Ada sebuah kisah nyata yang sempat dipublikasikan media massa.
Kisah cinta kasih dua sejoli berlainan agama, yang hanya karena tidak mendapat restu orang tua rela mengakhiri hidupnya di atas rel kereta.
Berkorban demi cinta, katanya. Dan sudah berapa banyak gadis-gadis perawan rela menyerahkan kegadisannya kepada kekasih yang dicintainya, sekali lagi, hanya karena alasan cinta. Demi cinta, kurelakan segalanya, katanya. Itulah cinta yang salah arah dan haluan yang akhhirnya kebablasan. Sebuah pengorbanan yang hanya mendatangkan penyesalan, tidak hanya di dunia tapi juga di hari kemudian.
Ya, berani bercinta memang harus berani berkorban untuk sesuatu yang dicintai.
Tidak berani berkorban, maka janganlah jatuh cinta. Tidak pernah jatuh cinta, maka bukanlah manusia. Karena yang namanya manusia pasti merasakan cinta. "Manusia dihiasi oleh rasa cinta kepada wanita, anak-anak dst". (QS.: 3;14).
Dan cinta di atas cinta tentunya hanya untuk Allah SWT., RasulNya dan jihad di jalanNya. (QS.:9;24).
Inilah contoh kisah cinta sejati dan pengorbanan hakiki yaitu kisah Ibrahim yang terukir dalam al-Qur'an. Setelah dia mengenal dan mengetahui siapa Tuhannya yang sesungguhnya, dia pun jatuh cinta kepadaNya (tak kenal maka tak sayang, kan).
Dan Tuhannya pun berkenan menyambut cintanya dan menjadikannya sebagai kekasihnya (khalilullah). "Dan Allah mengambil Ibrahim sebagai kekasihNya" (QS:4;125). Dan karena Ibrahim as paham benar apa itu cinta dan segala konsekuensinya, maka dia siap berkorban untuk sesuatu yang dicintainya karena memang cinta butuh pengorbanan. Namun tidak tanggung-tanggung, Ibrahim as diminta untuk mengorbankan putra kesayangan satu-satunya, belahan hati yang bertahun-tahun ditunggu kehadirannya, tapi ia rela, karena memang yang memintanya adalah Tuhannya, Kekasihnya.
Itulah sekelumit kisah cinta antara seorang hamba dengan Tuhannya, sebuah kisah yang benar-benar menyanyat jiwa, membikin pilu di hati, tapi penuh dengan nilai-nilai Rabbani. Sebuah pengorbanan dari pemahaman akan cinta yang sangat mendalam kepada Tuhan Rabbalalamin. Demikian pula yang pernah terjadi dengan Sumayyah ra, syahidah pertama dalam sejarah Islam. Ia rela mengorbankan jiwa raganya demi mempertahankan akidah yang dicintainya. Ali ra rela menjadi ganti Rasulullah SAW di tempat tidurnya sewaktu Rasul keluar untuk hijrah, padahal Ali tahu maut di depan mata mengancam jiwanya. Tapi demi Rasulullah SAW yang dicintainya, dia rela berkorban. Demikian halnya Abu Bakar al-Shiddiq ra yang rela tangan dan kakinya dipatok binatang-binatang berbisa, ketika berdua bersama Rasul di dalam gua, yang memang belum pernah terjamah tangan manusia. Dia tidak rela tubuh orang yang dicintainya dan dikasihinya tersentuh sedikitpun oleh binatang-binatang yang berbisa. Sebuah contoh pengorbanan yang tiada tara yang pernah dibuktikan pula oleh Rasul dan para sahabatanya, lewat perang-perang yang taruhannya hanyalah nyawa. Dan kini nilai-nilai pengorbanan ini pula yang dibuktikan lewat bom-bom istisyhad (bom-bom syahid) yang dilakukan muslimin Palestina. Mereka rela walau nyawa taruhannya karena mereka tidak ingin Islam yang dicintainya diinjak-injak zionis pembikin angkara murka di dunia.
Itulah cinta sejati, cinta hakiki, yang akan mendapat ridha ilahi rabbi. Cinta dan pangorbanan yang akan mendapatkan kenikmatan abadi di dalam surga nanti. Bandingkan dengan cerita di atas tadi. Sebuah gambaran cinta dan pengorbanan yang penuh birahi dan emosi. Sebuah pengorbanan yang tiada arti.
Ya, cinta memang butuh pengorbanan, tapi pengorbanan yang diridhai Tuhan.
Wallahu alam
Oleh Taisir, Lc
Mahasiswa Pasca sarjana Universitas al-Azhar, Kairo.
dikutip dari situs Studi Informasi Alam Islami - www.sinai.cjb.net
http://www.hudzaifah.org/Article98.phtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar