Rabu, 05 Agustus 2009

KUANTUM BIROKRASI

(Konsep & Strategi Dalam Membanguan Profeionalitas Aparatur Pemerintah)


PENDAHULUAN

Bergulirnya reformasi di negara ini telah membawa perubahan besar dalam segala dimensi kehidupan bangsa. Seiring dengan pertumbuhan iptek yang diikuti dengan tuntutan peningkatan kesejahteraan umum, telah mengungkit kesadaran untuk menghadirkan berbagai tuntutan yang semakin tinggi akan peran organisasi, terutama organisasi pemerintah yang diharapkan akan lebih meningkatkan lagi kualitas pelayanan yang diberikan pada masyarakat. Organisasi birokrasi dituntut untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang benar-benar bermanfaat untuk memuaskan pengguna atau kesejahteraan umum, dan juga sebagai tempat aparat birokrasi tersebut untuk tumbuh dan berkiprah sesuai kodrat dan jati dirinya yang hakiki.

Pengalaman sejarah membuktikan bahwa hal tersebut diatas sangatlah sulit diwujudkan, terutama dalam kaitannya yang lebih jauh lagi yaitu profesionalisme birokrasi yang diharapkan dengan hal tersebut dapat memberikan kualitas pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat.

Perdebatan mengenai pemerintahan yang baik dalam hal ini pemerintahan yang efisien, efektif, tanggap dan akuntabel sebenarnya telah lama berkembang. Ini ditandai dengan munculnya pandangan tentang kemungkinan untuk mengembangkan Good Governance dan Refresentatif Government sebagai salah satu cara untuk mewujudkan pemerintahan sebagaimana yang diinginkan. Asumsi untuk mengembangkan Good Governance dan Refresentatif Government adalah pemerintah akan lebih sensitif dan aspiratif terhadap kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya. Pandangan ini didasarkan pada tindakan dan kebijakan aparat birokrasi sangat dipengaruhi oleh ciri-ciri individunya, seperti ras, gender, agama dan sebagainya, oleh karenanya pemerintahan yang baik hendaknya mewakili ciri-ciri dan variabilitas yang ada dalam masyarakat sehingga aparat tersebut bias lebih tanggap dan aspiratif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya.

Good Governance kemudian didengungkan dan menjadi issue utama yang berkembang terutama dengan kaitannya dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Ini sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi, sehingga pola-pola lama penyelenggaraan pemerintah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah. Good Governance mensyaratkan hubungan yang harmonis antara negara (state), masyarakat sipil (civil society) dan pasar (market). Dalam hubungan ini, maka posisi birokrasi memegang peranan yang strategis sehingga kualitas aparatnya merupakan syarat yang utama untuk mewujudkan hal tersebut.

QUANTUM BIROKRASI


Secara terminologi istilah quantum bersumber dari ilmu fisika. Kemudian, istilah quantum ini diserap dan dikembangkan menjadi sebuah pengertian dalam disiplin seni, pendidikan, pengobatan, manajemen dalam ilmu psikologi, budaya dan seni serta ilmu-ilmu kepribadian, manajemen dan spiritualitas. Karena itu, bermunculanlah disiplin-disiplin seperti quantum healing, quantum teaching, quantum seni, quantum success, quantum-ikhlas. Akan tetapi, secara definitif, istilah quantum dirumuskan sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Dalam konteks birokrasi, quantum bisa dimaknai sebagai interaksi yang terjadi dalam proses birokrasi dan niscaya dapat mengubah pelbagai potensi yang ada dalam diri manusia menjadi pancaran atau ledakan-ledakan gairah (dalam memperoleh hal-hal baru) yang dapat ditularkan kepada orang lain.

Dengan demikian, quantum birokrasi adalah sebuah rintisan gagasan yang mencoba memberi ''jalan baru'' atau pedoman yang dalam mengubah atau menginteraksikan seluruh potensi-potensi (baru) yang hidup dalam lingkungan manusia dewasa ini. Lebih khusus lagi, lingkungan manusia yang ikut mengembangkan dan mendorong kerja pemerintahan daerah dalam sistem birokrasi yang ada selama ini, sebagai suatu instrumen yang dapat menggerakkan sedapat mungkin kendala-kendala atau kelemahan-kelemahan yang selama ini terus melingkupi gerak sistem birokrasi. Dengan Singkat kata, quantum birokrasi adalah energi dengan cahaya ''baru'' melalui kondisi fisik, psikis, emosi, mental sampai menjangkau jauh ke dalam spiritualitas kita sendiri kini dan kelak.

Pada tataran birokrat dalam sistem pelayanan publik, maka didalamnya terkait dengan beberapa hal seperti sistemnya, budaya serta aparat itu sendiri sebagai pelaksana yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Sehingga baik buruknya kualitas pelayanannya, tercermin dari para aparat tersebut, yang akan tergambar dari kapasitas intelektualnya, sikap mental serta kehidupan sosialnya. Sorotan yang sering timbul berkaitan dengan rendahnya kualitas pelayanan publik selama ini adalah masalah rendahnya kualitas sumber daya aparatur, kurangnya penguasaan bidang tugas yang diembannya yang sebenarnya merupakan bagian dari profesionalisme, yang justru dalam situasi saat ini yang mengglobal dimana lingkungan organisasi berubah dengan cepat, hal tersebut adalah mutlak diperlukan dalam menggerakkan organisasi agar tetap eksis.

