Allah dan 'Arsy-Nya berada dalam hati-nurani
tiap makhluk
"Dimanakah sebenarnya Allah berada?". Padahal 'esensi' Zat
Allah, Yang Maha Gaib dan
Maha Suci, memang tersucikan dari segala sesuatu hal, termasuk mustahil bisa
dicapai
atau dijangkau oleh segala alat indera pada tiap makhluk (termasuk para
malaikat-Nya
dan para nabi-Nya), di dunia dan di akhirat. Maka berikut ini diungkap, bahwa
Allah
dan 'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk. Walau hal ini juga
tetap
bukan letak keberadaan Zat Allah, tetapi letak pemahaman tentang Allah.
Daftar isi
· Pendahuluan.
· Kesimpulan.
Pendahuluan
Adanya
berragam keterangan dalam kitab suci Al-Qur'an tentang keberadaan Allah, yang
diungkap di bawah, sedikit-banyak justru telah bisa menimbulkan kebingungan
pada sebagian kalangan umat Islam, khususnya jika ayat-ayatnya yang terkait
dipahami secara 'tekstual-harfiah'. Tetapi jika umat justru telah bisa memahami
'hikmah dan hakekat', yang terkandung 'di balik' teks ayat-ayatnya, maka umat
juga mestinya tidak perlu mengalami kebingungan. Bahkan umat sekaligus bisa
membenarkan ayat-ayat tersebut.
Maka
dalam uraian-uraian di bawah akan diungkap pendapat penulis, bahwa "Allah dan 'Arsy-Nya berada dalam
'hati-nurani' tiap makhluk". Walau hal ini bukan berupa 'letak keberadaan'
Zat Allah, namun hanya berupa 'letak pemahaman' tentang Allah. Juga akan
diungkap, bahwa pendapat tentang keberadaan Allah seperti ini, bahkan justru
telah bisa menghubungkan, mencakup atau mewakili semua ayat tersebut, secara
'sekaligus' (semua ayatnya tetap relatif benar). Selain itu, pendapatnya justru
tetap berdasar atas "ke-Esa-an Allah" (tauhid), karena memang sama
sekali tidak terkait dengan 'esensi' Zat Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Gaib
dan Maha Suci.
Keberadaan
Allah dalam kitab suci Al-Qur'an
Berikut
inipun diungkap ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an, yang menerangkan tentang
keberadaan Allah, seperti: "di atas 'Arsy-Nya" (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5,QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4), "di
langit" (pada QS.67:16),
"Maha Dekat" (pada QS.34:50),
"dekat" (pada QS.2:186),
"lebih dekat daripada urat leher" (pada QS.50:16),
"dekat ke jiwa-ruh-nyawa" (pada QS.56:85) dan
"dimana-mana" (pada QS.57:4, QS.58:7, QS.2:115), beserta
ayat-ayat lainnya yang terkait.
"Sesungguhnya
Rabb-kamu ialah Allah, Yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. …" – (QS.7:54) dan (QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5, QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4).
"Apakah kamu
merasa (aman) terhadap Allah, Yang di langit, bahwa Dia menjungkir-balikkan
bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang," – (QS.67:16).
"…. Sesungguhnya
Dia Maha Mendengar, lagi Maha Dekat." – (QS.34:50).
"Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. …" – (QS.2:186).
"Dan
sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat
lehernya," – (QS.50:16).
"dan Kami lebih
dekat kepadanya (nyawamu), daripada kamu. Tapi kamu tidak melihat," – (QS.56:85).
"…. Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat, apa yang kamu
kerjakan." – (QS.57:4).
"…. Dan tiada
(pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia ada bersama mereka, di manapun mereka berada. …" – (QS.58:7).
"Dan
kepunyaan-Nya-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah
(ada) wajah-Nya. Sesungguhnya, Allah Maha Luas, lagi Maha Mengetahui." – (QS.2:115).
"Dan Dia-lah Yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah 'Arsy-Nya di atas air
(di langit), …" – (QS.11:7).
"Allah, tiada
Ilah Yang disembah, kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai 'Arsy yang besar'." –
(QS.27:26).
"Katakanlah:
'Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh, dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?'.
…" – (QS.23:86-87).
"…. Kursi Allah
(tempat keberadaan Allah) meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya. Dan Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar." – (QS.2:255).
'Esensi' Zat
Allah, tersucikan dari segala sesuatu hal
Perlu
diketahui, bahwa tiap zat pasti memiliki 'esensi' dan/atau 'perbuatan'. Karena
keberadaan suatu zat telah terbukti, jika salah-satu dari keduanya bisa
dibuktikan. Namun 'esensi' Zat Allah, Yang Maha Gaib dan Maha Suci, memang
tersucikan dari segala sesuatu hal, termasuk mustahil bisa dicapai atau
dijangkau oleh segala alat indera 'lahiriah' (mata, telinga, hidung, lidah,
kulit, dsb) dan alat indera 'batiniah' (hati / kalbu), pada tiap makhluk
ciptaan-Nya (bahkan juga termasuk para malaikat-Nya dan para nabi-Nya), di
dunia dan di akhirat. 'Esensi' Zat Allah juga mustahil bisa dicapai atau
dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Maka keberadaan Zat Allah memang
hanya bisa dibuktikan, melalui pengamatan atas hasil segala 'perbuatan' Zat
Allah di alam semesta ("tanda-tanda kekuasaan-Nya").
Hal itu relatif mudah
dipahami, karena segala sesuatu hal di alam semesta, tentunya hanya berupa
hal-hal yang bisa dijangkau oleh segala alat indera lahiriah ataupun batiniah
pada tiap makhluk, secara langsung ataupun tidak (tanpa / dengan alat).
Sedangkan segala sesuatu hal yang bisa dipikirkan oleh tiap makhluk, tentunya
hanya hasil dari segala olahan akalnya, berdasar atas hal-hal yang telah bisa
dijangkau oleh segala alat inderanya (hampir mustahil memikirkan hal-hal yang
justru sama sekali tidak diketahuinya sedikitpun).
Padahal di lain pihak,
"tidak ada sesuatupun di alam semesta, yang setara ataupun serupa dengan
'Zat Allah'". Maka 'esensi' Zat Allah tentunya sama sekali berbeda,
daripada hal-hal yang bisa dijangkau, oleh segala alat indera dan akal-pikiran
pada 'segala' makhluk. Sedangkan hasil dari segala 'perbuatan' Zat Allah di
alam semesta, tentunya hanya berupa hal-hal yang bisa dijangkau, oleh segala
alat indera dan akal-pikiran pada 'segala' makhluk (pasti 'terwujud' melalui
segala sesuatu hal yang terdapat di alam semesta).
Membicarakan
'esensi' Zat Allah, bisa melahirkan kemusyrikan
Sedangkan
segala usaha manusia dalam membicarakan, menguraikan, menjelaskan,
mendefinisikan ataupun mendeskripsikan tentang 'esensi' Zat Allah, Tuhan Yang
Maha Esa dan Pencipta alam semesta yang sebenarnya, justru pasti akan
menghadapi segala dilema atau kegagalan. Terutama hal inipun pasti melahirkan
segala bentuk 'ketidak sempurnaan', dalam pemahaman umat manusia tentang
sifat-sifat Allah, Tuhan Yang Maha Sempurna.
Bahkan paling
parahnya, hal ini justru bisa melahirkan segala bentuk 'kemusyrikan' (menyekutukan
Allah), seperti halnya yang biasanya diketahui terjadi, pada agama-agama yang
'musyrik' (Tuhannya 'tidak sempurna', dan berupa seperti: para malaikat, para
dewa, manusia biasa, patung / berhala, dsb). Dengan diakui ataupun tidak, hal
ini justru biasanya sekaligus pula melahirkan 'banyak' Tuhan (politeisme), yang
masing-masingnya bisa relatif 'sempurna', hanya terbatas dalam hal-hal tertentu
saja. Maka agama-agama seperti itupun perlu 'banyak' Tuhan, agar bisa terbentuk
kesempurnaan ketuhanan yang utuh.
"Maha Suci dan
Maha Tinggi Dia, dari apa yang mereka katakan (sifatkan), dengan ketinggian
yang sebesar-besarnya." – (QS.17:43) dan (QS.21:22,QS.23:91, QS.37:159, QS.43:82).
Tidak ada
keterangan tentang 'esensi' Zat Allah, dalam kitab suci Al-Qur'an
Perlu
diketahui pula, bahwa dalam kitab suci Al-Qur'an justru tidak pernah disebut
tentang 'esensi' Zat Allah, namun hanya disebut tentang segala 'perbuatan' Zat
Allah. Juga serupa halnya dengan seluruh sifat dan nama Allah, tidak ada yang
terkait dengan 'esensi' Zat Allah. Bahkan sifat-sifat-Nya yang seolah-olah
terkait dengan 'esensi' Zat Allah, antara lain: Ada (wujud), Maha Esa, Maha
Gaib (Tersembunyi), Maha Kekal, Maha Awal, Maha Akhir, Maha Hidup, dsb, justru
hanya diperoleh dari mempelajari segala hasil 'perbuatan' Zat Allah di alam
semesta, seperti halnya bagi seluruh sifat-Nya lainnya.
Tentunya untuk
memahami hal di atas, umat Islam memang mestinya mempelajari kitab suci
Al-Qur'an, kitab-kitab Hadits Nabi, ataupun bahkan segala kitab dan risalah dari
para nabi-Nya terdahulu, secara amat hati-hati dan cermat, ayat-per-ayat. Hal
seperti ini amat perlu dilakukan, agar umatpun bisa menjawab, "apakah para
nabi-Nya benar-benar pernah menerangkan, tentang 'esensi' Zat Allah?",
"apakah nabi Musa as benar-benar bisa melihat dan berbicara dengan
Allah?" dan "apakah segala perbuatan Allah di alam semesta (selain
penciptaan paling awalnya), benar-benar dilakukan 'langsung' oleh Allah
sendiri?".
Sedangkan
jawaban penulis atas
semua pertanyaan seperti ini jelas "tidak". Karena segala makhluk
mustahil menjangkau 'segala sesuatu hal' tentang tiap ciptaan-Nya, apalagi
tentang Zat Allah; 'esensi' dan 'perbuatan' Allah justru sama sekali berbeda
daripada segala sesuatu hal pada tiap ciptaan-Nya; Allah bernteraksi dengan
segala makhluk hanya semata dari balik 'hijab-tabir-pembatas' (pasti melalui
perantaraan wahyu dan para utusan-Nya); kalam atau wahyu yang 'sebenarnya'
hanya berupa 'alam semesta' (bentuk wahyu lainnya berupa hasil pemahaman atas
alam semesta); juga segala perbuatan Allah di alam semesta (selain penciptaan
paling awalnya), justru dilaksanakan oleh segala makhluk ciptaan-Nya, berdasar
segala perintah-Nya, secara sadar ataupun tidak.
Baca
pula Sunatullah sebagai wujud
perbuatan Allah, yang perwujudannya memang dilaksanakan oleh segala
makhluk ciptaan-Nya (terutama para malaikat-Nya). Serta jugaWahyu dan kitab-Nya memiliki 4
macam bentuk.
Lalu mungkin timbul
pertanyaan "apakah keterangan tentang Allah, seperti: 'kursi', 'wajah',
'tangan', 'kaki', 'pendengaran', 'penglihatan', dsb, bukan menunjukkan 'esensi'
Zat Allah?". Jawaban ringkasnya, "hal-hal seperti ini hanya
'contoh-perumpamaan simbolik', bukan fakta-kenyataan yang sebenarnya".
Baca pula pada uraian berikut.
Segala hal
'gaib' mestinya selamanya tetap bersifat 'gaib'
Hal
yang relatif sering dilupakan oleh tiap umat Islam, bahwa hal-hal 'gaib'
mestinya tetap ditempatkan sebagai 'gaib' (mestinya mustahil memiliki wujud
'fisik-lahiriah-nyata'), termasuk mustahil bisa dirasakan atau diketahui,
melalui segala alat indera fisik-lahiriah. Hal-hal 'gaib' hanya semata bisa
dirasakan atau diketahui, melalui alat indera batiniah pada zat ruh tiap
makhluk ("hati / kalbu"), ataupun lebih luasnya melalui
akal-pikirannya.
Dengan
sendirinya, pada pemahaman umat atas segala keterangan dalam kitab suci
Al-Qur'an, tentang hal-hal 'gaib', juga mestinya tetap ditempatkan sebagai
'gaib', seperti: 'esensi' dan 'perbuatan' Zat Allah; 'Arsy-Nya; Kitab mulia
(Lauh Mahfuzh); zat ruh; para makhluk gaib; alam akhirat (Surga dan Neraka);
Hari Kiamat; Qadla dan Qadar (Takdir); dsb. Maka segala keterangan seperti itu
mestinya sekaligus tetap tidak dibandingkan atau dipadankan begitu saja, dengan
segala wujud 'fisik-lahiriah-nyata'. Khusus terkait dengan keberadaan Zat
Allah, tentunya mestinya sama sekali tidak bisa ditunjuk 'disini' / 'disitu'.
Di samping itu pula,
bahwa dalam kitab suci Al-Qur'an justru banyak dipakai segala bentuk
"contoh-perumpamaan simbolik". Hal ini dipakai terutama untuk bisa
meringkas, menyederhanakan dan memudahkan segala penjelasan bagi hal-hal gaib
dan batiniah, yang sebenarnya relatif amat rumit dan panjang. Sedangkan hal-hal
gaib dan batiniah memang sama sekali tidak memiliki bandingan atau padanan yang
persis sama, secara fisik-lahiriah-nyata. Segala "contoh-perumpamaan
simbolik" berupa analogi atau pendekatan, agar umat telah bisa merasakan
secara 'tak-langsung', atas segala hal yang sebenarnya dimaksud 'di baliknya',
walau belum benar-benar dipahaminya.
Di
lain pihak, segala "contoh-perumpamaan simbolik" itu, beserta
maknanya secara 'tekstual-harfiah', sama sekali bukan 'kekeliruan', bahkan tiap
umat Islam justru tetap bisa memakainya dalam kehidupan beragamanya. Tetapi
makna seperti inipun memang bukan berupa "makna yang sebenarnya" atau
"makna yang tertinggi" (Al-Hikmah / hikmah dan hakekat
kebenaran-Nya). Serta tiap "contoh-perumpamaan simbolik" itu sendiri
tentunya justru bukan berupa fakta-kenyataan yang sebenarnya.
Akal-pikiran
tiap makhluk, jangkauannya tertinggi
'Esensi'
Zat Allah justru mustahil bisa dicapai atau dijangkau oleh akal-pikiran tiap
makhluk. Sekalipun jangkauan akal-pikiran tiap makhluk justru relatif
'tak-terbatas', serta bisa melampaui jangkauan segala alat inderanya, misalnya
bisa mencapai: dari saat paling awal penciptaan alam semesta, sampai saat
berakhirnya (akhir jaman); dari isi perut Bumi terdalam, sampai di luar batas
tepi alam semesta; dari materi yang terkecil, sampai benda langit yang
terbesar; dari paling benar, sampai paling sesat; kecepatannya bisa melebihi
kecepatan cahaya (bisa berubah amat sangat cepat); dsb.
Bahkan
termasuk pula segala hal yang disebut dalam kitab suci Al-Qur'an, memang
mestinya masih bisa dijangkaunya, karena Nabi memang mustahil menerangkan
segala hal yang berada 'di luar' akal-pikiran manusia. Sedangkan umat-umat di
jaman Nabi, tentunya justru meyakini dan mengikuti ajaran-ajaran Nabi, pasti
karena memang ada mengandung 'kebenaran' di dalamnya (pasti bisa diterima oleh
akal-pikiran mereka). Maka umat Islam mestinya bisa memisahkan atau membedakan,
antara 'amat sangat sulit' terhadap 'tidak bisa' atau 'mustahil' dijangkau oleh
akal-pikiran tiap makhluk.
Dengan kata lainnya,
segala sesuatu hal (nyata & gaib; lahiriah & batiniah; esensi &
perbuatan; zat & non-zat; sedikit & banyak; mudah & rumit; jelas
& kabur; dsb), "selain" tentang 'esensi' Zat Allah, tentunya
justru mestinya masih bisa dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk.
Ringkasnya, batasan akal-pikiran tiap makhluk justru hanya berupa 'esensi' Zat
Allah. Sedangkan segala 'perbuatan' Zat Allah di alam semesta ini (melalui
sunatullah), justru mestinya masih bisa dijangkaunya.
Baca
pula keistimewaan akal-pikiran
manusia, termasuk menurut Imam Al-Ghazali.
Segala
perbuatan-Nya di alam semesta, dalam jangkauan akal-pikiran tiap makhluk
Segala
perbuatan-Nya di alam semesta (melalui sunatullah), memang justru masih bisa
dicapai atau dijangkau oleh akal-pikiran tiap makhluk. Hal ini terutama karena
melalui segala perbuatan-Nya itu, Allah memang hendak menunjukkan kemuliaan,
kekuasaan atau kesempurnaan-Nya kepada segala makhluk ciptaan-Nya, agar bisa
mengenal-Nya, Tuhan Pencipta dirinya dan alam semesta, serta sekaligus pula
agar bisa menyembah-Nya.
Hal
ini juga karena perwujudan atau pelaksanaan sunatullah justru dilakukan 'bukan
langsung' oleh Allah sendiri, tetapi oleh tak-terhitung jumlah makhluk
ciptaan-Nya di alam semesta (terutama para malaikat-Nya), dengan segala macam
tugasnya masing-masing, di dalam melaksanakan segala perintah-Nya, secara sadar
ataupun tidak. Selain itu, tentunya karena perwujudan sunatullah justru bisa
dilihat, dirasakan atau diketahui, melalui segala alat indera lahiriah ataupun
batiniah, pada tiap makhluk.
Baca
pula Sunatullah sebagai wujud perbuatan Allah.
Tiap makhluk bisa
mengenal tindakan atau perbuatan-Nya, dengan cara mengamati segala kejadian
lahiriah dan batiniah di alam semesta, yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi /
berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah). Karena hal seperti
ini memang hanya semata hasil dari perbuatan-Nya, Tuhan Yang Maha Kuasa dan
Maha Kekal. Tetapi persoalan pengenalannya justru terletak pada segala
kejadiannya, yang juga bersifat 'gaib' (tersembunyi / amat tidak jelas kentara).
Pertanyaannya,
"apakah umat Islam juga harus kalah daripada kaum non-Muslim, dalam
memahami hal-hal gaib?". Sir Isaac Newton misalnya, justru telah pula
'bertafakur' di bawah pohon apel, agar bisa menjawab "kenapa apelnya bisa
jatuh ke Bumi?". Apel dan Bumi memang 'nyata', namun penyebab gravitasi
justru 'gaib'. Padahal di lain pihak, dalam kitab suci Al-Qur'an justru telah
amat banyak, luas dan lengkap menerangkan hal-hal gaib. Maka tinggal kemauan
umat Islam, untuk bisa relatif makin memperjelas, melengkapi dan
menyempurnakannya, sesuai dengan kemajuan perkembangan ilmu-pengetahuan.
"Sesungguhnya,
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,", "(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): 'Ya Rabb-kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan neraka'." – (QS.3:190-191).
Alam pikiran
tiap makhluk (alam batiniah ruhnya) = alam akhiratnya
Di
lain pihak, secara umum segala sesuatu hal di alam semesta bisa dibagi menjadi
2 kelompok besar 'alam', yaitu: 'alam dunia' dan 'alam akhirat'. Jika alam
dunia berupa alam fisik-lahiriah, maka alam akhirat berupa alam batiniah ruh
(alam pikiran). Alam dunia dan alam akhirat justru berlangsung secara
bersamaan, walau keduanya memang berada pada aspek yang berbeda (aspek lahiriah
dan aspek batiniah). Hal inipun tentunya jauh berbeda daripada pemahaman umat
Islam pada umumnya, karena kehidupan alam akhirat justru dianggapnya terjadi,
hanya setelah selesainya kehidupan alam dunia (setelah Hari Kiamat).
Padahal
kehidupan alam akhirat bagi tiap makhluk, justru telah dimulai dan berlaku
'kekal' (bersama zat ruhnya), sejak saat awal penciptaan zat ruhnya (saat awal
penciptaan alam semesta), sampai saat "dikehendaki-Nya" lain.
Sedangkan kehidupan alam dunia bagi tiap makhluk nyata (termasuk tiap umat
manusia), dimulai sejak saat zat ruhnya menyatu ke tubuh wadah
fisik-lahiriahnya (ditiupkan-Nya ruh), sampai saat zat ruhnya terpisahkan dari
tubuh wadahnya (dicabut atau diangkat-Nya ruh di Hari Kiamat / saat
kematiannya). Maka kehidupan alam akhirat setelah Hari Kiamat, adalah kehidupan
alam akhirat yang sebenarnya dan murni (tidak lagi 'bercampur-baur' dengan
kehidupan alam dunia).
Baca
pula tahapan umum kejadian manusia dan jagalah hati-pikiran,
tentang kaitan antara alam pikiran, alam batiniah ruh dan alam akhirat pada
tiap makhluk.
"Mereka hanya
mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. Sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai." – (QS.30:7).
'Alam akhirat' juga
biasa disebut 'alam atas' atau 'alam malakut' (alam tempat para malaikat
berada). Di alam pikiran tiap manusia misalnya, tiap saatnya memang pasti
selalu diikuti, diawasi dan dijaga oleh sejumlah para makhluk gaib (para
malaikat, jin, syaitan dan iblis), selama di dunia dan setelah Hari Kiamat,
termasuk di dalam memberi segala bentuk ilham (positif dan negatif). Sedangkan
'alam dunia' juga biasa disebut 'alam bawah'.
Alam pikiran
tiap makhluk = langit yang sebenarnya dan tertinggi
Dengan
adanya pengelompokan 'alam dunia' (alam fisik-lahiriah) dan 'alam akhirat'
(alam batiniah ruh / alam pikiran), maka tentunya ada 'langit lahiriah' dan
'langit batiniah' bagi tiap alamnya. Dimana 'langit lahiriah' terisi oleh
segala partikel-materi-benda di 'alam semesta'. Sedangkan 'langit batiniah'
terisi oleh segala bentuk ilmu-pengetahuan pada tiap makhluk, tentang segala
sesuatu hal yang terkait dengan 'alam semesta'.
Dimana
ilmu-pengetahuan makhluk, antara lain meliputi: Pencipta alam semesta (sifat,
kehendak, perbuatan-Nya, dsb); hakekat dan tujuan penciptaan; segala 'zat' (zat
ruh dan zat materi) dan 'non-zat' (aturan, pengajaran, tuntunan-Nya, dsb);
segala benda mati dan makhluk hidup; segala alam (akhirat, rahim, dunia, kubur,
dsb); dan segala hal lainnya (lahiriah & batiniah, nyata & gaib, fisik
& moril, mutlak & relatif, benar & sesat, obyektif & subyektif,
hakiki & semu, dsb).
Maka 'langit lahiriah'
tentunya justru lebih rendah daripada 'langit batiniah', karena jangkauan
akal-pikiran tiap makhluk bisa melampaui 'batas tepi' alam semesta (termasuk
bisa melampaui batas daya jangkauan teleskop atau alat indera fisik-lahiriah).
Serta 'langit batiniah', adalah langit yang sebenarnya, paling tinggi dan
sempurna, yang terletak di alam pikiran tiap makhluk.
Dengan
begitu, umat Islam mestinya juga bisa membedakan, antara 'langit lahiriah' (di
alam semesta) dan 'langit batiniah' (di alam pikiran tiap makhluk), yang
disebut dalam kitab suci Al-Qur'an. Tentunya 'langit' yang disebut terkait
dengan keberadaan 'Arsy-Nya, justru hanya berupa 'langit batiniah' (bukan
'langit lahiriah'). Serta 'langit batiniah' juga bisa terdiri dari 'tujuh tingkat'
(tingkat kesempurnaan pengetahuan tentang kebenaran-Nya).
Bahkan perjalanan
"'Isra dan Mi'raj" yang dialami oleh nabi Muhammad saw, adalah
perjalanan 'batiniah' saat menembus 'langit batiniah', sampai bisa 'amat dekat'
ke hadapan 'Arsy-Nya. Lebih jelasnya, perjalanan ini berupa pengembaraan
kesadaran Nabi, pada saat sedang bertafakur, sambil dituntun oleh malaikat
Jibril, dalam mencapai berbagai 'hijab-tabir-pembatas' terdekat (tertinggi),
terhadap kebenaran 'mutlak' Allah di alam semesta. Pada saat itu Nabi telah
bisa memperoleh banyak pemahaman Al-Hikmah (wahyu-Nya / hikmah dan hakekat
kebenaran-Nya), yang memang amat tinggi pula nilai kemuliaan dan keagungannya.
Baca pula uraian-uraian di bawah.
Juga bisa mudah
dipahami, jika dalam kitab suci Al-Qur'an disebut, seperti "Surga (di alam
akhirat), seluas alam semesta (langit dan bumi)" dan "'langit
lahiriah' adalah langit yang 'dekat'". Sekali lagi, hal ini karena 'alam
akhirat' pada tiap makhluk (alam batiniah ruh / alam pikirannya), memang
jangkauannya amat sangat luas, bahkan juga bisa melampaui 'batas tepi' alam
semesta ('langit lahiriah'), termasuk bisa menjangkau bertingkat-tingkat
hakekat, 'di balik' segala hal yang teramati di alam semesta. Kesempurnaan
pengetahuan makhluk tentang kebenaran-Nya di alam semesta, memang banyak
tingkatannya (tingkat kedekatan antara kebenaran 'relatif' makhluk dan
kebenaran 'mutlak' Allah).
Lebih spesifiknya
lagi, karena segala kemuliaan dan keagungan yang diperoleh tiap makhluk di
Surga, memang seluas segala keadaan batiniah ruhnya sendiri. Segala keadaan ini
terbentuk dari hasil balasan-Nya, secara adil atau setimpal, atas segala
amal-perbuatan makhluknya, selama hidup di dunia. Saat pemberian balasan-Nya
juga pasti dihitung-Nya, secara amat teliti dan adil, atas segala keadaan
batiniah ruhnya dalam berbuat, misalnya: niat, tingkat kesadaran atau
pengetahuan, tingkat keimanan, tingkat keterpaksaan, beban ujian-Nya, beban
tanggung-jawab, dsb.
Keimanan
(kesempurnaan pemahaman atas kebenaran-Nya) = kedekatan di sisi-Nya
Dalam
artikel/posting terdahulu "Cara proses diturunkan-Nya
wahyu" sekilas telah diungkap, bahwa para nabi-Nya memiliki
segala pemahaman yang relatif amat 'sempurna', tentang kebenaran-Nya di alam
semesta (relatif amat lengkap, mendalam,
konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya),
terutama tentang segala hal yang paling penting, hakiki dan mendasar, dalam
kehidupan seluruh umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Serta merekapun
sekaligus relatif amat 'konsisten' pula mengamalkan segala pemahamannya
tersebut, dalam kehidupannya sehari-harinya (terutama dalam melayani seluruh
umatnya).
"(Al-Qur'an) ini
adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui
bahwasanya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa, dan agar orang-orang yang berakal
mengambil pelajaran." – (QS.14:52) dan (QS.6:115).
"…. Kalau kiranya
Al-Qur`an itu bukan dari sisi-Nya, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya." – (QS.4:82).
"…, dan janganlah
kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur'an, sebelum disempurnakan diwahyukannya
kepadamu, dan katakanlah: 'Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu
pengetahuan'." – (QS.20:114).
"Dan setelah Musa
cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan
pengetahuan. …" – (QS.28:14).
Maka mudah dipahami,
jika para nabi-Nya memiliki 'tingkat keimanan' yang relatif paling tinggi,
dibanding dengan seluruh umat manusia lainnya di tiap jamannya. Hal inipun
karena 'keimanan' meliputi aspek 'pemahaman' (ilmu) dan aspek 'pengamalan'
(amal). Jika pemahaman berupa keimanan 'batiniah', maka pengamalan berupa
keimanan 'lahiriah'.
Tiap
pemahaman tanpa pengamalan, sama halnya suatu bentuk 'kemunafikan' (jika
pemahamannya memang telah benar), ataupun sebaliknya pemahamannya sendiri belum
benar atau belum sempurna (meragukan). Sedangkan tiap pengamalan tanpa
pemahaman, sama halnya suatu bentuk 'taklid' (umat hanya mengikuti begitu saja,
anjuran dari orang lain). Persoalan bisa amat mudah timbul pada tiap 'taklid',
terutama jika pemahaman umat yang keliru atas anjurannya, ataupun sebaliknya
anjurannya ada mengandung kekeliruan. Maka keimanan yang tinggi pasti tetap
diperoleh hanya melalui gabungan sekaligus, antara 'pemahaman' yang sempurna
dan 'pengamalan' yang konsisten.
Terkait dengan tingkat
keimanan para nabi-Nya yang relatif paling tinggi, terutama akibat segala
pemahamannya yang relatif amat 'sempurna' tentang kebenaran-Nya, maka dalam
kitab suci Al-Qur'an, para nabi-Nya juga biasa disebut "amat dekat di
sisi-Nya". Hal inipun karena di sisi-Nya memang terdapat kitab mulia (Lauh
Mahfuzh), sebagai 'simbol' tempat tercatatnya segala kebenaran atau
pengetahuan-Nya di alam semesta.
