberapa lama Bung Yodhia ini menggeluti perkembangan teori dan konsep manajemen?

Mengapa saya bertanya demikian?

Di Indonesia saja, menjelang tahun 80-an, dengan dimotori oleh LPPM - Jakarta, para praktisi dan akademisi manajemen di Indonesia sudah ramai membicarakan tentang konsep pengambilan keputusan gaya Jepang, yaitu "bottom up decision making".

Pada akhirnya, semua mengakui bahwa "ada kelebihan" dari konsep tersebut.

Saya membenarkan bahwa proses pengambilan keputusan gaya Jepang pasti memakan waktu yang lebih lebih lama, karena pada saat masih rencana saja, rencana keputusan tersebut harus disosialisasikan, dimintai pendapat dari semua pihak yang terkait, dan harus direvisi bila ada usulan yang lebih baik, semua proses ini melalui nemawashi dan uchi awase. Setelah semua sepakat, baru dilakukan persiapan dan pengaturan. Sampai disitu pun masih belum cukup, karena hasil persiapan harus diverifikasi (check list). Setelah dipastikan tidak ada kesalahan atau kekurangan, barulah rencana dilaksanakan. Dansetelah itu? pelaksanaan akan bergerak sangat cepat, dan hamper dapat dipastikan akan berhasil mencapai sasaran.

Sedangkan pada pengambilan keputusan dengan proses top - down, seorang pimpinan, begitu bangun tidur pun, dalam sekejap, bisa mengambil keputusan "ah! pabrik harus dicat hijau semua!"

Dan setelah sampai di kantor, dia lalu memerintahkan kepada semua jajaran pimpinan menengah "hari ini pabrik harus kita cat menjadi hijau semua!". Apa yang terjadi?

· Seorang bertanya "kenapa harus dicat ulang pak?, mengapa harus hijau pak? mengapa harus semua pak?

· Yang lain lalu bertanya "bisakah ditunda sampai besok? orang saya hari ini banyak yang tidak masuk! mengapa harus hari ini pak?"

· Yang lain lagi mengajukan protes "Pak! tempat saya harus dicat merah karena tempat kerja saya adalah lokasi berbahaya!"

· Yang lain lagi protes "Pak! tempat saya harus dicat kuning untuk meminta semua berhati hati"

· Yang lain ngerundel "Ah! bos saya ini lagi mabuk kali, atau tadi malam gak dikasih kali!" dan lain lain dan lain lain.

Maka, untuk memulai pelaksanaan keputusan tersebut, pasti akan tertunda karena harus menjawab pertanyaan serta menjelaskannya,

Belum lagi keputusan tersebut akan dilaksanakan setengah hati, atau bahkan mungkin tidak dilaksanakan karena merasa protesnya tidak ditanggapi.

Kesimpulannya:
Total waktu yang dibutuhkan (Led Time), mulai dari pengambilan keputusan dengan gaya Jepang - sampai keputusan dilaksanakan sampai berhasil, pasti akan lebih cepat (singkat) ketimbang total waktu (led time) pada pengambilan keputusan gaya top - down - sampai rencana selesai dilaksanakan, dan malah sering kandas di tengah jalan (gagal)

Satu hal lagi adalah, keputusan gaya Jepang hampir tidak pernah gagal, kecuali karena ada faktor x, yang tidak terduga. Dan justru untuk menyelidiki kemungkinan yang tidak terduga itulah maka keputusan gaya Jepang menjadi lebih lama.

Kemudian, tentang speed dalam proses product development industri elektronik Jepang?

Sayang Bung Yodhia ini pasti belum pernah berkunjung ke Akihabara - Tokyo.

Akihabara adalah pusat retail elektronik di Tokyo dan umum disebut sebagai Electronic Town,, luasnya dapat saya gambarkan mulai dari Glodok - sampai Mangga dua di Jakarta

Di Akihabara para produsen berebut cepat untuk memperkenalkan apa yang akan mereka jual 3 - 6 bulan mendatang. Disana mereka memajang prototype barang produksi mereka yang akan di-launch 3 - 6 bulan mendatang.