Pelayanan sebagai instrumen utama untuk pemberdayaan publik menjadi semakin relevan dalam situasi untuk menyikapi perubahan lingkungan organisasi birokrasi. Dengan demikian, langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas sumber daya aparatur tidak dapat ditunda lagi dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Kompetensi SDM masa depan harus disusun mengacu pada organisasi masa depan. Ini sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan organisasi sehingga menuntut organisasi yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi.

Daya saing ini ditentukan oleh antara lain kecepatan dalam menghasilkan berbagai inovasi dan pelayanan prima, yang dalam organisasi birokrasi pemerintah adalah pelayanan publik kepada masyarakat. Untuk menuju kearah tersebut, maka dilakukanlah rancang ulang suatu organisasi, menyesuaikan strategi baru sampai pada penataan ulang sistem pengelolaan sumber daya manusia, yaitu proses peningkatan kualitas sumber daya aparaturnya. Proses peningkatan kualitas sumber daya aparatur sebagai bagian dari profesionalisme tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan adanya upaya yang secara sadar dilakukan yang menempuh proses yang panjang. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dalam proses rekruitmen, kondisi kerja serta pelatihan. Proses rekruitmen yang obyektif, kondisi kerja yang kondusif serta dilaksanakannya pelatihan yang menggunakan methodik dan didaktik yang tepat merupakan wacana pembentukan profesionalisme yang efektif.

Dalam konteks inilah, maka pengembangan sumber daya manusia yang kompetitif bermula dari proses rekruitmen karyawan dan penempatannya pada posisi kerja yang memungkinkan berkembangnya kemampuan mereka secara optimal. Ini menunjukan bahwa betapa pentingnya proses rekruimen tersebut sebagai langkah awal mendapatkan sumber daya yang nantinya akan bekerja dalam organisasi tersebut. Analisa tentang jenis dan proses pelayanan publik yang dilakukan oleh organisasi birokrasi sangat diperlukan sebelumnya untuk menentukan hal-hal apa saja yang menjadi kelemahan sehingga dapat dijadikan salah satu kriteria dalam proses rekruitmen ini, karena dengan proses rekruitmen ini, diharapkan akan mampu menjawab masalah tersebut.

Faktor lain yang ikut berpengaruh pada proses peningkatan kualitas sumber daya aparatur adalah pelatihan (training) sebagai suatu usaha apapun untuk memperbaiki kinerja pegawai untuk suatu pekerjaan yang diembannya saat itu atau sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut. Efektifnya, pelatihan melibatkan suatu pengalaman belajar, berupa suatu aktifitas organisasional terencana dan dirancang atas tanggapan kebutuhan-kebutuhan yang diidentifikasikan. Dalam kasus rendahnya kinerja pelayanan publik yang diberikan oleh aparat birokrasi, maka pelatihan yang diperlukan disini adalah bagaimana memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman kepada aparatur untuk memahami hakikat mereka sebagai pelayan masyarakat, untuk lebih mengetahui bidang tugas yang diembannya serta memperluas wawasan kapasitas intelektual mereka agar nantinya dapat memperlihatkan kinerja seperti yang diharapkan.

Berkaitan dengan hakekat birokrasi sebagai abdi Negara, maka cara kerja melayani yang dilakukan aparat mesti adil tanpa kecuali; harus tidak memihak, karena demikianlah tugas yang dibebankan kepadanya, meskipun diiming-imingi keuntungan material atau promosi jabatan atau karena mendapat tekanan dari pihak tertentu. Singkatnya, secara ideal-normatif, birokrasi pemerintahan, di mana pun dan pada berbagai tingkatan apa pun, dituntut, dan memang tuntutan imperatif yang seharusnya dipenuhi, untuk menempatkan prinsip-prinsip rasionalitas dan profesionalitas sebagai landasan tindakan dan cara kerjanya. Dalam konteks ini, maka perubahan paradigma birokrasi yang realistik adalah mengubah struktur organisasi dan menambah sumber material untuk aparat birokrasi.

Pertama, struktur birokrasi harus dibuat ramping dan sederhana. Memang prinsip perubahan ini berarti melakukan proses rasionalisasi, yakni mengurangi jumlah pegawai. Paradigma ini jauh dari populer karena dianggap menghilangkan sumber nafkah dan jabatan banyak orang. Tetapi bagaimanapun pendekatan tersebut mesti dilakukan untuk efisiensi dan efektivitas kerja organisasi. Bisa saja rasionalisasi ini tidak dilakukan secara radikal, mendadak, umpamanya untuk waktu sepuluh atau lima belas tahun ke depan pemerintah tidak lagi menambah jumlah pegawai, sementara untuk menangani ragam pekerjaan bisa dibantu dengan proses teknologisasi.

Kedua, meningkatkan kesejahteraan pegawai. Bila struktur organisasi birokrasi itu ramping, sumber daya ekonomi yang tadinya dipakai untuk membayar upah pegawai yang banyak bisa dialokasikan untuk menaikkan upah pegawai yang sedikit. Di negara-negara maju, struktur organisasi birokrasi pemerintahan cukup ramping, jumlah pegawainya sedikit, tetapi tingkat upahnya cukup tinggi, dan perangkat teknologi berperan besar dalam membantu pekerjaan aparat pemerintah. Semua itu memungkinkan prinsip-prinsip birokrasi pemerintahan yang rasional dan profesional menjadi bisa diterapkan dengan baik. Dan yang terpenting birokrasi yang tidak birokratis itu kemudian bisa mengantisipasi kemungkinan munculnya permasalahan, bahkan melakukan tindakan preventif, dan bisa ikut mendorong dan atau memfasilitasi perubahan ke arah yang lebih progresif dari kehidupan masyarakat.

Apabila dicermati maka persoalan pengembangan paradigma baru pemerintahan terkait dengan pengembangan kapasitas daerah, termasuk di dalamnya. Pertama, pengembangan kapasitas SDM aparatur pemerintah daerah (human resource development), masalah pengembangan kapasitas SDM aparatur di daerah seringkali tidak disadari telah terjebak dalam upaya peningkatan syarat akademik jenjang pendidikan pegawai dalam memenuhi kelengkapan administratif semata, tanpa mengedepankan kebutuhan, hasil dan manfaat personel terhadap unit kerja maupun pemerintah daerah itu sendiri. Apabila hal tersebut terus-menerus terjadi bukan tidak mungkin upaya peningkatan SDM birokrasi sekadar "retorika administratif" semata.

Kedua, Peningkatan kinerja (performance improvement) birokrasi pemerintahan di daerah. Peningkatan kinerja birokrasi pemerintahan secara simultan mengiringi penataan kelembagaan dan peningkatan SDM birokrasi sebagai satu kesatuan “paket” kebijakan menuju pemerintahan yang baik. Kondisi performa birokrasi sekarang ini, memang masih menjadi bagian dari rentetan perjalanan “sejarah birokrasi” masa lalu dengan kompleksitas patologinya yang kuat mengakar.

Maka upaya pembenahan yang lebih cerdas, cermat dan penuh kearifan sangat diperlukan. Ketidak hati-hatian terhadap kebijakan pembenahan kinerja birokrasi dikhawatirkan akan menuai hasil terjadinya revolusi birokrasi yang justru merugikan. Dengan diterbitkannya kebijakan-kebijakan tentang peningkatan pelayanan publik oleh institusi pemerintah, secara tidak langsung akan memperbaiki performa birokrasi itu sendiri. Selain itu keberadaan standar kinerja instansi pemerintah menjadi kebutuhan mendesak untuk dipenuhi sebagai tetapan indikator capaian manfaat dan dampak kinerja lembaga birokrasi.

KESIMPULAN


Dasar bagi penerapan dan pengembangan quantum birokrasi yang dikemukakan ini merupakan usaha rintisan yang dipandang sebagai cara memberikan umpan balik bagaimana pengetahuan sebagai teori dapat secara dipraktekkan. Untuk itu, kami sebagai salah seorang birokrat yang masih aktif sedang mencoba ''menuliskannya'' dan berupaya mempraktekkan sebagai landasan visi dan misi pribadi kami sebagai seorang birokrat.

Selama masa karir kami selaku birokrat ''bawah'' sampai mencapai posisi sebagai ''top'' birokrat yang dipilih oleh konstituen dalam PILKADA, telah dilakukan upaya penyerapan pengalaman, pengetahuan dan aspirasi yang terus berkembang dan menuntut respons dan tindakan-tindakan yang diperlukan agar, sedikitnya, praktek dan pengetahuan birokrasi dapat ditinjau kembali dengan pelbagai disiplin yang berkembang. Apakah disiplin itu sepenuhnya bersifat teknikal atau baru sekedar konsep bahkan praktek-praktek sistem yang telah dianggap ''benar'' dan ''baku'', akan tetap dianggap sebagai sumber-sumber yang bisa diubah bahkan diberikan pandangan yang segar dan baru.

Untuk menjelaskan lebih singkat terhadap pendekatan disiplin quantum birokrasi, akan diuraikan secara ringkas pokok pikiran yang mendasari gagasan ini, yang secara bertahap langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah Learn to learn, Learn to do, Learn to became, Learn to share and live together. Dalam rangka mewujudkan sinergi penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, maka fungsi katalisator yang bersifat menyatukan dan melepaskan kekuatan organisasi sejalan dengan konsep empat dimensi kemampuan atau kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, yakni kecerdasan fisik atau tubuh (PQ), Kecerdasan Mental (IQ), Kecerdasan Emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yang pada akhirnya ditentukan oleh Executing quotient (ExQ). Keterkaitan dari konsep-konsep tersebut, secara rinci dapat digambarkan sebagai berikut :

Oleh :R.M. LUNTUNGAN *
http://www.minselkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=49&Itemid=160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar