Rabu, 05 Agustus 2009

AS Miliki Ikatan Tua dengan Islam




Bila mendengar berita dan hujatan di tahun-tahun terkahir, orang cenderung menganggap hubungan antara Abang Sam dengan Dunia Muslim adalah buruk permanen. Kekerasan dan polemik membakar akibat serangan teroris 11 September dan perang di Irak dan Afghanistan memang membuat sulit untuk berpikir sebaliknya.

Padahal, jika mau melihat panduan sejarah intelektual, dulu, ada masa di mana tidak ada bangsa Barat yang begitu positif terlibat dengan peradaban Islam seperti yang dilakukan Amerika Serikat (AS).

Beberapa contoh berikut memperjernih sejarah hubungan antara AS dan Islam. Sebuah negara Islam, Kerajaan Maroko, adalah yang pertama mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Amerika Serikat, demikian pula yang disampaikan oleh Presiden Obama dalam pidato di Kairo. Kemudian pada 1778, George Washington dan Sultan Mohmmmed III dari Maroko meneken perjanjian persahabatan untuk melindungi semua alat angkut membawa "Bendera Amerika" dari pencoleng.

Menilai dari puisi, drama, dan novel-novel yang ditulis pada awal tahun republik Amerika terbentuk, pertemuan pertama dengan sebuah bangsa bermayoritas Muslim itu menjadi landasan bagi Amerika untuk mulai secara bertahap melakukan dialog rutin dengan Muslim dan Arab.

'Algerine Captive' karya Royall Tyler, dianggap sebagai novel tertua kedua di Amerika, adalah satu contoh utama. Ditulis pada 1779, Algerine Captive bertutur tentang seorang dokter yang ditangkap oleh pencoleng Muslim Barbar, lalu dijual ke perbudakan di Aljeria. Karakter utama, Dr. Updike Underhill, menghabiskan beberapa tahun dalam penangkapan sebelum memperoleh kebebasan dan kembali pulang ke Amerika.

Selang dua abad tidak pernah dicetak, tiba-tiba novel kembali dibangkitkan, sayang dengan ironi. Ia dicetak ulang pada 2002 untuk memberi latar belakang sejarah tragedi 11 September. Menanggapi, itu seorang kritikus menulis di sampul buku, bahwa novel menggambarkan benturan budaya dan diplomatik tanah basah, tidak mirip yang ada antara AS dan bangsa-bangsa Muslim saat ini.

Benar, ketegangan atmosfer novel mengusung komparasi dua budaya, cocok bila seseorang hendak membandingkan kriminal abad ke-18 dengan terorisme modern. Namun, bila dilihat lebih seksama, novel menyajikan referensi sebagai penolakan, bukan dukungan terhadap retorika benturan-peradaban. Dramatisasi naratif terhadap konflik politik dengan Islam, hanyalah untuk mengimajinasikan cara mengatasi masalah.

Royall mengubah kisah penangkapan karakter utama menjadi perjalanan dan pencarian ilmu pengetahuan mendebarkan. Bermacam dialog awal tokoh protagonis novel tentang obrolan bertopik perbudakan Amerika, peralihan agama, praduga dan paradigma buruk dengan imam, penangkap dan warga Algeria, memunculkan semangat besar mengungkap budaya Islam. Tokoh utama pun mempromosikan keyakinan Kristiani yang ia peluk.

Royal Tyler telah membuka jalan kepada lebih banyak penulis tersohor lain,--pionir di Renaisans Amerika--untuk melebarkan pengetahuan peradaban mereka terhadap budaya Islam. Washington Irving, menulis sebuah buku tentang Rasul Muhammad. Edgar Allan Poe mengukir cerita menggoda tentang Arabian Night.

Lalu ada Herman Melville, yang menjatuhkan perhatian luar biasa pada teks-teks Arab di dalam karya klasik Moby-Dick. Dalam dongengnya ia memiliki karakter utama termasuk Ishmael dan sang teman, Queequeg, yang berpuasa saat Ramadhan serta Fedallah orang Persia.

Pada 1850, Arabian Night menjadi begitu populer di dunia imajinasi Amerika, sehingga Harriet Beecher Stowe, figur utama lain di babak pencerahan Amerika, lewat kotbahnya berhasil memaksa para orang tua di AS mendongengkan cerita seribu satu malam Syahrazade, kepada anak-anak, untuk menanam nilai estetika dan penghormatan terhadap perbedaan sejak dini.

Mengacu pada Al Qur'an, hadis dan perilaku Rasul Muhammad dan sahabat adalah praktik umum di kalangan Pendiri negara, penulis, penyair, mulai Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson hingga Ralph Waldo Emerson dan Walt Whitman. Emerson, bapak transendentalisme Amerika, menggambarkan Al Qur'an sebagai kerajaan kehendak dan kemauan.

Ia mendorong pembaca Amerika untuk melihat nabi "Mahomet", Ali, dan Umar sebagai model inspirasi keseimbangan kuat yang dibekali "suara pikiran di dalam suara tubuh". Meski transendentalisme dipasarkan dalam label budaya Amerika, Emerson mengakui jika itu adalah produk Timur, filosofi Sufi, asli dari puisi-puisi Persia yang ia baca dan ia alih bahasakan.

Hubungan itu kini mulai masuk babak baru. Untuk memahami bahwa tradisi masa lalu Amerika jauh lebih toleran terhadap perbedaan ketimbang yang cenderung dipikirkan saat ini, seharusnya mampu mengantarkan dialog, ada beda antara teroris yang beraksi atas nama islam dan ideologi konservatif yang menunggu dengan tangan terbuka. Sebagian besar sejarah membuktikan, hubungan AS dan dunia Muslim penuh perdamaian. (philadelphia inquirer/itz)



By Republika Newsroom
Rabu, 05 Agustus 2009 pukul 18:24:00
http://www.republika.co.id/berita/67267/AS_Miliki_Ikatan_Tua_dengan_Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar