Rabu, 13 Februari 2013

Yang Paling Berhak Menshalati Jenazah


Inti dari shalat jenazah ialah doa untuk almarhum. Doa yang dipanjatkan oleh kerabat dekat berpotensi terkabul.

Ada tahapan-tahapan pengurusan jenazah dalam Islam. Salah satunya, shalat jenazah.

Terkait hukumnya, para ulama keempat mazhab sepakat bahwa shalat yang tidak disertai rukuk, iktidal, dan sujud atau bangun dari kedua sujud itu hukumnya ialah fardlu kifayah.

Artinya, kewajiban tersebut dianggap terpenuhi bila telah dilaksanakan sejumlah orang.

Karenanya, Rasulullah senantiasa memerintahkan agar tuntunan itu terlaksana dengan baik. Sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah menyebut, Rasul menyerukan para sahabatnya untuk menshalati jenazah.

Ada banyak dimensi keuntungan di balik anjuran shalat jenazah. Shalat ini, seperti tertuang di riwayat yang shahih, ganjarannya sangat besar, sebesar gunung.

Dan, jika disempurnakan dengan mengiringi jenazah tersebut sampai ke liang lahat, pahalanya bertambah, sebesar dua gunung. Lalu, muncul pertanyaan, siapakah yang paling berhak untuk menshalati jenazah?

Ada perbedaan pandangan ulama menyikapi masalah ini. Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan hal itu dalam karyanya yang monumental “Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu”.

Pendapat yang pertama menyatakan bahwa yang dikedepankan melakukan shalat jenazah ialah otoritas pemerintah wilayah tersebut, misal, kepala desa atau yang lebih tinggi.

Ini dengan catatan, bila yang bersangkutan hadir. Jika tidak, seorang hakim agama, baru kemudian, tokoh agama atau imam setempat. Terakhir ialah wali laki-laki. Opsi ini merupakan pendapat yang digunakan oleh Mazhab Hanafi.

Kelompok yang kedua mengatakan, yang diprioritaskan memimpin shalat jenazah ialah tokoh atau pihak yang ditunjuk dalam wasiat almarhum.

Sekalipun, pihak tertunjuk tersebut bukan termasuk wali yang bersangkutan. Alternatif ini banyak dilaksanakan oleh sejumlah sahabat.

Abu Bakar berwasiat agar Umar bin Khatab yang menshalatinya. Sedangkan, Umar dalam wasiatnya menunjuk Shuhaib untuk menshalati jenazah Sang Khalifah tersebut. Aisyah menunjuk Abu Hurairah, dan Ummu Salamah meminta Said bin Zaid.

Jika tak tertulis apa pun soal siapa yang ditunjuk untuk shalat jenazah di wasiat, yang dikedepankan ialah pemimpin atau ororitas daerah tersebut.

Pada level berikutnya, barulah wali dari pihak keluarga yang tersisa. Pendapat kedua ini berlaku di Mazhab Maliki dan Hanbali.

Menurut kelompok ketiga, wali dari pihak keluarga lebih penting dan didahulukan dibanding dengan para pejabat pemerintah, sekalipun almarhum berwasiat dan menunjuk para pejabat tersebut. Ini karena shalat jenazah termasuk hak wali dari internal keluarga.

Wasiat tak serta merta membatalkan hak itu sebagaimana hukum warisan. Lagi pula, inti dari shalat jenazah ialah doa untuk almarhum.

Doa yang dipanjatkan oleh kerabat dekat berpotensi terkabul. Ini lantaran kesedihan hatinya. Pandangan ini adalah opsi yang dipakai di Mazhab Syafii, seperti pendapat Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.


Mereka yang paling berhak menshalati jenazah:

Mazhab Hanafi: Pemerintah, hakim agama, imam, dan wali laki-laki
Mazhab Hanbali dan Maliki: Pihak yang tertunjuk di wasiat, pemimpin atau ororitas pemerintah, dan wali.
Mazhab Syafii: Wali dari pihak keluarga terdekat.


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/01/15/mgm9ik-yang-paling-berhak-menshalati-jenazah-2habis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar