Minggu, 03 Februari 2013

Secercah Cahaya Kehidupan




Kehidupan berawal dari secercah cahaya, yang kemudian diikuti oleh materi-materi yang menjadi sebuah partikel. Partikel menggabungkan diri menjadi sebuah molekul lalu menjadi sebuah masa. Kehidupan semakin nyata disaat ada organiseme autotrof yang mampu menghidupi dirinya sendiri dan bantuan sang surya mengalihwujudkan energi. Mahluk berklorofil menjadi dasar kehidupan untuk organisme-organisme predator. Tumbubuhan adalah mahluk berjasa dala menyediakan oksigen dan makanan agar mahluk heterotrof mendapatkan energi dan tetap hidup.


Keluarlah, nikmati alam ini, maka alam akan mengajarkan sebuah kehidupan. Kehidupan yang sederhana namun kompleks. Di alam ini tidak ada ketimpangan, namun sebuah keseimbangan yang selalu konstan. Ketidakseimbangan hanyalah milik mereka yang tidak mampu untuk menyesuaikan diri, tetapi yang mampu beradaptasi dapat bersinergi dengan alam. Seorang Charles Darwin, mengatakan; seleksi alam tidak menciptakan spesies baru, namun memunculkan varietas-varietas baru yang lebih adptif. Pernyataan Charles Darwin didukung oleh pernyataann Herbet Spencer “survival of the fittest”, siapa yang mampu menyesuaikan diri, dialah yang hidup. Tidak ada pernyataan bahwa hukum alam adalah siapa yang kuat dia yang bertahan hidup.


Tetes air dari celah-celah batuan akibat serapan dari air hujan menciptakan air tanah. Aliran permukaan ditanah yang lincat menciptakan derasnya laju air saat hujan datang. Sungai adalah jalan tol buat sumber kehidupan setelah cahaya. Air menjadi bagian dominan tubuh manusia, sebab 70 persen lebih adalah air. Jernihnya air alam ini, sungguh memberikan rasa berbeda dibandingkan disungai-sungai dibawah sana yang penuh polutan. Enggan kaki ini diangkat dan ingin berlama-lama badan ini terendam dalam air alam. Aku ingin berendam dibawah sana, namun manusia telah merusak semuanya, dan mustahil untuk dikembalikan. Aku rasa, biaralah mereka merasakan apa yang telah meraka perbuat dan aku tidak ingin mereka kesini dengam membasuh tangan cemar mereka.


Kehidupan memang tidak sepenuhnya bergantung pada alam ini. Biarlah tradisi berburu dan meramu ala nenek moyang kami berlalu. Kami sudah belajar bagaimana biar hidup berkelanjutan tanpa mengandalkan alam sepenuhnya. Namun kami tidak bisa lepas dari alam ini, tetapi kami ingin terus bersinergi bersamanya. Dengan dua tenaga kerbau kami mencoba mengolah agar sepetak lahan ini menjadi berkah. kami mencoba dengan arif dan santun bagaimana memperlakukan alam ini, agar tidak ada murka yang ada. Berharap mendapat hasil panen yang melimpah, kami bisa hidup dengan layak, namun kami dibodohi oleh sesama kami. Kami tak ubahnya kerbau yang dicambuk untuk menarik bajak demi rumput hijau. Begitu juga kami, demi lembaran rupiah kami terpaksa merelakan emas hijau kami untuk tengkulak dengan harga miring.


Kerbau telah berlalu dari kuk dilehernya, kini saatnya menikmati jerih payah masa lalu. Hentakan jerami padi, kami hantamkan untuk mendapatkan bulir-bulir padi yang nanti kami pilah menjadi butiran beras. Sumber kehidupan mayoritas penduduk negeri kami tergantung pada bulir-bulir yang telah menguning dan mengeras. Siapa peduli dengan kami, disaat semua asyik bersantap dimeja makan. Mereka mencaci nasi yang keras, tidak pulen, tidak wangi bahkan menamakan jerih payah kami sebagai “raskin”. Apakah mereka tidak melihat jerih payah kedua ternak kami yang hilir mudik dengan garu dan bajak. Apakah mereka tidak menaruh hormat sedikitpun kepada Dewi Sri yang memberi kami hasil panen. Biarlah mereka berkata sesuai porsi mereka dan biarkan kami menyantap hasil panen kami. Sebagai penutup, kami hanya ingin berkata, mengapa sekarang tanam jagung tumbuh gedung, tanam padi tumbuh RSS bersubsdi dan tanam benih cinta tumbuh aborsi…?
Salam

DhaVe

http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/19/secercah-cahaya-kehidupan-356141.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar