Minggu, 11 Oktober 2009
Memaafkan yang "Sok Jumawa"
Mungkin kita pernah bertemu, bekerja sama, atau bahkan hidup bersama dengan seseorang yang ”sok jumawa”. Tindakannya sangat menyakiti hati, tetapi ia sama sekali tidak merasa bersalah, bahkan terus merendahkan kita.
Ny I, 55 tahun:
”Saya sudah menikah 30 tahun. Selama itu saya sering dihina suami. Saya dibilang bodoh, tidak becus, tidak berguna.
Saya jungkir balik memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena suami saya jarang menyerahkan gajinya. Padahal dia pejabat tinggi di kantornya. Kalau saya minta dia marah, kata dia salah sendiri kenapa saya bekerja. Dia baru akan kasih gaji bila saya berhenti bekerja. Saya tidak mungkin berhenti kerja karena itu satu-satunya tempat saya merasa dihargai. Lagi pula siapa yang menjamin dia akan menjadi lebih baik.
Seharusnya saya meninggalkan perkawinan ini dari dulu, tetapi saya takut berdosa. Mendadak suami stroke. Ia menuntut saya 24 jam penuh menunggui dan kata-katanya yang merendahkan makin jahat terdengar.
Anak-anak dan keluarga besar bilang saya harus di sampingnya biar ayah selamat. Saya masih sembahyang, tetapi batin kosong. Saya muak dengan diri sendiri. Saya tidak bisa memaafkan diri sendiri, apalagi memaafkan suami.”
Situasi relasi suami-istri kadang sangat kompleks. Sejak awal mungkin telah ada perbedaan besar dalam latar belakang budaya, karakteristik kepribadian, serta cara pandang mengenai relasi jender. Ny I dibesarkan dalam lingkungan yang membebaskan, menghargai perempuan. Sementara suami terbiasa melihat perempuan dinomorduakan, harus patuh, dan direndahkan.
Karakteristik kepribadian dan pola penyelesaian masalah juga berbeda. Ny I memerlukan ruang bagi diri sendiri. Ia memiliki aspirasi dan minat besar untuk berhubungan sosial dan mengembangkan diri. Ia mengharap suami memahami dan memberi penghargaan, sedangkan suami terbentuk menjadi individu yang selalu membenarkan diri di balik identitas sebagai ”laki-laki” dan ”suami”. Ia menuntut hak, tetapi lupa kewajiban.
Meski aspirasi diri tinggi, Ny I masih dikungkung peran stereotip perempuan yang harus patuh, menghormat, melayani. Apalagi ia menjunjung tinggi agama, dan lingkungannya yang menentang perceraian akan menyalahkan istri yang tidak mampu menjaga keutuhan keluarga. Tanpa disadari semua hal di atas berdampak sangat menekan.
Hidup dengan pasangan yang merendahkan mungkin membuat kita menghayati berbagai emosi negatif: takut, terancam, bingung, marah. Kita mencoba bertahan karena harus membesarkan anak dan bekerja untuk keluarga.
Yang kemudian kita hayati adalah konflik, kebingungan, dan rasa tak berdaya yang intens. Saya prihatin Ny I mengalami ketakutan akan dipersalahkan dan diawasi anak-anak dan keluarga besar. Ia takut dan gemetar bila berdekatan dengan suami, bahkan sampai berpikir kematian. Selama berpuluh tahun ia menderita bila harus berhubungan seksual dengan suami yang tampil sebagai sosok menakutkan dan mengancam.
Menuju kedamaian diri
Sangat memprihatinkan bila kita kemudian seolah kehilangan kepercayaan dan kendali atas hidup kita sendiri. Yang terjadi pada Ny I menjadi pembelajaran bagi kita. Bukan tidak mungkin hal itu juga terjadi dalam konteks kerja.
Bagaimana memberi ketenangan dan kedamaian bagi diri sendiri? Kita perlu merenung kembali. Barangkali pada masa lalu ada satu atau dua tindakan atau kata-kata pihak lain yang menjadi faktor pencetus luka sangat dalam?
Mungkin hal itu bertumpuk dengan banyak hal lain yang membuat kita takut, marah, atau muak. Bila kita dapat menemukannya, kita akan lebih mudah ”memberi pemaknaan baru” terhadap apa yang pernah terjadi dan menemukan kembali keberdayaan untuk mengendalikan diri.
Ny I perlu mengingat lagi hal positif dari dirinya, seperti pekerjaan yang baik atau teman kerja yang menyenangkan. Ia perlu lebih tegas berbagi peran dengan anak dengan mengatakan, ”Maaf, saya juga butuh waktu untuk diri sendiri. Tugas menjaga ayah bukan cuma tugas Mama. Jadi tolong, malam ini kalian menggantikan.”
Menulis surat
Yang dapat dilakukan adalah menulis surat, bisa bagi diri sendiri atau untuk pihak yang menyakiti kita. Dalam faktanya surat tidak perlu dikirim karena tujuannya lebih untuk membantu diri sendiri. Kita menulis untuk menyisir kekacauan dan kebingungan perasaan demi menemukan jalan keluar bagi diri sendiri.
Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita tulis:
1. Curahkan semua rasa kecewa, sakit hati, marah, dan emosi lain. Seperti ”Saya sangat terhina waktu kamu...”; ”Saya marah, tetapi tidak berani ...”.
2. Upaya menjelaskan bagi diri sendiri mengapa sampai dia melakukan tindakan demikian. Misalnya, ”Barangkali kamu takut saya tinggalkan, tetapi kemudian tampil sok kuasa....”
3. Pemaknaan baru mengenai apa yang telah terjadi serta bagaimana akan melihat masa depan. Misalnya, ”Ternyata kamu tidak sekuasa seperti saya kira. Kamu sok jumawa, tetapi sebenarnya tak punya kekuatan apa-apa. Kamu omong kasar, tetapi sesungguhnya terbaring tak berdaya. Malah saya yang lebih berdaya. Semoga aku dibantu untuk dapat memaafkan kesombonganmu....”
Seorang yang merasa memiliki kendali atas hidup akan mampu menerima apa yang terjadi, termasuk hal menyakitkan, tetapi dapat tetap beranjak menata masa depan. Semoga Ny I dapat menemukan kembali kekuatan dan kedamaian diri.
Kristi Poerwandari, Psikolog
Minggu, 27 September 2009 | 04:55 WIB
KOMPAS.com
http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/09/27/04552733/memaafkan.yang.sok.jumawa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar