Jumat, 16 Oktober 2009

Salah Faham terhadap Dunia Sufi



Akidah Sufi Dituduh Menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah

Redaksi Sufi menurunkan pledoinya atas kontroversi yang selama ini dituduhkan oleh para pemikir Muslim yang anti Tasawuf. Sejak zaman munculnya dunia Sufi dalam peradaban ilmu pengetahuan banyak kalangan yang menuding Tasawuf sebagai aktivitas yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Termasuk para pemikir dewasa ini, khususnya Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya Al-Fikrus Shufi, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf.” Buku ini tersebut sangat mendeskriditkan Tasawuf degan penuh emosional dan antipati, dan berpengaruh terhadap gerakan Islam radikal di berbagai negara Islam termasuk di Indonesia.

Karena itu Redaksi Sufi berusaha meluruskan tuduhan-tuduhan hipokrit tersebut dengan mengangkat kembali fakta, idea, akidah dan syari’ah yang sesungguhnya. Sehigga pemahaman yang dangkal itu berbuntut menjadi tuduhan yang sangat arogan dan membahayakan akidah mereka sendiri.

Di bawah ini akan kita muat secara bersambung hal-hal yang dipersoalkan oleh mereka, sehingga mereka anti tasawuf. Dan Redaksi Cahaya Sufi menurunkan jawaban-jawabannya:

Akidah Sufistik

Dalam bentuknya yang terakhir akidah tasawuf berbeda dengan Al-Qr’an dan Sunnah dari seluruh sisinya, disebabkan oleh sumber dan penerimaan akidah itu, yakni sumber pengetahuan keagamaan. Dalam Islam akidah ditetapkan hanya Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi dalma tasawuf akidah ditetapkan melalui Ilham, wahyu yang dipercaya oleh para Wali. Hal ini berhubungan dengan Jin yang mereka namanakan dengan makhluk ruhani, atau mi’rajnya ruh ke langit. Lebur dalam Allah dan Injila’ (berkilauannya) cermin hati. Sehingga menurut pengakuan mereka, perkara ghaib tampak seluruhnya bagi wali Sufi melalui kasyf dan mengikatkan hati dengan Rasulullah SAW, karena dalam kepercayaan mereka ilmu-ilmu itu disandarkan pada Rasulullah atau dengan bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga atau mimpi.

Ketika sumber-sumber itu terbilang banyaknya maka akidah itu sendiri berkembang, berubah-ubah, satu sama lainnya berbeda. Masing-masing menyatakan apa yang didapat dalam Kasyfnya, apa yang tertangkap dalam benaknya, apa yang dikatakan Rasulullah, atau diberikan malaikat atau yang ia lihat sendiri di Lauhul Mahfudz.

Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah para Sufi memiliki penafsuran kebatinan yang terkadang mereka menamakannya tafsir Isyarat. Mereka percaya bahwa setiap huruf dalam Al-Qur’an memiliki makna yang tidak diketahui kecuali oleh Sufi yang mumpuni dan terbuka hatinya. Berdasarkan hal ini para Sufi memiliki keberagaman sendiri yang dalam tataran ushul dan cabangnya berbeda dari agama yang dibawa oleh Rasulullah.

Berikut ini ringkasan akidah sufi tentang Allah, Rasulullah, Para Wali, Syurga, Neraka, Fir’aun, dan Iblis. Begitu juga keyakinan tentang berbagai syariat.

Akidah mereka tentang Allah

Seorang Sufi meyakini Allah dengan akidahnya yang beraneka ragam. Diantaranya adalah Hulul (reingkarnasi) seperti mazhabnya Al-Hallaj dan juga Wihdatul Wujud yang mengajarkan ketidakterpisahan antara Khaliq dengan makhluk. Inilah akidah terakhir yang berkembang sejak abad ke III hingga kini. Akhirnya setiap tokoh dan Ulama akidah ini, mencatatnya dalam kitab, seperti Ibnu ‘Araby, Ibnu Sab’in, Al-Tilmasy, Abdul Karim al-Jily, Abdul Ghani an-Nablusy dan juga mayoritas pimpinan Thariqat Sufi kontemporer.

Akidah mereka tentang Rasulullah

Diantara mereka yang meyakini bahwa Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi. Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi sebagaimana diutarakan oleh Busthamy, “Kami menyelami lautan yang para Nabi berhenti di pantainya.” Diantara mereka juga ada yang meyakini bahwa Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Dialah Allah yang bersemayam di Atas Arasy. Langit, bumi, ‘Arasy, Kursy, dan seluruh yang ada diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama maujud. Dialah yang bersemayam di atas Arasy Allah. Demikianlah akidah Ibnu Araby dan Sufi sesudahnya.

Akidah mereka tentang para Wali’


Kaum Sufi meyakini wali dengan beragam akidah pula. Diantara mereka ada yang mengutamakan wali.

http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=150:salah-faham-terhadap-dunia-sufi-&catid=83:pledoi-sufi&Itemid=301

Salah Faham terhadap Dunia Sufi (2)

Tuduhan terhadap Dunia Wali

Mereka menuduh kaum Sufi, dengan suatu tudingan keliru. Diantara tudingan mereka yang kontra pada dunia Sufi, tentang Kewalian antara lain:

1. Sufi dituduh mengutamakan Wali daripada Nabi.
2. Para Wali dianggap sama dengan Allah dalam setiap sifatNya, bermula dari salah paham mereka mempersepsi tentang ragam dunia Wali dengan tugas-tugas ruhani masing-masing, seakan-akan tugas itu menyamai tugas Allah.
3. Para Wali seperti memiliki dewan, majlis, berkumpul di gua Hira untuk menunggu takdir.

Tiga tudingan itulah yang membuat orang salah paham terhadap dunia Sufi.

JAWABAN
Ummat Islam sepakat adanya para Auliya' atau kekasih-kekasih Allah. Bahkan mereka yang kontra terhadap dunia Tasawuf pun memiliki definisi khusus, menurut penafsiran formal mengenai para Wali ini, yang tentu saja berbeda jauh antara langit dan bumi dengan pemahaman kaum sufi.

1. Kaum Sufi tidak pernah menempatkan derajat para Wali lebih unggul dibanding para Nabi dan Rasul. Para Auliya adalah sebagai pewaris dan pemegang amanah Risalah setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Sebagai Khalifah dan sekaligus juga sebagai pewaris Nubuwwah. Jika, muncul ungkapan-ungkapan kehebatan para Auliya dalam kitab-kitab Tasawuf, sama sekali tidak ada satu pun kata atau isyarat yang menunjukkan keunggulan maqom Auliya' dibanding maqom Ambiya dan Rasul. Semata hanya ingin mempresentasikan jika para Auliya' diberi karomah (hal-hal yang di luar nalar akal rasional) oleh Allah swt, apalagi para Anbiya dan Mursalin.

2. Para Sufi yang diangkat derajatnya oleh Allah meraih maqom Kewalian atas KehendakNya, diberi anugerah, fadlal dan rahmatNya, menurut kehendakNya. Kesalahpamahan mereka yang kontra terhadap dunia Wali semacam ini bersumber pada fenomena karomah, fenomena hikmah-hikmah terdalam yang tidak bisa dipahami oleh mereka, karena hanya merujuk pada teks Qur'an dan Hadits tanpa mengenal hakikat kedalaman dibalik ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah itu.

Apakah anda tega menyalahkan Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abul Hasan Asy-Syadzily, Hujjatul Islam al-Ghazaly, Ibnu Araby. Al-Bisthamy, Asy-Syibly, Junaid al-Bahgdady, para Imam Mazhab, yang sangat terkenal sebagai para Auliya' Allah, dan sama sekali mereka jauh dari perspesi anda tentang kewalian itu?

Padahal mereka adalah para penjaga Al-Qur'an dan as-Sunnah, para pelestari tradisi Syariat, Thariqat dan hakikat Risalah Nabi besar Muhammad SAW.

Jadi jika ada Istilah Abdal sebagaimana juga pernah disebut oleh Nabi Muhammad SAW, tentu saja, tidak gampang memahami tugas-tugas para Wali itu. Sedangkan siapa pun dalam menjelajah dunia ruhani, metafisika, dunia hakikat senantiasa justru akan dlolalah (tersesat) sepanjang perjalanannya tidak dibimbing oleh Wali yang Mursyid, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: "Siapa yang sesat (jalan menuju kepada Allah) maka ia tidak akan pernah menemukan Wali yang Mursyid".

Kriteria Wali Mursyid tentu tidak sesederhana yang mereka pahami. Kata Iman dan Taqwa saja, sangat berlapis-lapis kedalamannya, dan beragam pula wilayah implementasinya dalam dunia jiwa para hamba Allah. Apakah sebegitu mudah orang mengaku menjadi Wali Allah, hanya karena merasa beriman dan merasa bertaqwa dan bahkan mengklaim merasa dirinya beramal shaleh?

Sedangkan tahap agar hamba Allah bisa bebas dari rasa takut dan gelisah saja sulitnya bukan main. Gelisah terhadap cobaan dunia dan cobaan akhirat, takut terhadap fitnah dunia dan siksa akhirat, pun manusia akan sulit membebaskan psikhologinya. Padahal para Wali itu tidak pernah takut dan tidak pernah susah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an.
Inilah yang dipresentasikan dunia Tasawuf sebagai tradisi ilmu-ilmu Islam bidang hakikat, yang juga bisa difahami manaka melalui pendekatan hakikat pula, dengan logika bathiniyah yang suci. Sebab wilayah hakikat bukanlah wilayah rasional empiris, juga bukan wilayah inderawi. Itu pun harus dalam bimbingan mereka yang telah meraih keparipurnaan hakikat sebagai Insan Kamil.

Karena itu Ibnu Araby, membagi komunitas para auliya’ menurut komunitas kebajikan yang disebut dalam berbagai ayat Al-Qur'an, semisal, komunitas Sholihun, Muhsinun, Shobirun, Syakirun, Dzakirun, Mujahidun, Muttaqun, 'Aminun, Mukhlishin, Mukhlashin, 'Abidun, dan ratusan komunitas Sholeh disana yang tentu saja, merupakan kualifikasi moral yang begitu dalam. Jika Allah menyebutkan suatu kelompok moral, dengan menggunakan istilah tertentu, pasti memilki rahasia tertentu pula. Kata Robb, beda dengan kata Ilah, beda lagi dengan penyebutan yang menggunakan Sifat dan Asma' sepetri Al-Khaliq, Al-Bari', al-Mushowwir, misalnya.

Munculnya istilah Ghauts, Quthub, Abdal, Nuqaba', Nujaba', tentu memiliki dasar-dasar yang tersirat dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan tugas-tugas amanah kewaliyan mereka tentu Allah sendiri Yang Maha Tahu, yang dengan KemahakuasaanNya, dan Irodah MutlakNya, memberikan wewenang dan tugas khusus. Dan semua tugas itu juga dalam rangka meneruskan amanah Rasul SAW.

3. Soal adanya dewan para Wali, sesungguhnya juga tidak bisa dipersepsi sebagaimana kita memahami majlis sosial politik, dengan dewan pimpinan tertentu itu, dengan cara pemilihan ketua dewan atau ketua organisasi. Bahwa dalam dunia Kewalian ada hirarki struktural secara ruhani, pasti sangat berbeda hirarki strukturalnya dengan dunia sosial manusiawi. Kalau suatu saat memang ada tugas bermajlis di gua Hira', itu bukan suatu tugas yang bisa dinilai sebagaimana berkumpulnya sebuah majlis PBB atau lainnya. Namun, karena tugas kasuistis, menyangkut perkara moralitas ummat manusia di dunia, bahkan yang hidup maupun yang sudah mati, yang begitu tampak jelas dalam Alam Mukasyafah mereka, melalui Nur Ilahi.

Tetapi wajar jika anda mempersoalkan, adanya kelompok tertentu yang mengklaim dewan para wali, lalu membuat pertemuan alam ghaib, lalu mereka merasa sebagai para wali, padahal tidak lebih dari sebuah tipudaya alam Jin dan Iblis, bisa saja demikian. Karena Iblis dan Syetan pun punya kelompok tandingan Wali yang disebut dalam Al-Qur'an "Auliya' as-Syayathin". Atau para Wali Syetan, yang seringkali menggunakan jubah religius dan keagamaan. Mereka berjubah, tapi penuh dengan kebusukan, ketakaburan, riya' dan 'ujub, hubbud dunya (cinta dunia), penghamba nafsu dan takut mati.

Namun alangkah piciknya kita kalau memahami dunia Wali dari sekadar gelombang sosial ummat atau dari fenomena keagamaan (khususnya di bidang bathiniyah), lalu anda membuat kesimpulan gradual, kesimpulan salah kaprah, sebagaimana para orientalis dan pengamat Sufi yang lebih banyak salah kaprahnya dalam memaknai istilah dan terminologi Sufi itu sendiri. Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thoriq, wallahu A'lam bish-Showab.

http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=151:salah-faham-terhadap-dunia-sufi-2&catid=83:pledoi-sufi&Itemid=301


Salah Faham terhadap Dunia Sufi (3)


Orang Sufi anti Syurga dan Tidak Takut Neraka?

Diantara tuduhan yang dilontarkan kepada kaum Sufi, bahwa dalam tasawuf, seorang Sufi itu tidak mau syurga dan tidak takut neraka. Padahal Rasulullah pernah berharap syurga dan dihindarkan dari neraka. Rasulullah paripurna saja masih demikian, kenapa kaum Sufi enggan dengan syurga dan tidak takut neraka?

Tuduhan dan pertanyaan berikutnya seputar syurga dan neraka, bahwa kaum Sufi dalam tujuannya untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak menuju syurga dan tidak menghindar dari neraka, dianggap sebagai akidah yang salah. Padahal dalam ayat Al-Qur’an disebutkan, “Makan dan minumlah (di syurga) dengan nikmat yang disebabkan oleh amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang lampau….” (al-Haaqqah, 24) . Jadi kaum Sufi pandangannya bertentangan dengan ayat tersebut.

JAWABAN
Dalam Al-Qur’an dan Hadits soal syurga dan neraka disebut berkali-kali dalam berbagai ayat dan surat. Tentu saja, sebagai janji dan peringatan Allah swt. Namun memahami ayat tersebut atau pun hadits Nabi saw, harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tidak sekadar formalisme ayat atau teks hadits saja.
Contoh soal rasa takut. Dalam Al-Qur’an disebut beberapa kali bentuk takut itu. Ada yang menggunakan kata Taqwa, ada yang menggunakan kata Khauf dan ada pula Khasyyah, dan berbagai bentuk kata yang ditampilkan Allah Ta’ala yang memiliki hubungan erat dengan bentuk takut itu sendiri, sesuai dengan kapasitas hamba dengan Allah Ta’ala. Makna takut dengan penyebutan yang berbeda-beda itu pasti memiliki dimensi yang berbeda pula, khususnya dalam responsi psikhologi keimanan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, berkaitan dengan frekwensi dan derajat keimanan seseorang.

Begitu juga kata Jannah dan Naar, syurga dan neraka. Penekanan-penekanan kata Naar dalam Al-Qur’an juga memiliki struktur hubungan yang berbeda. Naar disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan berbeda dengan orang munafik, orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat. Itu berarti berhubungan dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa’ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada sifat dan karakter neraka tertentu.

Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi zalim, karena faktanya tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari segi hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika seseorang memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.

Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah, “Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah” dengan ayat yang sering kita baca, “Waqinaa ‘adzaban-Naar,” memiliki dimensi berbeda. Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, karena didahului dengan panggilan Ilahi ”Wahai manusia”. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa seorang beriman, “Lindungi kami dari siksa neraka,” maknanya sangat berbeda. Karena yang terakhir ini berhubungan dengan kualifikasi keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah Azabnya neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api yang membakar Ibrahim as.

Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kualifikasi keikhlasannya di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Ruh amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi Ta’ala. Tetapi kalau punya harapan lain selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk kenikmatan fisik dan siksa fisik, itu juga diterima oleh Allah. Namun, kualifikasinya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling rendah.

Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik untuk menjelaskan dirinya, syurga maupun neraka. Kaum Sufi memilih perumpamaan paling hakiki, karena perumpamaan neraka yang paling rendah sudah dilampauinya. Sebagaimana kualitas moral seorang pekerja di perusahaan juga berbeda-beda, walau pun teknis dan cara kerjanya sama.

Orang yang bekerja hanya mencari uang dan untung, tidak boleh mencaci dan mengecam orang yang bekerja dengan motivasi mencintai pekerjaan dan mencintai direktur perusahaan tersebut. Walau pun cara bekerjanya sama, namun kualitas moral dan etos kerjanya yang berbeda. Bagi seorang direktur yang bijaksana, pasti ia lebih mencintai pekerja yang didasari oleh motivasi cinta yang luhur pada pekerjaan, perusahaan dan mencintai dirinya, disbanding para pekerja yang hanya mencari untung be laka, sehingga mereka bekerja tanpa ruh dan spirit yang luhur.

Karena itu syurga pun demikian. Persepsi syurga bagi kaum Sufi memiliki kualifikasi ruhani dan spiritual yang berbeda dengan persepsi syurga kaum awam biasa. Hal yang sama persepsi mengenai bidadari. Bagi kaum Sufi bidadari yang digambarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, adalah Tajalli (penampakan) sifat-sfat dan Asma Kemahaindahan Ilahi, yang tentu saja berbeda dengan kaum awam yang dipersepsi sebagai kenikmatan bilogis seksual-hewani.

Syurga bagi kaum Sufi adalah Ma’rifatullah dengan derajat kema’rifatan yang berbeda-beda. Karena nikmat tertinggi di syurga adalah Ma’rifat Dzatullah. Jadi kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan syurga adalah syurga fisik dengan kenikmatan fisik yang selama ini kita persepsikan. Dan hal demikian memang bisa menjadi penghalang (hijab) antara hamba dengan Allah dalam prosesi kema’rifatan.

Bahkan Allah pun membagi-bagi syurga dengan symbol berbeda-beda, ada Jannatul Ma’wa, Jannatul Khuldi, Jannatun Na’im, Jannatul Firdaus, yang tentu saja menunjukkan kualifikasi yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih bergelimang dengan nafsunya, maka perspesi tentang nikmat syurga, adalah pantulan nafsu hewaninya dan syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan dengan rasa nikmat syurgawi yang identik dengan syahwatiyah.

Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk menentukan kualifikasi kesyurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Karena hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga. “karena Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan gembira karena syurgaNya.

Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang bisa wushul (sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju makhluk? Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan roda gilingan, yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan?
Nah anda bisa merenungkan sendiri, betapa tudingan-tudingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, bisa terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang.

Hanya mereka yang tolol dan bodoh saja, jika ada ucapan seperti ini dikecam habis, “Tuhanku, hanya engkau tujuanku, dan hanya ridloMulah yang kucari. Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku…” Ucapan yang menjadi munajat para Sufi. Lalu mereka mengecam ucapan ini, sebagai bentuk anti syurga dan tak takut neraka?

http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=152:salah-faham-terhadap-dunia-sufi-3&catid=83:pledoi-sufi&Itemid=301

Mereka Yang Memusuhi Dunia Sufi

Syeikh Abduk Qadir Isa

Orang-orang yang menusuk dunia Sufi dalam Islam dan ingin merobohkan bahkan ingin menghancurkan dengan berbagai kedustaan, dengan melemparkannya melalui pandangannya yang sesat terbagi menjadi berbagai kelompok: Ada yang memusuhi karena benci dan dendam pada Islam, ada juga karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf, lalu mereka terkubang dalam kebodohan yang mendustakan.

Kelompok Pertama:

Adalah musuh-musuh Islam dari kaum Zindiq Orientalis dan anthek-antheknya melalui rentetan perang Salib dan aktivitas kolonialisme yang penuh dendam, semata mereka hanya ingin merobohkan benteng-benteng Islam, menghancurkan rambu-rambu utamanya, dan menebarkan racun permusuhan dengan mengembangkan konflik antar barisan Islam.

Mohammad Asad, salah satu orientalis yang masuk Islam telah membuka kedok mereka dalam bukunya, al-Islam fi Muftariqit Thuruq, ketika membicarakan pengaruh perang Salib.

“Mereka memiliki semangat besar untuk meneliti Islam dalam rangka mengetahui rahasia kekuatannya, agar mereka tahu dari mana pintu-pintu masuknya, dan dari gerbang mana jalan menuju umat Islam untuk merobohkan dan merekayasa keburukannya. Diantara para orientalis itu, yang paling berpengaruh adalah RA Nicholson dari Inggris, Goldziher Yahudi, Louis Massignon dari Perancis dan lainnya.

Di satu sisi mereka menebar racun dalam madu, dan memuji Islam dalam sebagian buku-bukunya agar menarik respon pembaca. Ketika mulai tertarik, mereka membuat pengaruh pada akidahnya, lalu menebar kebatilan dalam hatinya untuk ditaburkan pada Islam, dengan berbagai dosa dan dusta.
Kadang-kadang mereka membuat rincian akademik yang spesifik, bahkan berjubah keagamaan, lalu mengenalkan Tasawuf sebagai ruhnya Islam. Namun di satu sisi mereka menegaskan bahwa Tasawuf itu sesungguhnya warisan dari Yahudi, Nasrani dan Budha. Mereka membuat keraguan pada pembacanya bahwa Tasawuf adalah pandangan yang telah menyimpang dan sesat, seperti pandangan tentang Hulul dan Ittihad, Wahdatul Wujud, dan Wahdatul Adyan.

Kita tahu, dan kita tidak asing dengan tudingan mereka, karena mereka adalah musuh. Karena demikian watak musuh dan pemakar. Kita tidak perlu lagi merinci hujatan mereka, karena kita sudah mengenal watak para musuh dunia Sufi dengan tujuannya yang begitu kotor.

Namun yang memprihatinkan kita adalah mereka yang mengaku sebagai tokoh Islam, tetapi mereka mengadopsi pandangan-pandangan musuh Islam itu untuk dijadikan pegangan demi menusuk Islam dari dalam, yaitu Ruhul Islam dan Mutiara Islam, yang tidak lain adalah Tasawuf. Apakah dibenarkan bagi seorang muslim yang berakal, mengambil pandangan dari musuh-musuh Islam yang kafir demi menusuk sesama saudaranya yang muslim? Maha Suci Allah, sungguh sebuah kebohongan besar.