Bahkan
dalam kitab suci Al-Qur'an justru juga amat sering disebut berdampingan, antara
'iman' dan 'amal'. Sehingga 'keimanan' memang lebih terfokus kepada 'pemahaman'
(ilmu). Hal ini amat mudah dipahami, karena 'ilmu' memang berada di dalam
pikiran tiap makhluk. Sedangkan tubuh wadah fisik-lahiriahnya, justru pasti
hanya tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah pikirannya (berdasar ilmu,
pengetahuan atau kesadarannya). Ringkasnya, 'pengamalan' (amal) pasti timbul
berdasar 'pemahaman' (ilmu). Sehingga juga amat mudah dipahami, jika justru
amat banyak anjuran-Nya dalam kitab suci Al-Qur'an, agar umat Islam menggunakan
akalnya, bagi usaha peningkatan keimanannya. Sebaliknya Allah justru memurkai
umat Islam, yang tidak menggunakan akalnya (pada QS.10:100).
"…, dia
(nabi-Nya) mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami, dan tempat kembali yang
baik." – (QS.38:25) dan (QS.38:40, QS.33:69).
"Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Rabb-nya dan ampunan, serta rejeki (nikmat)
yang mulia." – (QS.8:4) dan (QS.9:20, QS.10:2).
"Dan orang-orang
yang beriman, serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal
(tinggal) di dalamnya." – (QS.2:82) dan (QS.2:62, QS.2:277, QS.3:57, QS.4:57, QS.4:122, QS.4:173, QS.5:9, QS.5:69,QS.5:93, QS.7:42, QS.10:4, QS.10:9, QS.11:23, QS.13:29, QS.14:23, dsb).
"Dan tidak ada
seorangpun akan beriman, kecuali dengan ijin-Nya. Dan Allah menimpakan
kemurkaan, kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." – (QS.10:100).
Segala
kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta
Seperti
halnya segala hal gaib lainnya, tentunya kitab mulia (Lauh Mahfuzh) justru juga
hanya suatu "contoh-perumpamaan simbolik". Selain itu, segala
kebenaran-Nya pada fakta dan kenyataannya memang tersebar dimana-mana di alam
semesta (pada hembusan angin dan awan; turunnya air hujan; sinar Matahari atau
bintang; siang dan malam; pohon yang tumbuh dan berbuah; hembusan napas dan
detak jantung; penciptaan dan kematian makhluk; dan pada tak-terhitung hal
lainnya). Maka segala kebenaran-Nya memang pada hakekatnya 'berada' atau
'tercatat' di alam semesta (bukan di dalam suatu kitab).
"Segala kebenaran
atau pengetahuan-Nya di alam semesta" itu terkadang juga bisa disebut
"ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis", "tanda-tanda kemuliaan dan
kekuasaan-Nya", "wajah-Nya", "sabda, firman, kalam atau
wahyu-Nya yang 'sebenarnya'" dan "Al-Qur'an dan kitab-kitab-Nya
lainnya yang berbentuk 'gaib', yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di
sisi 'Arsy-Nya".
Sedangkan
semua sebutan itu hanya berbeda pada fokus, sudut pandang ataupun konteks
pemakaiannya. Namun semuanya justru merujuk kepada sesuatu hal yang sama,
berupa "segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi /
berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah), pada segala zat
ciptaan-Nya dan segala kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta".
Serta hal seperti ini memang semuanya hanya semata hasil dari tindakan atau
perbuatan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa dan Maha Kekal.
Dalam
'hati-nurani', letak segala pengetahuan tiap makhluk tentang kebenaran-Nya
Lalu
"dimanakah letak segala pengetahuan tiap makhluk tentang
kebenaran-Nya?". Jawaban ringkasnya, "dalam hati-nuraninya".
Lihat
pula pada gambar-gambar berikut.
Perlu diketahui dari
gambar di atas, bahwa pemahaman atas istilah, definisi ataupun fungsi dari tiap
elemen pada zat ruh manusia, bisa berbeda-beda pada tiap umat Islam dan
alim-ulama. Hal inipun terutama karena memang terkait hal-hal yang 'gaib'
(tersembunyi). Maka para pembaca diharapkan, agar bisa lebih cermat dan
fleksibel dalam menelaahnya, terutama dengan lebih menambah kepekaan
batiniahnya, serta juga lebih terfokus kepada fungsi dari tiap elemen ruh
(bukan kepada istilah dan definisinya).
Menurut
pemahaman penulis misalnya,
'hati' dianggap sama dengan 'kalbu', namun berbeda daripada 'hati-nurani'.
'Hati / kalbu' dianggap sebagai 'alat indera batiniah' pada tiap makhluk
(penerima segala informasi dari luar zat ruhnya), terutama menerima segala
informasi dari segala alat indera fisik-lahiriahnya, dan juga menerima segala
ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib (positif dan negatif). Maka segala
informasi batiniah pada 'hati / kalbu', juga dianggap bernilai kebenaran
relatif paling rendah (mentah).
Sedangkan
segala informasi batiniah pada 'hati-nurani', dianggap bernilai kebenaran
relatif paling tinggi (telah diolah oleh akal dan pembentuk keyakinan
makhluknya), bahkan tidak bisa dilangkahi atau berada di luar pengaruh
'godaaan' dari para makhluk gaib. Serta perbedaan antara 'hati / kalbu' dan
'hati-nurani' relatif mudah dipisahkan. Jika isi 'hati / kalbu' terpakai saat
awal makhluknya menghadapi sesuatu hal. Sedangkan isi 'hati-nurani' terpakai
saat berikutnya, setelah makhluknya mulai menilai benar / salahnya sesuatu hal.
Proses
pemahaman tiap makhluk tentang kebenaran-Nya
Segala
informasi yang 'tiap saatnya' telah bisa diketahui, dijangkau, ditangkap atau
dirasakan oleh semua alat indera fisik-lahiriah pada tiap makhluk, lalu pasti
selalu terkirim dan diterima pula oleh alat indera batiniah, pada zat ruhnya
("hati / kalbu"). Sedangkan kepada "hati / kalbu" itu,
justru para makhluk gaib juga 'tiap saatnya' pasti selalu memberi segala bentuk
ilham yang 'positif-benar-baik' (dari para malaikat) dan yang 'negatif-sesat-buruk'
(dari para jin, syaitan atau iblis), sebagai bentuk pengajaran dan ujian-Nya
secara batiniah kepada tiap makhluk lainnya (termasuk tiap umat manusia).
Lalu
segala informasi yang 'murni' dari semua alat indera fisik-lahiriah, dan
beserta segala informasi 'tambahan' dari para makhluk gaib, juga 'tiap saatnya'
pasti selalu diterima oleh "akal"-nya, untuk dipilih, diolah, dinilai
dan diputuskannya, sebagai bahan-bahan bagi penyusunan segala bentuk kebenaran
atau pengetahuan 'relatif' (menurut penilaian 'relatif' tiap makhluknya
sendiri). Tiap kebenaran 'relatif' ini justru pasti tersimpan ke dalam
"hati nurani"-nya, yang membentuk keyakinannya dalam menilai segala
sesuatu halnya. Makin sering "akal"-nya digunakan, tentunya relatif
makin banyak menumpuk segala kebenaran 'relatif' dalam "hati
nurani"-nya. Segala kebenaran 'relatif' makin sempurna (keyakinannya makin
kokoh-kuat dan sulit terbantahkan), jika "akal"-nya telah digunakan
secara relatif makin obyektif, cermat dan mendalam.
Pada
saat paling awal penciptaan zat ruh bagi tiap makhluk, telah ditanamkan-Nya
segala "keadaan, sifat atau fitrah dasar", yang suci-murni dan bersih
dari dosa, sekaligus di dalamnya terdapat segala kebenaran atau tuntunan-Nya
yang "paling dasar", dalam hati nuraninya. Termasuk suatu
tuntunan-Nya, agar tiap makhluk bisa mencari dan mengenal Allah, Tuhan Yang
Maha Esa dan Yang sebenarnya telah menciptakan dirinya dan seluruh alam
semesta. Hal ini disebut dalam kitab suci Al-Qur'an, sebagai suatu bentuk
'kesaksian' dari tiap jiwa makhluk, tentang Allah, Tuhan Penciptanya
(pada QS.7:172)
Lalu
setelah saat penciptaan paling awal itu, segala kandungan isi hati nurani pada
tiap makhluk, justru hanya terbentuk dari hasil olahan akalnya. Pada manusia
misalnya, hal inipun terutama terbentuk sejak mulai melewati usia
akil-baliqnya. Di lain pihak, justru tiap kandungan isi hati nurani juga bisa
dipakai kembali oleh akalnya, dalam menilai segala sesuatu halnya,
'selanjutnya'. Maka amat mudah dipahami, jika dalam kitab suci Al-Qur'an amat
banyak anjuran-Nya, agar umat Islam menggunakan akalnya. Serta sebaliknya Allah
justru memurkai umat Islam, yang tidak menggunakan akalnya (pada QS.10:100).
Karena
penggunaan akal memang relatif makin menyempurnakan segala kandungan isi hati
nurani (makin memahami tiap kebenaran-Nya / makin mengenal Allah / makin
beriman).
Namun jika tiap umat
manusia justru telah relatif banyak berbuat amal-keburukan (cenderung mudah
terpengaruh oleh informasi dari syaitan dan iblis), tentunya kandungan isi hati
nuraninya juga mudah terkotori oleh segala pengetahuan yang
negatif-sesat-buruk, sekalipun akalnya memang amat cerdas. Hal inipun tentunya
karena segala informasi yang terolah oleh akalnya, justru relatif banyak yang
jauh dari kebenaran-Nya (bersifat 'mutlak' dan 'kekal'). Juga kecerdasannya
cenderung tidak digunakan sebagaimana mestinya, untuk mencari kebenaran, tetapi
justru untuk mengabaikan, menyembunyikan atau merekayasa kebenaran, sekecil,
sesederhana atau sehalus apapun bentuknya ("sebesar biji zarrah").
Kesempurnaan
pemahaman para nabi-Nya tentang kebenaran-Nya
Seseorang
yang telah bisa memiliki segala pemahaman yang relatif amat 'sempurna' tentang
kebenaran-Nya (relatif amat lengkap, mendalam,
konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya),
sehingga bisa menjawab hampir seluruh persoalan kehidupan umat kaumnya ataupun
seluruh umat manusia, yang paling penting, hakiki dan mendasar, yang justru
telah menjadikannya disebut "nabi-Nya", dan tiap pemahamannya juga
disebut "wahyu-Nya". Hal ini tentunya relatif mudah dipahami, karena
tiap nabi-Nya memang relatif paling memahami kehendak Allah, Tuhan Pencipta
alam semesta, dari hasil segala usahanya yang relatif amat keras dalam
mempelajari "tanda-tanda kekuasaan-Nya" di alam semesta
("ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis").
Namun
juga relatif mudah dipahami, bahwa 'kenabian' justru telah berakhir secara 'alamiah', pada nabi
Muhammad saw. Karena tiap manusia memang memiliki keterbatasan
kapasitas dalam memahami seluruh persoalan kehidupan umat manusia, yang pasti
makin berkembang, serta juga memiliki keterbatasan waktu dan kemampuannya dalam
melayani seluruh umatnya, yang makin banyak jumlahnya. Sedangkan di jaman
dahulu (kehidupan umat relatif sederhana), hal-hal seperti ini masih bisa
diatasi hanya oleh seorang nabi-Nya.
Segala
kebenaran atau pengetahuan pada tiap manusia (bahkan termasuk pada tiap
nabi-Nya), memang pasti bersifat 'relatif' (tidak mutlak benar), 'fana' (hanya
benar dalam keadaan tertentu) dan 'terbatas' (tidak mengetahui segala sesuatu
hal). Namun kebenaran atau pengetahuan 'relatif' manusia juga bisa makin
'sesuai atau mendekati' kebenaran atau pengetahuan 'mutlak' Allah, jika telah
diperoleh secara relatif amat 'obyektif' dan telah bisa tersusun secara relatif
amat 'sempurna' (relatif amat lengkap, mendalam,
konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya),
seperti halnya segala pengetahuan pada tiap nabi-Nya. Maka pengetahuan seperti
ini relatif amat sulit bisa terbantahkan.
Tiap
pengetahuan pada para nabi-Nya (wahyu-Nya), yang telah tersimpan di dalam
dada-hati-pikirannya, memiliki segala dalil-alasan-hujjah dan penjelasan, yang
relatif amat kokoh-kuat dan lengkap (sulit terbantahkan). Bentuk pengetahuan
seperti ini telah biasa disebut "Al-Hikmah", sebagai bentuk
pengetahuan yang tertinggi yang bisa dijangkau oleh umat manusia tentang suatu
kebenaran-Nya. Juga seperti disebut di atas, tiap wahyu-Nya tersusun sebagai
"satu-kesatuan" yang utuh (saling terkait), bersama seluruh wahyu-Nya
lainnya pada tiap nabi-Nya. Tidak ada suatu wahyu-Nya yang berdiri sendiri dan
terpisah.
'Hijab-tabir-pembatas'
antara Allah dan tiap makhluk
Maka
tiap wahyu-Nya ataupun Al-Hikmah, adalah tingkat perbedaan terkecil (jarak
terdekat / 'hijab-tabir-pembatas' tertinggi), antara pengetahuan 'relatif'
manusia terhadap pengetahuan 'mutlak' Allah. Hakekat wujud dari suatu 'hijab-tabir-pembatas'
antara Allah dan tiap manusia, adalah tiap "tingkat kesempurnaan
pengetahuan" manusianya, tentang 'sesuatu hal'. Tentunya
'hijab-tabir-pembatas' itu amat banyak, baik jumlah (jumlah segala
pengetahuan), maupun tingkatannya (tingkat kesempurnaan tiap pengetahuannya).
Dari
kesempurnaan seluruh pengetahuan pada tiap nabi-Nya (seluruh wahyu-Nya),
tentunya iapun telah bisa mencapai berbagai 'hijab-tabir-pembatas' tertinggi
(baik jumlah maupun tingkatannya). Sedangkan kesempurnaan pengetahuan pada tiap
umat manusia biasa lainnya, relatif masih 'amat jauh' daripada para nabi-Nya,
terutama tentang segala hal yang paling penting, hakiki dan mendasar, dalam
kehidupan seluruh umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Serta umat manusia
biasa hanya bisa memperoleh 'Al-Hikmah', tetapi bukan 'wahyu-Nya' (seluruh
'Al-Hikmah' yang tersusun relatif amat sempurna).
Sekali lagi, hal ini
telah menjadikan para nabi-Nya bisa "amat dekat di sisi-Nya" (di
hadapan 'Arsy-Nya). Dengan kata lainnya, tiap pengetahuan 'relatif' milik para
nabi-Nya (tiap wahyu-Nya), justru telah bisa "amat dekat" dengan
pengetahuan 'mutlak' milik Allah, di alam semesta. Namun para nabi-Nya justru
mustahil bisa 'meraih' atau 'menyentuh' ke 'Arsy-Nya, karena seluruh
pengetahuan mereka memang pasti tetap bersifat 'relatif', 'fana' dan
'terbatas'. Hal yang serupa tentunya terjadi pula pada segala makhluk lainnya
(bahkan termasuk para malaikat utusan-Nya), dengan segala tingkat kedekatannya
di sisi-Nya.
Allah dan
'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk
Dari
uraian-uraian di atas telah bisa disimpulkan, bahwa Allah, 'Arsy-Nya dan kitab
mulia (Lauh Mahfuzh) memang berada dalam "hati-nurani" tiap makhluk.
Hal ini tentunya sama sekali bukan letak keberadaan yang sebenarnya bagi 'Zat'
Allah, namun hanya letak pemahaman atau pengetahuan tentang Allah (tentang
kebenaran-Nya). Bahkan 'Arsy-Nya tentunya juga bukan 'kursi / tahta' yang
sebenarnya bagi 'Zat' Allah. Dan kitab mulia (Lauh mahfuzh) tentunya juga bukan
tempat yang sebenarnya bagi tercatatnya segala kebenaran atau pengetahuan-Nya
di alam semesta, yang meliputi seperti: sifat, kehendak, keredhaan, tindakan /
perbuatan, hukum / aturan / ketentuan / ketetapan, qadla dan qadar (takdir),
kitab-kitab-Nya, dsb, yang selain tentang 'esensi' Zat Allah.
Serta
suatu pendapat tentang "keberadaan Allah, 'Arsy-Nya dan kitab mulia (Lauh
Mahfuzh) dalam 'hati-nurani' tiap makhluk", yang justru relatif paling
sempurna dan tepat, karena justru bisa mencakup atau mewakili semua 'dalil
naqli' dalam kitab suci Al-Qur'an, secara 'sekaligus', seperti: "di atas
'Arsy-Nya" (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5,QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4), "di
langit" (pada QS.67:16),
"Maha Dekat" (pada QS.34:50),
"dekat" (pada QS.2:186),
"lebih dekat daripada urat leher" (pada QS.50:16),
"dekat ke jiwa-ruh-nyawa" (pada QS.56:85) dan
"dimana-mana" (pada QS.57:4, QS.58:7, QS.2:115). Baca pula
penjelasan lebih lengkap di bawah, tentang keberadaan Allah dalam kitab suci
Al-Qur'an, jika dihubungkan dengan "keberadaan Allah dalam 'hati-nurani'
tiap makhluk".
Di samping itu pula,
pendapatnya justru tetap berdasar "ke-Esa-an Allah" (tauhid). Dimana
semua manusia, dari jaman ke jaman, yang telah 'amat sempurna' bisa memahami
'suatu' kebenaran-Nya, maka pemahamannya masing-masing atas kebenaran itu,
dalam 'hati-nurani'-nya, justru pasti 'sama' ('satu'). Hal ini karena segala
kebenaran-Nya di alam semesta memang bersifat 'mutlak', 'kekal' dan
'universal', walau juga bersifat 'gaib'.
Contoh
sederhananya, tauhid seluruh para nabi-Nya, dari jaman ke jaman, justru 'sama',
seperti "Tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa". Hal ini
berdasar segala hasil usaha mereka yang maksimal, dalam mengenal Allah, Tuhan
Pencipta alam semesta. Tentunya tauhid ini juga sekaligus berupa nilai yang
bersifat 'universal' (tidak tergantung konteks ruang, waktu dan budaya). Serta
sebaliknya, segala pemahaman atas keberadaan tuhan-tuhan selain Allah, justru
'bukan' hasil usaha yang maksimal dan bersifat 'universal'.
Di
lain pihak telah diuraikan di atas, bahwa "'Arsy-Nya, yang amat mulia,
agung dan besar, berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk". Hal ini karena
kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah memang terkait dengan nilai-nilai
kebenaran-Nya, yang tersimpan dalam 'hati-nurani' tiap makhluk (terutama para
malaikat Jibril dan para nabi-Nya, yang justru telah diyakini relatif paling
memahami tiap kebenaran-Nya). Bahkan para malaikat Jibril disebut khusus dalam
kitab suci Al-Qur'an, seperti “akalnya amat cerdas” (pada QS.53:6).
Tetapi
tiap umat manusia biasa lainnya yang telah relatif sempurna memahami tiap
kebenaran-Nya, tentunya juga bisa merasakan tiap kemuliaan, keagungan dan
kebesaran Allah dalam 'hati-nurani'-nya, setelah bisa berhasil menggunakan
'akal'-nya dengan 'benar' (amat obyektif, cermat dan mendalam). Serta sumber
yang paling aman, mudah, lengkap dan sempurna, bagi seluruh umat manusia, dalam
berusaha mempelajari atau memahami segala kebenaran-Nya di alam semesta
("ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis"), adalah "kitab suci
Al-Qur'an", tentunya sebagai "ayat-ayat-Nya yang tertulis", yang
terakhir.
Penjelasan
tentang keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur'an
Telah diungkap di
atas, bahwa keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur'an, disebut seperti:
"di atas 'Arsy-Nya", "di langit", "Maha Dekat",
"dekat", "lebih dekat daripada urat leher", "dekat ke
jiwa-ruh-nyawa" dan "dimana-mana". Lalu mungkin timbul pertanyaan,
"bagaimana hubungan antara berbagai keberadaan Allah tersebut, dan
keberadaan Allah dalam 'hati-nurani' tiap makhluk?".
Maka pada tabel
berikut diungkap pula penjelasan dan sekaligus hubungannya masing-masing,
secara ringkas.
a. Allah bersemayam "di
atas 'Arsy-Nya" (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5,QS.25:59, QS.32:4 dan QS.57:4)
Ayat-ayat
ini jumlahnya paling banyak dan hanya menyebutkan "Allah bersemayam di
atas 'Arsy-Nya", serta justru tidak menyebutkan "di
langit".
Namun "'Arsy-Nya" dikaitkan atau disamakan secara tak-langsung dengan "langit", oleh sebagian dari umat Islam, karena ayat QS.11:7 menyebutkan "'Arsy-Nya berada di atas air". Lalu "air" yang dimaksud, dianggap sebagai "air laut", serta "langit", yang dianggap berada di atasnya. Di samping itu, juga karena ayat QS.67:16 menyebutkan "Allah berada di langit". Dan tentunya Allah juga terkadang dianggap berada "di atas".
Walau
begitu, pendapat yang menyebutkan "Allah berada 'di langit' ataupun 'di
atas'", justru kurang sempurna atau tepat. Karena tiap makhluk bisa
menunjuk 'langit' dan 'atas'-nya masing-masing. Juga 'atas' bagi suatu
makhluk, justru bisa menjadi 'bawah' bagi makhluk lainnya. Maka pemahaman
bagi 'langit' dan 'atas', lebih tepat dianggap sebagai kemuliaan, keagungan
dan kebesaran Allah, Yang Maha Tinggi (tak-terbatas). Apalagi 'Arsy-Nya
memang amat mulia, agung dan besar.
Bahkan
'langit' yang sebenarnya, tertinggi dan sempurna berupa 'langit batiniah',
yang berada di alam pikiran tiap makhluk, bukan 'langit lahiriah' (langit
yang biasa dikenal).
Di
lain pihak telah diuraikan di atas, bahwa 'Arsy-Nya berada dalam
'hati-nurani' tiap makhluk. Karena kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah,
memang terkait dengan nilai-nilai kebenaran-Nya yang tersimpan dalam
'hati-nurani' tiap makhluk (terutama para malaikat Jibril dan para nabi-Nya),
yang telah amat sempurna memahaminya. Sehingga iapun bisa mendapat derajat
atau kedudukan yang tinggi di sisi 'Arsy-Nya.
b. Allah berada "di
langit" (pada QS.67:16)
Hanya
ayat ini yang langsung menyebutkan "Allah berada di langit".
Hal
ini serupa dengan penjelasan pada poin a di atas.
Namun sekali lagi, segala pendapat yang menyebutkan "Allah berada 'di langit', justru kurang sempurna atau tepat. Lebih tepat dianggap sebagai kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah, Yang Maha Tinggi (tak-terbatas).
c. Allah "Maha Dekat"
(pada QS.34:50)
Ayat
ini terkait dengan sifat Allah, Yang "Maha Dekat". Tentunya sifat
inipun hanya berupa sifat 'perbuatan' Zat Allah, dan bukan sifat 'esensi' Zat
Allah. 'Esensi' Zat Allah bahkan mustahil bisa dijangkau oleh para malaikat
dan para nabi-Nya sekalipun.
Segala
perbuatan-Nya di alam semesta (melalui sunatullah), justru bagian yang paling
penting dari kebenaran atau pengetahuan-Nya.
Dimana segala perbuatan-Nya secara lahiriah (melalui sunatullah lahiriah), terwujud atau terlaksana oleh para malaikat, yang menempati tiap partikel-materi-benda. Sedangkan segala perbuatan-Nya secara batiniah (melalui sunatullah batiniah), terwujud atau terlaksana oleh aejumlah para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang menempati alam pikiran tiap makhluk lainnya (termasuk tiap manusia).
Tentunya
sifat "Maha Dekat" justru lebih terkait dengan segala perbuatan-Nya
secara batiniah (bukan secara lahiriah). Karena alam batiniah ruh atau alam
pikiran tiap makhluk, memang berada dalam 'diri' makhluknya (dalam
jiwa-ruh-nyawanya).
Di
lain pihak, 'hati-nurani' tiap makhluk memang salah-satu elemen dari zat ruhnya. Serta segala
informasi batiniah pada "hati-nurani", justru bernilai kebenaran
relatif paling tinggi (pembentuk keyakinan batiniahnya), dibanding pada
elemen-elemen lainnya. Juga tingkat kebenaran tiap kandungan isi
'hati-nurani' justru menunjukkan tingkat kedekatan antara pengetahuan
'relatif' makhluknya dan pengetahuan 'mutlak' Allah (tingkat kedekatan antara
makhluknya dan Allah / tingkat keyakinannya).
d. Allah "dekat"
dengan tiap manusia (pada QS.2:186)
Ayat
ini terkait dengan 'kedekatan' Allah dengan tiap makhluk (termasuk manusia).
Hal
ini serupa dengan penjelasan pada poin c di atas.
e. Allah "lebih dekat
daripada urat leher" tiap manusia (pada QS.50:16)
Ayat
ini terkait dengan 'pengetahuan' Allah, Yang juga meliputi segala bisikan isi
hati tiap makhluk nyata (termasuk manusia). Sedangkan hati makhluknya memang
'lebih dekat' daripada urat lehernya (anak tekaknya). Lebih jelasnya, ucapan
tiap makhluk melalui urat lehernya, memang timbul atau terwujud berdasar isi
hatinya.
Hal
ini serupa dengan penjelasan pada poin c dan d di atas.
Namun penyebutan "hati / kalbu" juga kurang tepat (lebih tepat justru "hati-nurani"). Karena menurut pemahaman penulis, segala informasi batiniah pada "hati / kalbu", bernilai kebenaran relatif paling rendah. Dimana "hati / kalbu" dianggap sebagai "alat indera batiniah" pada tiap makhluk (penerima segala informasi dari luar zat ruhnya), terutama menerima segala informasi dari segala alat indera fisik-lahiriahnya, dan juga menerima segala ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib (positif dan negatif).
Di
lain pihak, segala informasi batiniah pada "hati-nurani", bernilai
kebenaran relatif paling tinggi (telah diolah oleh akal dan pembentuk
keyakinan makhluknya), serta tidak bisa dilangkahi atau berada di luar
pengaruh 'godaaan' dari para makhluk gaib.
Perbedaan
antara "hati / kalbu" dan "hati-nurani" relatif mudah
dipisahkan. Jika isi "hati / kalbu" terpakai saat awal makhluknya
menghadapi sesuatu hal. Sedangkan isi "hati-nurani" terpakai saat
berikutnya, setelah makhluknya mulai menilai benar atau salahnya sesuatu hal.
f. Allah "dekat ke
jiwa-ruh-nyawa" tiap manusia (pada QS.56:85)
Ayat
ini terkait dengan 'kedekatan' Allah dengan 'jiwa-ruh-nyawa' pada tiap
makhluk nyata (termasuk manusia), daripada dengan tubuh wadah
fisik-lahiriahya.
Apalagi hakekat dari tiap makhluk memang berada pada 'zat ruhnya', dan bukan pada tubuh wadah fisik-lahiriahya.
Hal
ini serupa dengan penjelasan pada poin c s/d e di atas.
Ayat QS.57:4 terkait
dengan 'keberadaan' Allah, dimanapun tempat tiap makhluk berada (termasuk
manusia). Ayat QS.58:7 terkait
dengan 'pengetahuan' Allah, Yang juga meliputi segala isi pembicaraan tiap
makhluk (termasuk manusia), dimanapun tempat pembicaraannya. Serta ayat QS.2:115 terkait
dengan "wajah-Nya", yang berada dimana-mana di alam semesta
("tanda-tanda kekuasaan-Nya").
Hal
ini serupa dengan penjelasan pada poin c s/d f di atas.
Hakekat dari tiap makhluk memang berada pada zat ruhnya. Maka dimanapun tiap makhluk berada, tentunya di situ pula zat ruhnya pasti berada, ataupun sebaliknya.
Segala
sikap, perkataan dan perbuatan dari tiap makhluk memang dikendalikan oleh
ruhnya. Maka para malaikat Rakid dan 'Atid yang memang diutus-Nya, dan memang
berinteraksi dengan 'hati / kalbu' pada zat ruh makhluknya, tentunya juga
pasti bisa mengetahui segala isi pembicaraannya, dimanapun dilakukannya.
Serta
perwujudan segala perbuatan-Nya di alam semesta (melalui sunatullah), justru
dilakukan oleh tak-terhitung jumlah makhluk ciptaan-Nya di alam semesta
(terutama para malaikat-Nya). Maka "wajah-Nya" ("tanda-tanda
kekuasaan-Nya"), tentunya memang berada dimana-mana di alam semesta,
tempat segala ruh makhluk berada.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar