Kamis, 07 Februari 2013

Tanggapan The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

oleh Simon J. Sibarani

Bagian Satu


 

Faktor yang menyebabkan limbungnya industri elektronik Jepang

Beberapa waktu lalu, seorang rekan member mempostingkan sebuahkutipan artikel dengan judul diatas, dan meminta tanggapan saya dengan permintaan sebagai berikut: "Ma'af Pak Simon mohon komentar atas analisa pengamat tersebut diatas tentang perusahaan Jepang agar member mendapatkan informasi yang berimbang dan objektif. Terima kasih. ( Yus H)"

Untuk lebih jelasnya, pembaca dapat menyimak tulisan tersebut selengkapnya pada http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/#more-1170

Penulis artikel tersebut, Bung Yodhia Antariksa MSc, si "raja (jualan template) presentasi" tersebut sungguh mahir merangkai kata, sehingga terbangun suatu "cerita" yang sarkastis, dengan mengatakan Jepang yang:

· Tampak seperti robot yang bodoh dan tolol

· Seperti pecundang

· termehek-mehek

· hanya bisa melongo.

· mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati

Begitu selesai membaca artikel tersebut, celetukan saya yang langsung muncul adalah "woow…luar bisaa Bung Yodhia ini".

Sementara sampai sekarang ini, para professional dan manager dari berbagai belahan bumi, masih sangat banyak yang belajar konsep manajemen Jepang, akan tetapi Bung Yodhia ini menganggap bahwa konsep manajemen Jepang sudah usang dan salah.

Dan rasa antipati saya menjadi semakin mengkristal, ketika Bung Yodhia yang saya yakin belum pernah berkecimpung dikalangan manajemen perusahaan Jepang, bahkan belum pernah bekerja atau berada di dalam lingkungan perusahaan Jepang, justru mengatakan "Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat..bla bla bla…..), akan tetapi apa yang digambarkan oleh Bung Yodhia, bukanlah gambaran yang sebenarnya ada pada perusahaan Jepang.

Apakah Bung Yodhia menyadari bahwa tulisannya mungkin akan terbaca oleh ribuan bahkan mungkin puluhan ribu para professional Indonesia yang sudah bekerja pada perusahaan Jepang, kemudian mengikuti training di Jepang, melalui AOTS atau lembaga training yang lain, atau langsung oleh perusahaan masing masing? Seperti saya, yang sejak tahun 1971 selama 3 tahun sudah belajar dan mengikuti training pada perusahaan Jepang di Jepang, kemudian bekerja pada perusahaan Jepang selama lebih 30 tahun, dan sudah makan asam garam bekerja, rapat, diskusi dan berdebat di level manager Jepang, hanya bisa tersenyum sinis membaca tulisan tersebut…dan kemungkinan besar akan nyeletuk "sok pintar!...."

Rasa antipati tersebut semakin memuncak ketika membaca "What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental "yang bisa kita petik sebagai pelajaran"

Wah!!!... sebuah analisa yang ngawur ditawarkan jadi pelajaran? Saya lalu berpikir "Ini namanya pembodohan publik!!!. Pemikiran tersebut semakin mendorong hati saya untuk memberi tanggapan, selain untuk memenuhi permintaan rekan saya diatas

Inti dari tulisan Bung Yodhia tersebut adalah, adanya pengumuman kerugian sampai trilyunan rupiah yang dialami oleh perusahaan elektronik Jepang, yaitu Sony, Panasonic dan Sharp, dan gambaran tentang limbungnya perusahaan perusahaan elektronik Jepang tersebut.

Lalu, Bung Yodhia mengemukakan ada 3 faktor yang membuat perusahaan elektronik Jepang tersebut ambruk, yaitu:

1. Harmony Culture Error


Bung Yodhia menyalahkan soal harmony yang harus dicapai melalui kesepakatan, akan tetapi didalam bahasannya, sebenarnya yang dipertanyakan adalah soal speed, atau dalam bahasa manajemen produksi umumnya dikenal sebagai LED TIME. Bung Yodhia menganggap bahwa proses product development di Jepang sangat lamban karena harus melalui kesepakatan

2. Seniority Error

Bung Yodhia menyalahkan sistim promosi karyawan berdasarkan seniority atau urut kacang. Hal ini oleh Bung Yodhia dianggap sebagai penghambat product development.

3. Old Nation Error

Bung Yodhia menyalahkan sistim manajemen Jepang yang seakan akan mempertahankan pekerja tua, dan menghambat professional muda untuk berkiprah di level atas perusahaan.

Apakah semuanya itu benar? Ijinkan saya mengulas satu persatu.

Mengenai trend ambruknya industri elektronik Jepang, atau bahkan mungkin akan menimpa seluruh perusahaan manufaktur Jepang.

Pada tahun 1991, saya sendiri sudah mulai melihat suatu gejala yang mungkin akan terjadi di Jepang, ketika saya melakukan pengamatan terhadap maraknya tenaga illegal di Jepang, yang berdatangan dari berbagai Negara, seperti Brazil, Peru, Iran, dan dari Italia juga ada saya temukan, kemudian Iran, India, Bangladesh, kemudian dari Asean termasuk Indonesia, yang secara illegal bekerja pada perusahaan perusahaan di Jepang. Di taman Ueno – Tokyo saja, saya menemukan lebih dari 3.000 orang tenaga kerja Indonesia yang bekerja secara illegal di Jepang.

Keadaan ini terjadi karena Jepang sudah mulai kekurangan tenaga kerja muda Jepang yang mau bekerja di pabrik. Generasi muda Jepang sudah mulai ogah bekerja bekerja di Pabrik, terutama pada panrik yang proses pekerjaannya mengandung unsur 3-K, yaitu Kitanai, Kiken, dan Kitsui.

Pada tahun 1993, saya mendapat penjelasan dari seseorang teman orang Jeoang di NIKKEIREN (semacam APINDO di Indonesia) bahwa NIKKEIREN terpaksa menganjurkan dunia usaha Jepang untuk mempekerjakan kembali para pensiunan mereka.

Pada tahun 1993 itu pula, ketika saya ngobrol dengan pemilik Guest House tempat saya menginap, saya sudah mengatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun kedepannya, ekonomi China akan menyalip ekonomi Jepang.

Ada 3 faktor pertimbangan saya mengemukakan hal tersebut, yaitu:

1. Jepang semakin kekurangan tenaga kerja.

2. Yendaka. Nilau tukar yen yang semakin tinggi, membuat harga barang ekspor mereka kalah bersaing harga di pasar internasional.

3. Gerakan ekonomi yang dinamis di China. Sedangkan Korea Selaran pada waktu itu masih "adem ayem" berupaya menguntit jejak Jepang.

Maka, berdasarkan apa yang saya saksikan sendiri, bukan hanya berdasarkan berita atau literatiur, ada 2 faktor dominan yang menekan dan membuat industri manufaktur Jepang menjadi limbung, yaitu:

A. Yendaka.

Pada satu sisi, kenaikan nilai tukar (kurs) yen menjadi kenikmatan yang tidak terduga bagi orang Jepang yang melakukan perjalanan atau bertugas di luar negeri Jepang.

Bayangkan, hanya dengan seharga 1 botol bir di night club Jepang, yaitu 10.000 yen, kalau mereka ke luar negeri, misalkan ke Indonesia dan dikurskan ke rupiah, cukup buat mereka untuk berleha leha sampai dini hari di Little Tokyo – Blok M – Jakarta, dengan didampingi oleh nona nona muda.

Itu pula sebabnya, para siswa SLTA Jepang, apabila pada libur musim panas mereka menyempatkan diri bekerja satu bulan dengan upah 120.000 yen, cukup longgar buat mereka untuk melakukan wisata ke luar negeri. Ke Bali, Singapore atau Hawai, hanya 60.000 yen untuk perjalan 4 hari termasuk tiket pesawat dan hotel.

Ke AS, Kanada atau Eropah hanya 80.000 yen – 100.000 yen untuk perjalanan 4 hari – 6 hari.

Akan tetapi pada sisi lain, yendaka telah menindih dan menekan volume penjualan mereka di pasar internasional. Pada tahun 1993 saja, keluhan dunia usaha Jepang sudah memuncak, dan meminta pemerintah Jepang untuk melakukan sesuatu agar nilai yen tidak menembus dibawah 100 yen per 1 US dolar.

Beberapa tahun kemudian, nilau tukar yen sempat menurun, berkisar 120 yen per US dollar, dan membuat dunia industri Jepang sedikit bernafas.

Akan tetapi sejak Obama naik panggung dan melakukan proteksi, nilai tukar yen kembali merangkak naik, dan dunia usaha Jepang menuding AS bermain tidak fair,

Hal inilah yang menggerus pangsa pasar produk Jepang di luar negeri, harga yang mahal. Bukan karena kualitas atau kecanggihan barang

Sebagai referensi dari analisa saya ini, dapat disimak Laporan Ekonomi Perdagangan Jepang, pada tautan berikut http://financeroll.co.id/news/22254/berita-forex-perekonomian-jepang-kontraksi

Kalau Bung Yodhia mengatakan bahwa TOSHIBA akan menutup produksi notebooknya karena kalah kualitas, mari kita jujur melihat pasar notebook di Indonesia saja. Konsumen Indonesia masih sangat menggemari mereka TOSHIBA, akan tetapi banyak yang urung membeli karena masalah harga yang lebih mahal.

Eh!...tapi…. notebook buatan Korea ada nggak ya?

Mari bandingkan pada produk sepeda motor. Buatan Korea merek KYMCO ya? Ada nggak sih di jalanan?

Bandingkan pula pada automotive. Setelah mengeluarkan Lexus, Toyota sudah lama mengeluarkan mobil hybrid yang laris manis di AS, lalu automotive Korea sudah pada level mana? Mungkin Bung Yodhia bisa member gambaran, berapa besar pangsa pasar Daewoo dan Hyundai di AS. Karena di Indonesia kita semua sudah tahu.



B. Pertumbuhan penduduk yang negative serta perubahan perilaku pada generasi muda Jepang, menyebabkan dunia industri Jepang sulit mendapatkan tenaga kerja baru.

Faktor kedua dan memang merupakan hal yang paling dominan menjadi hambatan atau menjadi penyebab ambruknya industri di Jepang adalah masalah supply tenaga kerja, akibat pertumbuhan penduduk di Jepang yang terus menurun (negatif).

Sejak masa pertumbuhan ekonomi Jepang pada tahun 1960-1970-an, masyarakat Jepang sudah berKB, rata rata di setiap rumah, anak hanya 2 orang.

Memasuki era 80-an, seiring dengan bangkitnya ekonomi Jepang, yang membuka peluang lebih besar bagi kaum wanita menjadi wanita karir, membuat semakin banyak wanita Jepang yang ogah menikah dan melahirkan. Bahkan pada saat menikah pun, mulai ada tuntutan dari kaum wanita, tidak akan membuat anak, alias hidup untuk diri sendiri.

Satu hal yang lebih menarik bagi saya akhir akhir ini adalah, mulai muncul keluhan orang tua terhadap anak, yang karena kesibukannya dalam karir, sampai "mengabaikan" orang tua.
Akibatnya sekarang ini ada semacam justifikasi di dalam masyarakat Jepang, buat apa melahirkan anak bila hanya menjadi "anak murtad" yang tidak perduli orang tua?

Situasi ini seakan akan melegalkan pendapat agar tidak membuat anak lagi di Jepang.

Yang lebih menarik lagi, menurut informasi yang saya rangkai dari berbagai sumber, sepertinya mulai ada pemikiran atau pertimbangan bagi pemerintah Jepang, untuk memberikan insentif bagi generasi muda yang mau menikah dan melahirkan anak.

Sebagaimana saya sebut diatas, sejak tahun 80-an itu pula, seiring dengan bangkitnya ekonomi Jepang, industri Jepang sudah mulai terseok seok karena kurangnya tenaga kerja di Jepang, Generasi muda Jepang mulai ogah bekerja pada perusahaan manufaktur yang proses pekerjaannya mengandung 3-K, yaitu Kitanai, Kikekn dan Kitsui. Akibatnya, industri industri yang proses pekerjaannya mengandung 3-K tersebut, mulai limbung dan bahkan mulai ada yang bergelimpangan.

Berbagai upaya telah dilakukan dengan bantuan pemerintah Jepang, mengundang anak anak muda keturunan Jepang dari Brazil dan Peru. Hal ini karena undang undang keimigrasian Jepang mengijinkan hal tersebut. Dari Indonesia pun, bila ada hubungan darah dengan orang Jepang, dapat memperoleh visa masuk Jepang dan bekerja disana.

Ternyata hal itu pun tidak cukup, mereka mulai menampung bahkan tenaga tenaga ilegal dari Asia Tenggara, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Philippina dan Indonesia sendiri.
Namun pada akhirnya, penggunaan tenaga tenaga ilegal dari berbagai Negara mulai dibatasi, karena masalah masalah kriminal yang ditimbulkan oleh tenaga ilegal tersebut.

Dengan gambaran tersebut kita dapat memahami, bahwa masalah yang paling krusial yang dihadapi oleh dunia industri atau dunia HR Management di Jepang adalah kurangnya tenaga kerja domestic, dan inilah yang menjadi faktor dominan yang membuat limbungnya industri Jepang.

Dan saya menduga duga, mungkin gejala inilah yang menginspirasi Dave Ulrich dalam pemikirannya yang terakhir, The Future HR, yang pada prinsipnya mengingatkan masalah pertumbuhan penduduk dalam perencanaan HR.

Sebagai gambaran, pada akhir tahun 1997, dalam satu rangkaian training, saya pernah diajak meninjau 3 lokasi pabrik yang cukup luas dengan puluhan bangunan yang besar besar. Begitu kami masuk ke dalam bangunan pabrik, yang ada hanyalah mesin mesin yang ditutupi plastik, tidak beroperasi dan tidak ada manusia. Saya lalu bertanya "mengapa begini?" Jawabannya adalah "tidak ada lagi orang Jepang yang mau kerja di pabrik seperti ini" Generasi muda Jepang sudah beranggapan bahwa hanya orang orang bodohlah yang mau bekerja di pabrik electronik.

Walau pun Jepang sudah melakukan relokasi pabrik mereka ke luar Jepang, seperti ke Indonesia, Malaysia, Vietnam dan lain lain, namun, mereka tetap saja kesulitan untuk mendapatkan tenaga teknisi muda untuk ditempatkan di Bagian R&D, untuk melakukan proses product development.

Hal ini karena generasi muda Jepang, khususnya yang berlatar belakang IT, lebih memilih membuka usaha sendiri daripada bekerja pada perusahaan. Hal ini dapat kita lihat dari berkembangna industri kreatif di Jepang. Semua dimotori oleh anak anak muda Jepang.

Hasil akhirnya adalah, dunia industri Jepang sebenarnya sudah hopeless untuk melanjutkan usaha industri elektronik, atau industri industri padat karya lainnya. Bilamana pun masih ada yang berlanjut, sebenarnya itu hanya untuk menampung orang orang yang masih bekerja saja.

Maka, kerugian yang dilaporkan oleh Sony, Panasonic dan Sharp, seharusnya dicermati, apakah kerugian tersebut karena business operasional mereka semata atau karena mereka sudah mulai melakukan golden shake hand kepada karyawan yang pensiun dini?

Bayangkan kalau ribuan karyawan, misalnya 3000 orang saja yang pensiun dini dengan menerima uang pensiun sebesar 60 bulan gaji dan gaji rata rata 250.000 yen,, maka dana yang harus digelontorkan untuk itu bisa mencapai 3.000 X 250.000 x 60 = 45 milyar yen, atau setara dengan 5,4 trilyun rupiah. Mungkin itulah kerugian yang dilaporkan. Dan kalau memang demikian, mereka (perusahaan) pasti buru buru mengumumkan dan membayarkannya sebelum jatuh tempo penghitungan dan pembayaran pajak!!!.

Dengan uraian diatas, tentu kita sudah mendapatkan gambaran yang sebenarnya, apa penyebab limbungnya industri elektronik Jepang, yang kemungkinan akan disusul pula oleh industri padat karya lainnya. Dan tentu itu pula yang menyebabkan harga saham mereka anjlok, karena semua berusaha menjual saham yang dimiliki.

Mengenai 3 faktor yang oleh Bung Yodhia dianggap sebagai kesalahan manajemen Jepang, akan saya tanggapi berikut ini (Bersambung ke Bagian 2)

Terakhir Diupdate (Minggu, 09 September 2012 17:03)


6 komentar:

  1. Super sekali Pak Hilman. Saya sendiri sempat forward link dari blog Bung Yodhia ke beberapa teman. Karena rasanya kok relevan dengan kondisi sekarang dimana Toshiba dan Panasonic akan menutup pabriknya disini.
    Saya sendiri bekerja di perusahaan otomotif merk Jepang. 11 tahun saya berkarir disini saya sangat terkagum-kagum dengan bagaimana cara orang Jepang membangun skill para karyawannya. Skill yang disertai dengan nilai-nilai positif. Menurut saya Culture Harmony yang dimiliki oleh Jepang layak dijadikan contoh. Karena itulah salah 1 kunci Jepang bisa sukses.
    Trims atas postingannya Pak Hilman. Jadi pencerahan buat saya.

    BalasHapus
  2. Untuk industri otomotif, Jepang memang masih sangat jagoan. Sejarah juga pernah mencatat bagaimana pabrik-pabrik mobil di Detroit, USA, gulung tikar akibat kehadiran mobil-mobil Jepang.

    Berbeda dengan industri mobil yang relatif lambat dalam hal perkembangan teknologi, industri elektronik begitu cepat berubah. Kecepatan perubahan teknologi elektronik yang didominasi oleh mikroprosesor dan software aplikasi inilah yang membuat industri elektronik di Jepang mengalami kemunduran, mengingat Jepang terlambat masuk ke bidang ini. Jepang masih mengandalkan produk-produk yang perkembangan teknologinya relatif lambat, seperti: Kulkas, AC dan TV yang justru mendapat saingan berat Korea dan China.

    Yang paling mudah dilihat adalah bahwa Jepang tidak memiliki produk smartphone yang menonjol. Padahal di sinilah letak konvergensi teknologi elektronik itu berujung. Smartphone adalah komputer canggih yang bisa digenggam, dan ketika terhubung ke jaringan internet, maka semua data, informasi dan hiburan ada dalam satu genggaman. Tak heran jika inovator dan pendiri Apple, Steve Jobs, pernah mengatakan bahwa dirinya tidak tahu lagi kemana arah teknologi (elektronik) setelah smartphone.

    BalasHapus
  3. Pak dikasih glosariumnyabdong. Saya mahasiswa nih. Kagak ngarti istilah bahasa jepang

    BalasHapus
  4. Tulisan bapak mengajarkan saya untuk jauh jauh lebih kritisi lagi dalam menanggapi suatu hal. Terimakasih banyak.

    BalasHapus
  5. Jatuh enam kali bangkit tujuh kali. Saya rasa jepang tidak akan mudah menyerah begitu saja dalam industri elektroniknya. Meskipun saat ini trrdapat berbagai hal yang membuat industri elektronik Jepang limbung.

    BalasHapus
  6. Good good good....
    Luar biasa pak Simon sbg penulis...memberikan pencerahan dan perspektif yg berimbang...dalam guratan fakta, data simpulan, dan pengetahuan yang memperluas horison kami. Terima kasih.
    Memicu "learning" untuk terus belajar dan tidak puas pada satu jawaban atau satu perspektif saja, menstimuli "listening" sebanyak mungkin narasumber untuk menyelami kedalaman pemahaman dan menyerap esensi. Lalu bagaimana Indonesia di tengah tarikan kedua raksasa ini? Bila harus menjadi raksasa yang ketiga kita akan berjaya dalam hal apa?

    BalasHapus