Kalau saja para orientalis itu benar-benar membela Islam, benar-benar tulus dalam tesis mereka dengan keinginannya memurnikan Islam dari kotoran, kenapa mereka juga tidak memeluk Islam?
Kenapa mereka tidak menggunakan metode muslim bagi pandangan hidupnya?

Kelompok Kedua

Adalah mereka yang bodoh terhadap ajaran hakikat Tasawuf Islam, karena mereka tidak mendapatkan bimbingan dari tokoh Sufi yang benar dan dari kalangan Ulamanya yang Ikhlas. Bahkan mereka mengambil analisa tentang tasawuf dengan pandangan yang mengaburkan, jauh dari kejelasan dan fakta.
Mereka ini terbagi-bagi:

1. Mereka mengambil pandangan Sufi dari kalangan yang mengamalkan tasawuf secara menyimpang yang mengaku sebagai gerakan Tasawuf, tanpa membedakan antara hakikat Tasawuf yang terang dengan peristiwa-peristiwa penyimpangan tasawuf.
2. Ada kalangan yang terpeleset karena sesuatu yang ditemukan dalam kitab-kitab Tasawuf, sebagai rahasia tersembunyi, lantas menafsirkan menurut selera mereka tanpa adanya pendalaman hakikatnya, bahkan mereka memahami menurut perspektif mereka sendiri, menurut pengetahuan mereka yang terbatas dan dangkal. Tanpa mereka mau merujuk pada wacana dunia Tasawuf yang terang dan jelas yang tidak melanggar syariat. Mereka tidak menerjemahkan melalui pandangan kaum Sufi sendiri terhadap hal-hal yang tersembunyi itu.

Mereka ini semisal orang yang dalam qalbunya ada penyimpangan dan penyakit jiwa, lalu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang Mutasyabihat dengan penafsiran dangkal mereka yang menyimpang, tanpa mereka memahami ayat-ayat Muhkamat (tegas) dan jelas makna dan tujuannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dialah yang menurunkan kepadamu Kitab, darinya ada ayat-ayat Muhkamat dan disanalah ada Ummul Kitab, dan ayat lain bersifat Mutasyabihat. Sedangkan mereka yang hatinya ada penyimpangan, mereka mengikuti yang kabur dari ayat itu demi menimbulkan fitnah dan meraih rekayasa pemahaman.”

Karena itu agar tidak disalahpahami, sejumlah Ulama Sufi menjelaskan berbagai rahasia Tasawuf dalam kitab-kitabnya, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby dalam kitabnya Al-Futuhatul Makkiyyah dan Ar-Risalah oleh al-Qusyairy.

http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=293:mereka-yang-memusuhi-dunia-sufi&catid=83:pledoi-sufi&Itemid=301

Rekayasa Tuduhan Terhadap Ulama Sufi

Banyak kalangan yang terus menerus menuduh kaum Sufi terutama para Ulamanya, melalui berbagai rekayasa dan kalimat-kalimat, wacana yang disandarkan kepada para Ulama tersebut, sehingga mengesankan betapa para Ulama Sufi telah sesat. Rekayasa yang penuh dengan kezaliman ini telah disebarkan oleh musuh Islam, sekaligus mereka yang anti tasawuf.

Di bawah ini ilustrasi yang cukup otentik atas rekayasa tersebut:
Dalam Thobaqotnya, Ibul Farra’ mengutip dari Abu Bakr al-Maruzy, bahwa mereka (para perekayasa) telah banyak meriwayatkan berbagai masalah, kemudian masalah-masalah itu diidentifikasikan sebagai pandangan Ahmad bin Hambal. Dalam masalah ini mereka menuturkan:
“Dua orang yang saleh telah diuji melalui lingkungan sahabatnya yang buruk. Ja’far as-Shodiq dan Ahmad bin Hambal. Adapun Ja’far ash-Shodiq, karena banyak wacana yang disandarkan padanya, yang telah dikodifikasi dalam fiqih Syia’ah Imamiyah, bahwa pandangan itu adalah ucapan Ja’far ash-Shodiq, padahal beliau sama sekali tidak pernah mengatakannya. Sedangkan terhadap Imam Ahmad bin Hambal, sejumlah Ulama Hambali mengidentikkan pandangan mereka sebagai pandangan Imam Ahmad padahal sama sekali bukan.”

Suatu hari Imam Al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitsamy ra, ditanya mengenai akidah pengikut mazhab Hambal, “Apakah ada yang tesembunyi dibalik kemuliaan ilmu anda, apakah akidah kaum hambali itu seperti akidah Imam Ahmad bin Hambal?”
Ibnu Hajar menjawab, “Akidah imam Sunnah Ahmad bin Hambal ra, — dan semoga Allah meridloi dan menjadikan syurga ma’rifat sebagai tempatnya yang luhur, dan semoga berkahnya melimpah kepada kita, semoga Allah menempatkan di syurga firdausnya yang tinggi di SisiNya – adalah akidah yang relevan dengan Ahlussunnah wal-jamaah, terutama dalam penyucian Allah Ta’ala, — jauh dari apa yang dikatakan oleh kaum zalim, dan para penentangnya—jauh dari arah dan fisik dan sebagainya, bahkan jauh dari segala sifat yang kurang dari keparipurnaan absolut. Apa yang dipopulerkan secara dusta dan bodoh yang dikaitkan pada Imam Ahmad yang agung ini, bahwa Allah itu berarah dan dan berfisik adalah kedustaan dan kebohongan. Tentu bagi orang yang mengaitkan pada Imam Ahmad harus dilaknat. (Lihat al-Fatawa al-Haditsiyah, Ibnu Hajar al-Makky hal. 148)

Rekayasa juga dialamatkan pada Imam Ali bin Abi Thalib Karromallahu Wajhah, dimana Kitab Nahjul Balaghah dan yang lain yang selama ini tersebar, katanya dari ucapan Imam Ali. Adz -Dzahaby menyebutkan dalam biografi Ali bin al-Husain asy-Sayrif al-Murtadlo, sesungguhya: (adalah beliau yang meragukan kitab Nahjul Balaghoh dan orang yang menelaahnya harus dipastikan atas kebohongannya bahwa hal itu dari Amirul Mukminn Ali bin Abi Thalib. Di dalamnya menjadi sebab kontradiksi dan permusuhan terhadap dua pemuka sahabat Nabi Abu Bakr dan Umar bin Khoththob, ra, dan di dalam kitab itu penuh dengan antagonisma dan wacana dimana bagi orang yang sangat mengerti nafas sahabat Quraisy dan sahabat lainnya, pasti akan mengatakan bahwa kitab itu lebih banyak batilnya.” (Mizanul I’tidal, adz-Dzahaby, juz 3, hal 124)

Ulama Sufi yang dituding melalui rekayasa, antara lain Imam Asy-Sya’roni, khususnya dalam Thobaqotul Kubro, dan hal demikian juga diungkapkan dalam Lathoful Minan wal-Akhlaq, “Diantara anugerah Allah kepada diri saya adalah kesabaran saya atas cobaan orang-orang dengki pada saya, lalu mereka membuat rekayasa seakan-akan saya berkata suatu perkara yang bertentangan dengan syariat. Lalu mereka berfatwa, dengan kedustaan dan kebohongan sampai saya harus dilaporkan ke raja.
Perlu anda ketahui saudaraku, cobaan pertama yang menimpaku ketika di Mesir adalah rekayasa kebohogan itu.

Sejarawan besar Abdul Hayy bin Imad al-Hambaly dalam kitabnya Syadzarotuz Dzahab, menghenai biografi asy-Sya’rony ini, “Dia adalah Ulama yang mendapat kedengkian dari berbagai kalangan, lalu sejumlah wacana dikait-kaitkan pada beliau dengan dusta, seakan-akan beliau menentang syariat, bahkan dengan akidah yang menyimpang, serta masalah yang kontra dengan Ijma’ Ulama. Sampai akhirnya asy-Sya’roni dicaci maki, dihina, dan dilempari berbagai tuduhan. Namun Allah justru menghina mereka itu semua, dan terbukti bahwa Asy-Sya’rony bebas dari tuduhan, karena asy-Sya’roni sangat ketat pada Sunnah, wara’, bahkan ia sangat sederhana termasuk pakaiannya, senantiasa prihatin, dan waktunya dihabiskan untuk ibadah, menulis kitab, suluk dan meraih manfaat. Siang malam zawiyah sufiya sangat ramai, dan setiap malam jum’at senantiasa menghidupkam malam itu dengan penuh sholawat Nabi saw, dan terus menerus dilakukan, demi mengagungkan junjungan jiwa, hingga akhir hayatnya beliau.”

Imam al-Ghazaly, telah dilempar rekayasa oleh lawan dan musuhnya dengan berbagai naskah yang disandarkan sebagai karyanya. Al-Qodly ‘Iyadh akhirnya membakar naskah tersebut. Asy-Sya’rani mengatakan: “Hal yang direkayasakan pada Imam Hujjatul Islam al-Ghazaly dan disebarluaskan adalah ungkapan mereka bahwa al-Ghazali berkata: (Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai hamba-hamba, manakala hamba-hamba ini meminta kepada Allah agar kiamat tidak terjadi, Allah tidak bakal menciptakan kiamat. Sebaliknya Allah juga punya hamba-hamba jika para hamba ini memohon agar kiamat terjadi saat ini, Allah akan mengkiamatkannya.”

Banyak sejumlah Kitab yang dikait-kaitkan oleh nama besar Al-Ghazaly yang ditulis oleh kaum antagonis. Diantaranya sejumlah kitab yang kontra terhadap Ahli Sunnah wal-jamaah, lalu kitab itu ditelaah oleh Syeikh Badruddin Ibnu Jama’ah, kemudian beliau berkomentar, “Demi Allah, ini dusta, dan sangat keterlaluan mengaitkan kitab ini pada Hujjatul Islam.”

Syeikhul Akbar, Muhyiddin Ibu Araby sebagaimana disbeut Asy-Sya’rany, pernah dituding melalui rekayasa musuh-musuh Islam. Padahal Ibnu Araby sangat tegas berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah, hingga beliau berkata, “Setiap perkara yang terlempar dari timbangan syariat sedikit saja dari tangannya, ia bakal hancur…” sampai kata-katanya, “Dan inilah akidah Jama’ah sampai kiamat…”

Sedangkan sejumlah wacana yang tidak bisa difahami khayalak, semata-sama karena tingginya tahapannya. Sementara seluruh kata-katanya yang kontra terhadap syariat, dan Jumhur, sesungguhnya merupakan kata-kata rekayasa yang diidentikkan sebagai kata-katanya oleh lawan-lawannya, sebagaimana dikabarkan padaku oleh Syeikh Abnu Thohir al-Maghriby yang tinggal di Makkah al-Mukarromah. Kemudian beliau mengeluarkan manuskrip Al-Futuhat al-Makkiyyah tulisan Syeikh di kota Quniah, untuk dibandingkan dengan naskah yang pernah saya kaji. Justru saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang semula saya harus mauquf (diam) dan saya buang ketika saya membuat ikhtisar (ringkasan) al-Futuhat. Lalu aku jadi faham, bahwa mereka orang-orang dengki itu telah merekayasa tudingan keji terhadap syeikh dengan memasukkannya dalam kitabnya, seperti yang dilakukan terhadap diri saya. Itulah peristiwa yang pernah saya saksikan sendiri dalam zaman saya. Semoga Allah mengampuni kita dan mereka semua.”

Diantara kata-kata yang diidentikkan pada Ibnu Araby dari musuh-musuhnya yang menyelipkannya dalam Al-Futuhat adalah bahwa beliau berkata, “Ahli neraka itu sangat menikmati masuk neraka itu sendiri, dan manakala mereka keluar dari neraka, justru mereka merasa tersiksa.”

Asy-Sya’rani berkomentar, “Jika ditemukan hal seperti itu dalam salah satu kitabnya, maka jelas ucapan itu adalah rekayasa musuh. Sebab berkali-kali saya telaah kitab Al-Futuhatul Makkiyyah secara keseluruhan, semuanya menegaskan bahwa Ibnu Araby menegaskan adanya siksa pada ahli neraka.”

Karena itu menelaah karyanya harus hati-hati, sebab banyak yang diselipi kata-kata musuh untuk menghancurkan Ibnu Araby dalam kitab-kitabnya, khususnya kitab Futuhat dan Fushus.
Lebih-lebih kalau kita baca karya para orientalis yang menganalisa Ibnu Araby dan karya-karyanya, mereka lebih banyak salah faham atas wacananya. Karena itu untuk menelaah kitabnya, usahakan dari karya orisinal yang berbahasa Arab.

Diantara rekayasa yang pernah dilemparkan, antara lain tehadap Imam Syeikh Ibrahim ad-Dasuqy. Ra, melalui kata-katanya, “Tuhanku telah mengizinkan diriku untuk berkata dan aku mengatakan, Akulah Allah. Maka Allah berkata kepadaku, “Katakan: Akulah Allah dan aku tak peduli…”
Ini sungguh kata-kata yang diselipkan oleh musuh Sufi besar ini, seakan-akan kata-kata beilau.

Rabiah Adawiyah, wali perempuan yang begitu hebat juga sempat dituding melalui rekayasa kata-kata yang diidentifikasikan padanya, tentang Ka’bah, “Inilah Berhala yang disembah di muka bumi”.

Bahkan Ibnu Taymiyah malah menolak jika kata-kata itu dari Rabiah Adawiyah. “Apa yang disebut dan dikaitkan pada Rabiah mengenai ucapannya, Ini adalah Berhala yang disembah di muka bumi, adalah ungkapan dusta dari para pendengkinya terhadap wanita yang taqwa ini. Seandainya saja ada orang bicara seperti itu pasti dia kafir, jika bertobat diterima, jika tidak, bisa dihukum bunuh. Jelas kalimat yang dikaitkan padanya adalah kebohongan. sebab Baitullah tidak pernah disembah umat Islam, tetapi ummat menyembah Tuhannya Baitullah melalui Thawaf dan sholat kepadaNya.”

Kita semua bisa menyimpulkan kenapa selalu ada rekayasa pendustaan terhadap Islam melalui wacana yang dikaitkan tokoh-tokoh Islam, apalagi berhubungan dengan dunia ufi yang merupakan Ruh Islam?

Karena jika Ruhnya dimatikan, bangtunan Islam akan roboh. Mereka musuh-musuh Islam itu hendak mematikan cahaya Allah sebagaimana disebut oleh Allah, “Mereka hendak emmatikan Nur Allah melalui ucapan meeka, padahal Allah justru menyempurnakan cahayaNya, walaupun hal itu dibenci oleh orang-orang kafir.”

http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=294:rekayasa-tuduhan-terhadap-ulama-sufi&catid=83:pledoi-sufi&Itemid=301

Salah Faham Dalam Mengartikan Wacana-wacana Sufi

Diantara tudingan yang dilontarkan oleh mereka yang anti tasawuf adalah kata-kata atau wacana yang muncul dari Ulama sufi yang dianggap menyimpang dari Qur’an dan Sunnah. Kedalaman-kedalaman Hikmah yang muncul dari ucapan para Sufi ternyata diartikan secara general

dan tekstual begitu saja sehingga menimbulkan salah paham, baik bagi para Sufi pemula maupun mereka yang sejak awal mencari-cari kesalahan dan kelemahan Tasawuf.

Syeikh Abdul Qadir Isa al-Halaby, menulis secara khusus untuk menjawab mereka yang kontra dengan masalah ini dalam kitabnya Haqaiq ‘Anit-Tashawwuf. Katanya:
Apa yang kita lihat dalam kitab-kitab Tasawuf ada beberapa hal yang tampak bertentangan dengan lahiriyahnya nash Syari’at. Hal itu bisa disebabkan oleh latar belakang berikut:
Pertama, wacana itu dipalsukan oleh mereka yang kontra, kemudian disandarkan pada Sufi tertentu. Para pemalsu ini muncul dari kaum Zindiq dan mereka yang dengki dengan dunia Sufi, serta musuh-musuh Islam.

Kedua, memang wacana itu benar adanya, tetapi untuk memahaminya membutuhkan takwil. Karena para Sufi berbicara dengan bahasa isyarat, metafora atau peribahasa, sebagaimana kita jumpai pada kata-kata dalam bahasa Arab yang penuh dengan metafor, seperti misalnya dalam Al-Qur’an ada ayat:
Dan firman Allah Ta’ala:
“Dan bertanyalah pada desa”
(maksudnya penduduk desa)

“dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan?”
(Al An-am 122) (maksudnya adalah matinya hati, lalu Allah mengghidupkannya)

“Agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya”
(maksudnya dari kegelapan kekafiran menuju cahaya iman)
Dan banyak ayat Al-Qur’an yang membutuhkan takwil, tidak dipahami begitu saja menurut tekstualnya, karena kebiasaan sastra Arab yang menggunakan kekuatan bahasa metaphor. Jika kita fahami indikator dan makna dibalik ayat tersebut baru kita menerima takwil yang sesungguhnya, sehingga unsur kontradiktif bisa sirna.
Seperti dalam suatu ayat:

“Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (Al-Qoshosh: 56)

Dan di ayat lain disebutkan:
“Dan sesungguhnya kamu menunjukkan kepada jalan yang lurus” (Asy-Syuro: 52)

Bagi orang yang tidak memahami tafsir seakan-akan dua Nash itu bertentangan, karena ayat pertama menafikan Rasul SAW dari pemberi hidayah, dan ayat kedua Rasul SAW berhak memberi petunjuk. Tetapi kalau kita bertanya kepada ahli dzikr pasti terjawab, bahwa pada ayat pertama bermakna sebagai pencipta hidayah, dan ayat kedua bermakna sebagai pemberi ajaran tentang hidayah. Sehingga kedua Nash tersebut tidak bertentangan.

Banyak pula kita jumpai dalam Hadits-hadits Nabi saw, yang tidak bisa difahami menurut tekstualnya, tetapi harus ditakwili dengan pemahaman yang selaras dengan syariat dan relevan dengan Al-Qur’an. Dalam konteks inilah Asy-Sya’roni menegaskan: “Para ahli kebenaran sepakat untuk mentakwili hadits-hadits Sifat, seperti hadits: “Tuhan (Tabaroka wa-Ta’ala) kita turun setiap malam ke langit dunia sampai tersisa sepertiga malam terakhir, lalu befrirman: “Siapa yang berdoa kepadaKu niscaya Aku kabulkan…Siapa yang meminta kepadaKu niscaya Aku beri….Siapa yang memohon apmunan kepadaKu niscaya Aku ampuni” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Sementara mereka yang tersesat memaknai sesuai dengan teksnya, dan berkata di atas podium, lalu ia dari podium itu, sembari berkata kepada publik: “Tuhanmu turun dari KursiNya ke langit seperti saya turun dari podiumku ini.” Jelas, pandangan ini sangat bodoh dan menyesatkan. (lihat Attashawwuful Islamy was-Sya’rany, Thoha Abdul Baqi Surur, hal 105)
Misalnya pula dalam hadits Nabi, “Sesungguhnya Allah menjadikan Adam menurut rupaNya.” (Hr. Muslim)

Menurut Ibnu Hajar Al-Haitsamy ra, harus ditakwili: “Benar bahwa dlomir (kata ganti) itu kembali kepada Allah Ta’ala sebagaimana lahiriahnya ayat. Dan hal itu harus ditegaskan dimaksud dengan “rupa” adalah “Sifat”. Yakni sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan Adam menurut Sifat-sifatNya, antara lain sifat Ilmu, Qudrat dan lain sebagainya. Hal ini dikuatkan hadits Aisyah ra, “Akhlak Rasulullah saw, adalah Al-Qur’an.” (hr. Musmim) Dan hadits, “Berakhlaklah dengan Akhlaq-akhlak Allah Ta’la”.

Indikasi hadits tersebut sepenuhnya adalah mensucikan akhlaq dan sifat-sifatnya dari segala kekuarangan agar bisa menjadi asas bagi semainya Akhlaq Tuhannya, yakni Sifat-sifatNya. Sebab kalau tidak ditakwili dengan Sifat itu maka akan terjadi kontradiktif antara Yang Maha Qodim dengan yang hadits (baru).

Dengan statemen ini ditegaskan bahwa hadits tersebut memberikan pujian pada Adam as, dimana Allah memberikan sifat-sifat pada Adam seperti Sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena itu sebagaimana pandangan para Ulama, haruslah ditakwili pada hadits yang kata gantinya tersebut langsung pada Allah Ta’ala. Berbeda dengan mereka yang sesat memahami hadits tersebut, semoga Allah melindungi kita dari semua itu.

Al-‘Allamah al-Munawi dalam syarahnya terhadap Al-Jami’ush-Shoghir mengatakan, mengenai hadits Nabi saw, “Sesungguhnya Allah berfirman di hari kiamat, “Wahai manusia Aku sakit tai kamu tidak menjengukKu. Manusia berkata, “Bagaimana aku menjengukMu, sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Allah menjawab, “Ketahuilah jika hambaKu si fulan sakit lalu kenapa tidak menjenguknya? Ketahuilah, sesungguhnya jika kamu menjenguk si fulan, niscaya kamu menemuiKu di sisi fulan itu….(sampai akhir hadits, Hr Muslim).

http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=295:salah-faham-dalam-mengartikan-wacana-wacana-sufi&catid=83:pledoi-sufi&Itemid=301

1 komentar:

  1. Tidak ada yang linuwih,
    Selain ‘Gusti Allah’
    Oleh sebab itu hidup haruslah nastiti
    Karena badan ini ada batasnya
    Orang hidup seperti mampir
    Untuk minum, karena dahaga (kepanasan)
    Harus diingat-ingat
    Jika orang hidup ini seperti ‘LELAKON’ yang harus dimengerti
    Jika hidup ini ada yang MENCIPTAKAN

    BalasHapus