Rabu, 14 Oktober 2009

Tiga Ranting Hijau



Alkisah pada zaman dahulu kala ada seorang pertapa yang tinggal di sebuah hutan belantara di sebuah kaki gunung, sepanjang hari ia mengisi hidupnya dengan berdo’a dan berbuat kebajikan.


Demi menyembah Sang Pencipta, setiap malam ia harus memikul air ke gunung.


Karena pertapa itu begitu tulus, seorang malaikat Tuhan yang belas kasih muncul, dan setiap hari pergi ke gunung bersama menemani pertapa ini, menghitung-hitung langkah pertapa, setelah pertapa itu selesai kerja, sang malaikat lalu memberinya makanan.

Pertapa ini tetap begitu tulus, hingga akhirnya usianya pun sudah senja. Suatu ketika, dari kejauhan samar-samar ia melihat seorang penjahat yang malang dibawa ke atas tiang gantungan, dan terdengar ia bergumam tanpa sadar:
“Orang itu memang pantas mendapat hukuman! Karena dia sangat jahat dan telah merugikan banyak orang, itu memang balasan yang setimpal” gumamnya dengan gemas.

Tepat pada malam itu, ketika ia memikul air ke gunung, malaikat yang kerap bersamanya sudah tidak kelihatan, dan selanjutnya juga tidak mengantar makanan lagi untuknya. Dia menjadi takut, kemudian segera introspeksi diri, ia merenung dirinya pasti telah melakukan kesalahan, dan membuat marah Sang Ilahi, ia bepikir keras tapi tidak tahu apa kesalahannya. Lalu ia pun tidak makan dan minum, merebahkan diri di atas tanah, dan memanjatkan do’a siang malam. Dia bertanya kepada Tuhannya apa kesalahan yang dia perbuat sehingga Tuhan memberinya hukuman.

Suatu hari, saat ia masih sedih dan menangis di hutan, ia mendengar suara nyanyian seekor burung yang sedang bersenandung dengan penuh perasaan, suaranya begitu merdu, dan perasaannya semakin pilu sesaat itu sembari berkata :
“Oh, melihat begitu gembiranya kamu menyanyi, Tuhan tidak marah padamu! Seandainya kau dapat memberitahu apa kesalahanku pada-Nya, agar aku bisa menebus kesalahanku, dengan begitu hatiku baru bisa tenang dan bersuka ria.”

Burung itu menuturkan, “Kau telah berbuat hal yang tidak sejati, kau menyumpahi seorang penjahat yang dibawa ke tiang gantungan, karena itu Tuhan marah, hanya Dia yang memiliki hak untuk memutuskan! Dan kau adalah makhluk Tuhan tidak pantas melakukannya tapi, asalkan kamu menyesali dan memperbaiki kesalahan, maka Tuhan akan mengampuni kesalahanmu itu.” Pertapa itu menjadi termangu setelah mendengar penuturan burung itu, ia lalu teringat kesalahan yang dia lakukan saat itu. Dan ia sungguh-sungguh menyesal dan ingin menebusnya, tapi bagaimana caranya? Dia bertanya-tanya dalam hati.

Diapun kembali berdoa dan meminta ampun kepada Tuhan atas kesalahannya itu. Setiap hari ia berdoa dan mohon agar diberi petunjuk agar ia dapat menebus kesalahannya. Setiap hari pula dia terus diusik oleh perasaan itu. Dan ia menangis sedih memohon kepada Tuhan agar diberi kesempatan. Dan sampai pada suatu hari………

Malaikat muncul kembali di sisinya, tangannya menggenggam sebatang ranting pohon, dan berkata :
“ Hai pertapa Tuhan mendengar doamu yang tulus, Tuhan akan mengampuni segala namun ada syarat yang harus kamu lakukan. Apakah kamu sudah siap untuk menjalankannya? ” Malaikat diam sejenak menanti jawaban dari pertapa itu. Pertapa itu memandang malaikat itu dengan hati yang bulat dia menjawab: “Apapun hukuman yang Tuhan berikan kepada saya, saya bersedia menjalankannya.”

Sambil mengeluarkan sepotong dahan dan memberikannya kepada pertapa lalu malaikat berkata: “Sebaiknya kamu membawa dahan pohon ini, sampai tumbuh tiga tunas baru berwarna hijau di atasnya, tapi malam pada saat akan tidur, kau harus meletakkannya di bawah bantal. Selain itu, kau juga harus meminta sedekah dari rumah ke rumah untuk makanmu, tidak boleh menginap lebih dari satu malam di rumah yang sama. Inilah hukuman Tuhan untukmu.”

Pertapa menerima dahan itu, lalu kembali ke dunia yang lama ditinggalkannya. Lalu ia mulai menjalani perintah Tuhan sesuai dengan yang dikatakan oleh malaikat. Makanan yang diperolehnya adalah hasil sedekahnya. Namun, sejumlah besar orang-orang tidak peduli dengan sedekahnya, ada yang bahkan tidak membuka pintu sama sekali, sehingga terkadang ia bahkan tidak memperoleh roti sedikitpun.

Suatu ketika, seperti biasa pertapa kembali meminta sedekah dari rumah ke rumah, namun, sejak pagi hingga malam tidak ada satu pun yang memberinya sesuatu, tidak ada seorang pun yang bersedia menerimanya bermalam, akhirnya ia masuk ke dalam sebuah hutan, ia berjalan mencari tempat agar dia dapat berteduh malam ini, kemudian ia menemukan sebuah lubang buatan, setelah memeriksa lubang itu, ia melihat seorang nenek tua sedang duduk di dalam. Lalu ia berkata: “Nenek yang baik hati, izinkanlah saya menginap semalam saja di rumah Anda!” Nenek tua itu menjawab:
“ Maafkan saya pertapa, meskipun saya bersedia, tapi saya juga tidak berani memberi tempat kepadamu, saya mempunyai tiga orang anak laki-laki, mereka kejam dan jahat, sekarang mereka sedang pergi merampok, celakalah kita jika mereka pulang dan melihatmu di sini.” Nenek itu menjelaskan dengan nada sedih.

Pertapa itu berkata: “ Tolonglah saya untuk malam ini saja. Biarlah saya tinggal di sini! Percayalah mereka tidak akan sampai hati mencelakaimu dan aku.” Nenek tua itu orang yang baik, hingga hatinya pun tergugah. Ia lalu mengijinkan pertapa itu masuk. Setelah masuk ke dalam, pertapa itu lalu merebahkan diri di bawah tangga, dan tak lupa di bawah kepalanya terselip dahan pemberian malaikat. Melihat itu si nenek lalu bertanya mengapa ia meletakkan dahan dibawah bantalnya, apa sebabnya? Pertapa menceritakan pada nenek itu kalau dirinya mengembara ke mana-mana sambil membawa dahan itu untuk menebus kesalahannya, malam pada saat akan tidur dahan itu harus dijadikan sebagai bantal, pertapa itu juga menceritakan ini karena ia pernah melihat seorang penjahat yang malang di bawa ke atas tiang gantungan, dan ia mengatakan bahwa memang sudah sepantasnya penjahat itu menerima hukuman, karena itulah membuat Tuhan marah. Ia tidak sepatutnya berbuat demikian.

Setelah mendengar cerita itu si nenek menangis seraya berkata :
“Jika hanya karena kesalahan kecil, sepatah kata yang salah lantas Tuhan menghukummu, lalu bagaimana dengan nasib anak-anakku nanti saat diadili Tuhan?”

Malam sudah larut, ketika para penyamun itu pulang ke rumah sambil berteriak gaduh. Mereka menyalakan api, di dalam lubang seketika menjadi terang, dan kebetulan mereka melihat seseorang sedang berbaring di bawah tangga, seketika itu juga mereka menjadi sangat marah, dan berteriak-teriak sambil menghampiri ibu mereka :
“Ibu siapa dia? Bukankah kita telah melarang menerima siapapun di rumah ini?” ibunya berkata : “Jangan mengganggunya, dia orang yang malang, dan sekarang sedang menebus dosanya!” Para penyamun sontak bertanya: “Apa sih yang telah dilakukan Pak tua itu?” Mereka berteriak, “Hai Pak tua coba kamu ceritakan pada kami apa kesalahanmu?”

Kemudian pertapa itu bangkit dari pembaringan, lalu menceritakan kepada mereka tentang bagaimana dirinya yang dikarenakan kesalahan kecil telah membuat angkara Tuhan, dan kini ia sedang menebus dosa menyesali kesalahannya. Penuturan pertapa itu sangat menyentuh perasaan para penyamun, dan mereka menjadi sangat takut begitu menyadari semua kesalahan yang pernah mereka lakukan selama ini, lalu mulai introspeksi diri, menyesal dengan setulusnya, dan memutuskan untuk memperbaiki diri. Setelah pertapa itu membuat sadar ketiga penyamun tersebut, lalu ia berbaring kembali di bawah tangga.

Keesokannya, mereka mendapati pertapa itu sudah meninggal, dan di atas dahan kering yang menyangga kepalanya, tumbuh 3 ranting hijau muda yang panjang. Ternyata Tuhan kembali memancarkan kasihnya, dan membawanya ke surga.

Demikianlah cerita ini memberikan hikmah kapada kita bahwa setiap dosa yang kita lakukan tetap akan menuntut kita untuk menebusnya. Karena dosa itu tidak dapat hilang begitu saja meski itu hanya dosa kecil. Namun menyadari dan menyesal atas kesalahan itu lebih baik daripada mengabaikannya. (erabaru.or.id)*

http://erabaru.net/cerita-budi-pekerti/71-cerita-budi-pekerti/1072-tiga-ranting-hijau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar