Kamis, 22 Oktober 2009

Milik Kita yang Sebenarnya


Berbicara tentang kepemilikan adalah berbicara tentang kekayaan. Kekayaan (assets) dilihat dari sudut pandang ilmu keuangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu financial assets (kekayaan finansial) dan nonfinancial assets (kekayaan nonfinansial). Contoh kekayaan finansial adalah uang, saham, dan surat-surat berharga lainnya. Sedangkan contoh kekayaan nonfinansial adalah rumah, mobil, dan lain-lain yang secara fisik memang sangat kelihatan.

Dalam kehidupan ini, dua kekayaan itulah yang dikejar orang dan merupakan simbol status seseorang. Pada lingkungan masyarakat yang belum maju, orang lebih suka menyimpan kekayaannya dalam bentuk nonfinansial,sementara di kota-kota besar dan pusat-pusat industri, kebanyakan orang lebih menyukai menyimpan hartanya dalam bentuk finansial, yang kebanyakan berwujud kertas. Selain karena praktis, kekayaan finansial ini tidak begitu kelihatan, sehingga pemiliknya akan merasa relatif lebih aman menyimpannya.

Segala daya upaya, pikiran, tenaga, dan waktu manusia dihabiskan untuk mengejar dua kekayaan tersebut, dan rasa-rasanya masyarakat pun menganggap bahwa orang yang sukses adalah orang yang paling banyak mengumpulkan dua kekayaan itu, bagaimana pun caranya. Ambil saja contoh ketika orang mudik lebaran. Orang yang mampu membeli barang berharga, maka barang tersebut akan dibawanya ke desa tempat kelahiran untuk ditunjukkan kepada sanak familinya bahwa ia orang yang sudah sukses di kota karena sudah berhasil memiliki barang-barang berharga tersebut. Akibatnya ada banyak orang yang belum berani pulang kampung. Kalau belum mengendarai mobil baru atau belum mempunyai banyak perhiasan.

Apakah jika kita sudah memiliki banyak mobil, perhiasan berlimpah, menjadi pemegang saham di puluhan perusahaan yang sudah go public, maka kita dapat memproklamirkan diri menjadi orang kaya?

Ada seorang sahabat yang bertutur kepada saya, bahwa kekayaan yang sebenarnya kita miliki sepenuhnya adalah makanan yang sudah kita makan, pakaian yang kita pakai, dan pemberian kita kepada orang lain. Sahabat saya itu melanjutkan penjelasannya. Seandainya di rumah kita banyak tersedia makanan, mulai dari makanan fast food, barbeque, sea food, sampai makanan intel (indomie telur), jika belum masuk ke dalam mulut, belumlah milik kita.

Berapa banyakkah dari makanan-makanan tadi yang dapat dimasukkan dalam perut kita? Mungkin hanya sebagian kecil saja, sedangkan yang lainnya hanya dapat kita lihat dan kita pandangi, mau makan, rasanya perut sudah kenyang. Apalagi jika tubuh sudah kejangkitan bibit penyakit tertentu, tekanan darah tinggi, misalnya. Meskipun di hadapannya terhidang gulai kambing yang terlezat di negeri ini, yang bersangkutan tentu tidak berani secara gegabah memakannya. Takut bukan kelezatannya yang diperoleh, tetapi malah kesakitan yang didapat. Atau teman-teman yang mengidap penyakit asam urat, pasti akan berpikir puluhan kali manakala disajikan makanan yang termasuk benjol (bayam, emping, nanas, jeroan, otak, dan lemak).

Inilah susahnya jadi manusia. Dulu ketika belum kaya, makanan-makanan itu tidak dapat dibeli, sekarang ketika sudah dapat membeli, tetap saja tidak dapat menikmatinya karena tak diizinkan oleh dokter. Dengan demikian, sebenarnya hanya makanan yang bisa masuk ke dalam mulut dan perut sajalah yang menjadi milik kita dan kekayaan kita.

Pakaian yang melekat pada tubuh kita itulah milik kita. Banyak orang yang sering mengumpulkan banyak pakaian di almarinya. Tiap ganti mode, dibelinya pakaian baru. Tiap ada acara, dibuatlah pakaian khusus untuk acara itu. Akibatnya pakaian-pakaian yang kita miliki hanya dipakai sekali saja, dan setelah itu dibiarkannya pakaian itu merana di lemari pakaian karena telah diberhentikan pemakaiannya oleh tuannya.

Saya juga mempunyai seorang teman yang mempunyai kegemaran memamerkan pakain barunya kepada teman-temannya. Disangkanya itu akan membuat ia dihargai dan dipuji, tak disangkanya hal itu membuatnya dibenci dan kemudian dijauhi oleh teman-temannya. Pakaian bisa juga diartikan perhiasan atau aksesori lainnya yang melekat pada tubuh seseorang. Saya pun teringat pada waktu gempa yang lalu. Di lemari ada tidak sedikit pakaian, yang kemudian karena terjadinya gempa itu sebagian di antaranya rusak dan tidak dapat dipakai lagi. Saya memang memiliki pakaian di lemari, tetapi ternyata saya tidak dapat menikmatinya.

Pemberian kita kepada seseorang juga termasuk salah satu kepemilikan kita. Lho koq bisa? Bukankah secara logika ketika kita memberi sesuatu kepada orang lain, akan berkurang milik kita. Secara matematis tampaknya memang demikian. Namun, kehidupan bukanlah sekadar hitungan matematis. Ketika kita memberi sedekah kepada orang lain, maka ini merupakan investasi jangka panjang. Dampaknya tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat.

Saya mendapatkan cerita unik dari seorang penutur kedermawanan, Yusuf Mansyur, yang mengisahkan pendapatan seorang tukang sapu di salah satu kantor di Jakarta, yang mencapai enam juta rupiah sebulan. Menilik dari slip gajinya sebenarnya tukang sapu tadi hanya mendapatkan gaji sebesar enam ratus ribu rupiah, tetapi pendapatan selain gajilah yang membuatnya punya penghasilan enam juta rupiah.

Pembaca jangan salah kira, pendapatan yang tukang sapu peroleh bukanlah dari pungli (pungutan liar) sebagaimana yang sering dilakukan oleh aparat-aparat kita, tetapi pendapatannya yang berlipat itu didapatnya karena yang bersangkutan suka berderma. Apakah Anda tertarik mengikutinya?

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 261)

(Dicuplik dari buku Miracle of Life; Kumpulan Hikmah Perjalanan Hidup oleh M. Awal Satrio Nugroho)

http://esqmagazine.com/frekuensi/2009/10/20/629/milik-kita-yang-sebenarnya.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar