Jumat, 16 Oktober 2009

Tauhid


Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:
“Dan Tuhan kamu sekalian adalah Tuhan Yang Esa. (Q.s. Al-Baqarah:163).

Rasulullah saw bersabda:
‘Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja. Orang tersebut berwasiat pada keluarganya, ‘Bila aku mati, bakarlah aku. dan hancurkanlah diriku, kemudian taburkan separo tubuhku di darat dan separonya lagi di laut pada saat angin kencang.’Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah swt. berfirman pada angin, ‘Kemarikan apa yang kamu ambil.’ Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Allah swt. bertanya pada orang tersebut, Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?’ Dia menjawab, ‘Karena malu kepada-Mu.’ Kemudian Allah swt. mengampuni¬nya.” (H.r. Bukhari).

Tauhid adalah suatu hukum bahwa sesungguhnya Allah swt. Maha Esa, dan mengetahui bahwa sesuatu itu satu, bisa dikatakan tauhid pula. Dikatakan, Wahhadathu, apabila Anda menyifati-Nya dengan sifat Wahdaniyah. Seperti dikatakan, “Anda berani dengan si Fulan bila Anda dihubungan dengan sifat keberanian (syaja’ah).”
Dari segi etimologi (lughat) disebutkan, wahhada, yahiddu, fahuwa waahid, wahd dan wahiid. Seperti diucapkan: farrada fahuwafaarid, fard dan fariid. Akar kata Ahada, adalah wahada, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana huruf-huruf yang di-kasrah dan di-dhammah diganti.

Makna eksistensi Allah swt. sebagai bersifat Esa didasarkan ucapan ilmu.
Dikatakan, “Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk disifati dengan penempatan dan penghilangan.” Berbeda dengan ucapan Anda, manusia satu, berarti Anda mengatakan, `manusia tanpa tangan dan tanpa kaki’, sehingga dibenarkan hilangnya sesuatu dari organ manusia. Sedangkan Allah swt. adalah Ketunggalan Dzat.

Sebagian ahli hakikat berkata, “Arti bahwa Allah swt. itu Esa, adalah penafian segala pembagian terhadap Dzat; penafian terhadap penyerupaan tentang Hak dan Sifat-sifat-Nya, serta penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi dan Cipta-Nya.”

Tauhid ada tiga kategori: Pertama, tauhid Allah swt. bagi Allah swt, yakni ilmu-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah Esa. Kedua, tauhidnya Allah swt. terhadap makhluk, yaitu ketentuan-Nya, bahwa hamba adalah yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau disebut tauhidnya hamba. Ketiga, tauhidnya makhluk terhadap Allah swt. yaitu pengetahuan hamba bahwa Allah swt. Yang Maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa. Ketentuan dan Khabar dari-Nya, menegaskan bahwa Dia adalah Maha Esa. Semua wacana ini mengandung artian tauhid dalam ungkapan yang ringkas.
Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang tauhid, la berkata, “Hendaknya engkau ketahui bahwa kekuasaan Allah terhadap makhluk ini tanpa ada campur tangan; cipta-Nya terhadap segala sesuatu tanpa unsur luar; tak ada sebab langsung segala yang ada adalah ciptaan-Nya; ciptaan-Nya pun tidak ada cacat. Setiap yang terproyeksi dalam gambaran jiwamu (tentang Allah), maka Allah swt. pasti berbeda.”
Ahmad al Jurairy berkata, “Tidak ada bagi ilmu tauhid kecuali sekadar ucapan tentang tauhid saja.”

Al-Junayd ditanya seputar tauhid, jawabnya, “Menunggalkan Yang Ditunggalkan melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya, dengan Keparipurnaan Tunggal-Nya, bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dengan menafikan segala hal yang kontra, mengandung keraguan dan keserupaan; tanpa keserupaan, tanpa bagaimana, tanpa gambaran dan tamsil. Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” A1 Junayd berkomentar, “Bila akal para pemikir sudah mencapai ujungnya dalam tauhid, akan berujung pada kebingungan.” Saat kembali ditanya soal tauhid, al Junayd menjawab, “Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dan di dalamnya terkandung sejumlah ilmu. Sedangkan Allah sebagaimana Ada-Nya.”

Al-Hushry berkata, “Prinsip amaliah tauhid kita mendasarkan pada lima hal: Menghilangkan sifat baru (hadits); menunggalkan Yang Qadim; menghindari teman (yang mungkar); berpisah dari tempat tinggal; dan melupakan apa yang diketahui dan tidak.”
Manshur al-Maghriby berkata, “Tauhid adalah menggugurkan seluruh perantara ketika terliput oleh perilaku ruhani, dan kembali kepada perantara itu di sisi hukum, sebab kebajikan-kebajikan tidak akan merubah pembagian, apakah celaka atau bahagia.”

Al Junayd ditanya soal tauhidnya kalangan khusus. Ia berkata, “Hendaknya hamba menengadahkan di sisi Allah swt.; di mana urusan-urusan Allah berlaku di sana dalam lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya dalam arungan samudera tauhid-Nya, melalui fana’ dari dirinya, fana’ dari ajakan makhluk dan menjawab ajakannya, melalui hakikat Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat kedekatan pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa dan geraknya karena Tegaknya Allah swt. sebagaimana kehendak-Nya: yaitu sang hamba dikembalikan pada awalnya. Sehingga la sebagaimana adanya, sebelum dirinya ada.”

Al-Busyanjy ditanya tentang tauhid, “Tidak adanya keserupaan Dzat dan tidak adanya faktor penafian sifat,” jawabnya.
Sahl bin Abdullah ditanya soal Dzat Allah swt. Dia menjawab, “Dzat Allah swt. disifati dengan sifat Ilmu, tetapi tidak bisa diterka melalui jangkauan, tidak terlihat melalui mata di dunia. Allah swt. maujud melalui kebenaran iman, tanpa dibatasi, jangkauan dan penjelmaan. Mata akan memandang di akhirat rianti, yang ‘Tampak di kerajaan dan kekuasaan-Nya. Makhluk telah tertirai dalam mengenal eksistensi Dzat-Nya. Namun Allah swt. menunjukan melalui ayat-ayat-Nya. Hati mengenal-Nya, sedang akal tidak menemukan-Nya. Orang-orang yang beriman melihat-Nya dengan matahati tanpa adanya jangkauan dan penemuan ujungnya.”

Al-Junayd berkata, “Kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah apa yang telah diucapkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a, `Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untukmengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya mengenal-Nya’.”
Al-Junayd mengomentarinya, “Dimaksudkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. bahwa Allah swt. itu tidak bisa dikenal. Sebab rrienurut ahli hakikat, yang dimaksud dengan tak berdaya, adalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam arti tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di dalamnya. Begitu pula orang yang `arif (mengenal Allah swt.) tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu maujud di dalam dirinya, karena sifatnya yang langsung. Menurut kalangan Sufi, `Ma’rifat kepada Allah swt. pada ujung terakhirnya adalah bersifat langsung. Ma’rifat yang dilakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma’rifat itu mencapai hakikat.’ Ash-Shiddiq r.a. sedikit pun tidak memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan cahayanya membias pada lampu itu.”

Al-Junayd berkata, “Tauhid yang dianut secara khusus oleh para Sufi, adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari yang hadits, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutus segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun tidak diketahui, dan Allah swt. berada dalam keseluruhan.”
Yusuf ibnul Husain berkata, “Siapa yang tercebur dalam samudera tauhid, tidak akan bertambah dalam waktu yang berlalu, kecuali rasa dahaga yang terus menerus.”
Ada seseorang berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin Manshur, “Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana yang ditunjukkan kaum Sufi?” Husain menjawab, “Dia-lah Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak disebabkan oleh apa pun.”
Al-Junayd berkata, “Ilmu tauhid memisah dengan eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya.”Al-Junayd berkata pula, “Ilmu tauhid melipat hamparannya sejak duapuluh tahun. Sedangkan manusia sama-sama membincangkan dalam hatinya.”

Dulaf asy-Syibly berkata, “Siapa yang melihat sebiji sawi ilmu tauhid, ia akan lunglai membawa sisa-sisa kulitnya, karena berat bebannya.”
Dulaf as-Syibly ditanya tentang tauhid yang hanya diucapkan melalui lisan kebenaran secara tersendiri. Beliau berkata, “Celaka Anda! Siapa yang menjawab tauhid melalui ungkapan ibarat, dia telah menyimpang. Dan siapa yang menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut dualisme. Siapa yang menunjukkan lewat isyaratnya pada tauhid, berarti ia penyembah berhala. Siapa yang bicara dalam tauhid, berarti ia alpa. Namun siapa yang diam dari tauhid, berarti dia bodoh. Siapa yang menganggap dirinya telah sampai kepada-Nya, berarti dia tidak sukses. Barangsiapa merasa dirinya dekat dengan-Nya, sebenarnya ia jauh dari-Nya. Siapa saja yang merasa menemukan-Nya, berarti telah kehilangan. Semua yang Anda istimewakan melalui pandang khayal Anda, dan Anda temukan melalui akal dalam pengertian yang lebih sempurna, maka sebenarnya semua itu terlempar dan tertolak pada Anda. Semua merupakan sesuatu yang dicipta dan terbuat seperti eksistensi Anda sendiri.”

Yusuf ibnul Husain berkata, “Tauhidnya orang khusus, yaitu tauhid itu total dengan batin, ekstase dan kalbunya. Seakan-akan ia berdiri di sisi Allah swt. mengikuti aliran yang berlaku dalam aturan-Nya dari hukum-hukum Qudrat-Nya, mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa karena tegak-Nya Al-Haq Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-Nya. Maka, sebagaimana dikatakan, bahwa la hendaknya berada dalam arus ketentuan Allah swt.”

Dikatakan, “Tauhid hanya bagi Allah swt, sedangkan makhluk hanyalah benalu.”
Dikatakan, “Tauhid berarti menggugurkan `keakuan’, karenanya jangan bicara: `bagiku, denganku, dariku dan kepadaku’.”
Abu Bakr ath-Thamastany ditanya, “Apakah tauhid itu?” Beliau menjawab, “Yaitu tauhid, muwahhad dan muwahhid, semuanya berjumlah tiga.”
Ruwaym bin Ahmad berkata, “Tauhid berarti melebur unsur-unsur kemanusiaan, dan manunggal dengan Ketuhanan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata menjelang akhir hayatnya, di saat sakitnya mulai parah, “Salah satu tanda keteguhan hati, adalah memelihara tauhid dalam waktu-waktu ketentuan hukum.” Kemudian beliau berkata seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa yang terjadi dalam perilaku ruhaninya, “Yaitu Anda dipotong oleh gunting-gunting takdir, dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan, sepotong-sepotong, sedang Anda tetap bersyukur dan memuji.”

Asy-Syibly berkata, “Tak akan mencium bau tauhid, orang yang tergambar dalam dirinya sesuatu tentang tauhid.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata, “Tahap mula bagi orang yang menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya adalah fana’ dari ingatan atas segala hal dari hatinya, kecuali hanya kepada Allah swt.”
Asy-Syibly berkata pada seseorang, “Apakah Anda mengerti, mengapa tauhid Anda tidak sah?” Maka dijawab sendiri oleh asy-Syibly, “Karena Anda mencarinya melalui diri Anda.”

Ibnu Atha’ berkata, “Tanda-tanda hakikat tauhid adalah melupakan tauhid, yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan tauhid hanya Satu.” Dikatakan, “Pada diri manusia ada segolongan yang dalam tauhidnya terbuka melalui perbuatan, melihat segala ciptaan ini bersama Allah swt. Diantaranya ada yang terbuka melalui hakikat, sehingga perasaannya membuang segala hal selain Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al Jam’u) secara batin melalui batin. Dan lahiriahnya, melihat lewat deskripsi keragaman.”
Al-Junayd ditanya tentang tauhid, “Aku mendengar orang bersyair:
Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
dan mereka sebagaimana kami ada.”

Ditanyakan kapada Al-Junayd, “Keahlian Anda (di bidang) Al-Qur’an dan Hadis?” Al-Junayd menjawab, “Tidak. Tetapi orang yang menunggalkan-Nya meraih tauhid tertinggi dari ucapan terendah dan teringan.”

http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=364:tauhid&catid=85:artikel&Itemid=281

Tidak ada komentar:

Posting Komentar