Mengenai kecepatan proses kerja di dalam pabrik Jepang?

Saya tidak tahu dari mana Bung Yodhia ini mendapat bahan, sehingga mengatakan bahwa proses kerja orang Jepang lambat.

Jangankan bekerja pada level manajemen, bekerja di perusahaan Jepang pun saya kira Bung Yodhia belum pernah.

Mari tanya setiap orang yang pernah bekerja pada perusahaan Jepang, apakah mereka akan membenarkan pendapat Bung Yodhia?

Demikian sanggahan saya untuk faktor pertama yang dikemukakan oleh Bung Yodhia, yaitu tuduhan "Jepang yang lamban"

Sanggahan Kedua: Seniority Error?

Tidak ada satu pun konsep atau teori manajemen yang bisa kita katakan "baik secara absolut", dimana pun diterapkan, hasilnya pasti akan sama baiknya, Tetapi ulasan Bung Yodhia memperlihatkan bahwa dia sesungguhnya kurang memahami bagaimana manajemen Jepang.

Memang, sistim senioritas atau urut kacang adalah sistem yang berlaku secara dominan (walau pun bukan mutlak) di Jepang. Hal ini adalah merupakan wujud dari budaya "sempai – kohai" yang berlaku secara umum di Jepang, mulai dari masa sekolah dasar.

Akan tetapi, bagi yang memahami pola manajemen Jepang pasti mengetahui, bahwa yang menjadi sumber inspirasi dan "motor penggerak" manajemen Jepang justru terletak pada lini menengah, yaitu para Kacho (Manager) dan Bucho (General Manager) yang pada umumnya masih relatif muda pada ukuran Jepang, yaitu pada kisaran umur 35 thn - 45 thn. Semua usul atau ide perubahan atau perbaikan dari bawah (baca: generasi muda) disalurkan dan direalisasikan melalui sistim "Rin Gi Seido"

Memang Jepang sangat membenci apa yang dinamakan innovasi, akan tetapi Jepang sangat giat melakukan product development.

Pada poin ini saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan "innovasi" oleh Bung Yodhia.
Pada pemahaman saya atau pada umumnya orang Jepang, innovasi adalah hal yang sama sekali baru, tidak ada kaitannya atau kemiripan dengan yang lama.

Innovasi seperti itu sangat dibenci oleh manajemen Jepang, karena innovasi memaksa semua karyawan harus belajar dari awal (dari bawah). Oleh karena itu pula mereka sedapat mungkin menghindari orang muda meloncat keatas, karena kuatir bahwa orang muda cenderung melakukan "trial and error" terdorong oleh gejolak darah muda.

Akan tetapi mengenai product development? hanya orang yang tidak mengenal Jepanglah yang mengatakan bahwa pada industri Jepang tidak ada product development

Setiap perusahaan besar di Jepang pasti membentuk wadah yang mengadakan kegiatan, dimana setiap karyawan diberi kesepmapatan untuk memperlihatkan ide, bahkan sampai ide yang dianggap gila sekali pun. Dan ini terbuka bagi semua karyawan, mulai dari operator level bawah sampai manager.

Oleh karena itu, sebenarnya banyak product Jepang yang lebih canggih, tetapi hanya dipasarkan di dalam negeri atau ke negara yang ekonomi (daya beli masyarakat) sudah lebih kuat.
Alasannya? harganya tidak bersaing.

Alasannya? sebagaimana saya kemukakan diatas, nilai tukar yen yang tinggi, mengakibatkan harganya menjadi lebih mahal bila dikurskan pada mata uang lokal.

Oleh karena itu, menanggapi argumen Bung Yodhia tentang Seniority error, sistim seniority tidak pernah menjadi hambatan bagi tenaga muda Jepang untuk meng-eksploitasi ide kreatif mereka bagi perusahaan, sebab mereka diberi peluang, dan bahkan diminta mengajukan usul usul perbaikan, sebagai budaya kerja yang umum dilaksanakan pada semua perusahaan Jepang.

Seniority system di Jepang sudah berlaku sejak zaman dahulu, dan sejak dulu Jepang terkenal dengan gebrakan product development. Lalu, mengapa sekarang dianggap masalah?

Dan bilamana ada karyawan yang prestasinya lebih menonjol (asal tidak menyombongkan diri) pasti akan ada "promosi lebih". Tetapi tidak ada "lompat galah" dalam promosi jabatan.
Terlebih lagi, jabatan Direktur atau Presden Direktur di Jepang hanya jabatan seremonial, layaknya Kaisar di Jepang, sebagai penghargaan bagi karyawan yang seumur hidupnya sudah berprestasi bagi perusahaan,
Kegiatan Presiden Direktur atau CEO di Jepang, hanya "mengumumkan" visi & misi perusahaan, yang sebelumnya sudah dirumuskan oleh para General Manager, kemudian mengucapkan selamat datang kepada karyawan baru, lalu, pada saat piknik/rekreasi karyawan menyampaikan terima kasih kepada seluruh karyawan. Tugas rutin di kantor? mengawasi kinerja bisnis perusahaan, kemudian mewakili perusahaan melakukan lobi terhadap relasi bisnis, setelah itu? main golf!

Tidak ada generasi muda Jepang yang suka posisi tersebut. Generasi muda Jepang menyebut pekerjaan itu hanyalah pekerjaan kakek kakek, Mereka lebih suka pada level menengah justru agar mereka mempunyai peluang untuk meng-eksplore seluruh kemampuan (kompetensi) mereka. Oleh karena itu, sistim seniority tidak pernah menjadi hambatan bagi pekerja muda Jepang untuk berkreasi, sebagaimana dituduhkan oleh Bung Yodhia.

Pada umumnya, disinilah kesalahan yang dilakukan oleh para "pengamat" non Jepang. Mereka melihat Jepang dengan kacamata non Jepang. Beranggapan bahwa aspirasi dan mindset generasi muda Jepang, sama seperti di Indonesia atau negara lainnya.

Justru, keuntungan tambahan dari sistim seniority adalah tentang suksesi kepemimpinan. Dengan sistim seniority, maka proses kaderisasi akan berjalan dengan mantap dan stabil. Bilamana tiba tiba presiden direktur meninggal, pemegang saham tidak akan kebingungan mencari pengganti, mereka tinggal memilih pada lapisan berikutnya, dan siapa pun yang terpilih, pasti akan bisa langsung mulai bekerja.

Kesimpulannya, sistim seniority di Jepang bukanlah menjadi penghambat proses product development atau business development.

Sanggahan ketiga: Old Nation Error?

Awalnya saya salah memahami maksudnya Bung Yodhia. Tadinya saya berpikir bahwa yang dimaksudkan adalah bangsa yang industrinya sudah menua. Akan tetapi setelah saya baca berulang kali, saya baru memahami bahwa yang dimaksudkan adalah, karyawan pada perusahaan industri Jepang lebih banyak yang sudah berumur tua dibandingkan karyawan yang berumur muda.

Lagi lagi Bung Yodhia melakukan kesalahan analisa. Kondisi tersebut bukanlah faktor "penyebab" tetapi merupakan "dampak" dari faktor yang menyebabkan limbungnya industri di Jepang.

Akibat pertumbuhan penduduk yang negatif, dan pada saat bersamaan, harapan hidup orang Jepang semakin tinggi, kini pada kisaran 80 tahun, maka struktur kependudukan di Jepang mejadi terbalik, penduduk usia diatas 50 tahun lebih banyak dari penduduk usia muda.

Akibatnya adalah, karena tenaga kerja usia muda tidak mencukupi untuk mengisi lowongan kerja yang ditinggalkan oleh yang sudah pensiun, maka para pensiunan Jepang diundang kembali untuk masuk bekerja, walau pun bukan untuk full time, karena para pensiunan tersebut tidak mau bekerja full time

Penjelasan inilah yang saya dapatkan dari NIKEIREN pada tahun 1993. NIKKEIREN menganjurkan dunia usaha Jepang agar merekrut kembali para pensiunan mereka. Maka, bukan manajemen Jepang yang memaksa tenaga tua untuk tetap bekerja sehingga menghambat karir tenaga muda, tetapi sebaliknya, karena kurangnya tenaga muda, maka tenaga tua dipekerjakan kembali.

Namun demikian, pekerja tua Jepang tersebut bukanlah manusia yang sudah pikun, yang ketinggalan informasi / wawasan. Mereka juga peka terhadap perkembangan dan perubahan.

Menurut pengamatan saya, generasi tua Jepang lebih banyak melahap informasi melalui media, koran, majalah atau buku buku baru, ketimbang generasi muda. Orang orang yang mengenal Jepang akan tertawa bila ada yang mengatakan bahwa Jepang tidak doyan berita, koran, majalah dan buku. Dan lagi, orang Jepang sampai usia 70 tahun. diakui masih produktif dan energik untuk pekerjaan kantor, sama dengan anak muda.

Lalu masalah The Rising Star? pada kondisi bangsa seperti apa sih yang memungkinkan munculnya The Rising Star?

The rising star hanya mungkin muncul pada kondisi dimana generasi tua kalah pendidikan dan kalah energik dibanding generasi muda. Tetapi di Jepang? Disamping pendidikan yang sama dan sama sama energik, generasi tua pasti memiliki pengalaman dan wawasan yang lebih luas.

Apakah generasi tua Jepang menjadi terkungkung dalam comfort zone seperti yang dituduhkan oleh Bung Yodhia? Ah! hanya orang yang tidak mengenal Jepang-lah yang berkata demikian.

Cobalah kita renungkan, mengapa sampai ada sindiran terhadap orang Jepang yang mengatakan "bahkan pada saat buang air besar pun mereka selalu memelototi apa yang mereka buang kebawah, mereka pasti berpikir, bagaimana agar yang dibuang itu bisa diolah menjadi duit?". Dan sindiran tersebut justru dituduhkan kepada generasi tua Jepang.

Contoh lain, mengapa orang Jepang, termasuk pekerja tua, sampai larut malam masih bekerja di kantor? Apa yang mereka lakukan di kantor, setelah selesai jam kerja? Mereka selalu berpikir, melakukan analisa Ishikawa Fishbone, dan mencari tahu, apa yang mereka bisa lakukan untuk perbaikan kerja, termasuk melakukan product development.

Maka, seberapa besar kemungkinannya muncul the rising star di Jepang?

Kesimpulannya, faktor The Old Nation bukanlah sebagai faktor yang menyebabkan limbungnya industri elektronik Jepang.

Kesimpulan dari semua kesimpulan, jikalau analisa Bung Yodhia adalah benar, maka seharusnya semua perusahaan Jepang sudah roboh, bukan hanya industri elektronik saja. Tulisan Bung Yodhia tidak lebih dari sekedar tulisan seorang novelis atau kolumni yang lihai merangkai kata, tidak sampai pada taraf analisa seorang pengamat.

Yang bisa kita maklumi sekarang adalah,

· kemungkinan besar, core of business Jepang akan bergeser dari industri consumer product ke industri robot atau mesin serta equipment canggih seperti CNC, yang tidak memerlukan banyak tenaga kerja.

· Bilamana kiprah generasi muda Jepang berhasil, maka Jepang, kemungkinan akan menjadi Negara dengan basis IT.

· Dengan direlokasinya pabrik pabrik Jepang ke luar, maka Jepang akan menjadi negara trader atau bisnis jasa.

Tetapi itu hanya merupakan perkiraan saya. Tetapi yang jelas, berdasarkan pengamatan saya, masih banyak yang dapat kita pelajari dari Jepang untuk diterapkan di Indonesia–SJS.


Terakhir Diupdate (Senin, 10 September 2012 11:04)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar