Kontroversi Audit Century, Dua Versi Satu Acuan
Meski sama-sama mengacu pada MoU Uni Eropa, BPK dan BI punya interpretasi berbeda soal analisis sistemik.
* * *
PEJABAT Sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution agak terbata-bata. Diurainya kata demi kata secuplik isi siaran pers yang dibacakannya saat menggelar konferensi pers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di gedung Departemen Keuangan pada 24 November lalu.
Kata-katanya tak lancar lantaran ia berbaik hati menyulihbahasan isi kutipan Nota Kesepahaman (MoU) Uni Eropa yang menjadi acuan bank sentral dalam melakukan analisis dampak sistemik Bank Century. “Saya terjemahkan saja ya,” ujarnya kepada para wartawan.
Darmin rupanya ingin agar pemahaman wartawan atas isi Nota itu tak meleset. Maklum, dalam laporan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan disebutkan bahwa institusinya telah melanggar isi nota itu.
BPK menyimpulkan tak ada kriteria terukur dalam penetapan dampak sistemik yang membuat Bank Century harus diselamatkan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang beranggotakan Gubernur BI dan Menteri Keuangan.
Analisis BI pun diragukan, karena tidak digunakannya indikator kuantitatif dalam mengukur dampak sistemik, selain pada analisis terhadap institusi keuangan. Akibatnya, keputusan penyelamatan Century pada 20 November 2008 yang menelan dana hingga Rp 6,7 triliun lebih didasarkan pada pertimbangan psikologi pasar.
Kesimpulan akhir BPK itu dibuat dengan mengacu pada isi MoU Uni Eropa atau Memorandum of Understanding on Cooperation between The Finacial Supervisory Authorities: On Cross-Border Financial Stability (1 Juni 2008).
Dalam MoU tersebut disepakati ada empat aspek sebagai dasar penentuan dampak sistemik, yaitu aspek institusi keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran dan sektor riil. Keempat-empatnya harus diukur dengan indikator kuantitatif.
Persoalannya, menurut BPK, BI hanya menggunakan indikator kuantitatif untuk aspek institusi keuangan. “Sedangkan untuk aspek lainnya lebih mendasarkan pada pertimbangan kualitatif,” begitu bunyi dokumen audit BPK setelah hampir 600 halaman itu. Akibatnya, kata BPK, “Assessment lebih banyak didasarkan pada judgement dan mengandung sejumlah kelemahan.”
Cacat lainnya, yaitu BI dianggap tidak konsisten dengan MoU itu karena mamasukkan aspek pertimbangan psikologi pasar. Ini membuat BI menyimpulkan bahwa kasus Bank Century bakal berdampak sistemik, yang dapat memicu gangguan di pasar keuangan dan sistem pembayaran.
Padahal, dari sisi aspek institusi keuangan dan sektor riil, pengaruh Bank Century tidak signifikan (low to medium impact). “Dari aspek institusi keuangan terlihat bahwa size Century tidak signifikan dibandingkan dengan industri perbankan nasional,” kata BPK, “namun, KSSK lebih memperhantikan aspek psikologi pasar.”
Berdasarkan wawancara dengan beberapa pejabat dan staf bank sentral, BPK juga terkesan meragukan digunakannya MoU Uni Eropa sebagai dasar analisis. “Dalam wawancara pada 11 September 2008, HA menjelaskan metode ini masih coba-coba,” BPK menuliskan dalam audit tersebut. Metode ini pun baru pertama kali digunakan ketika menganalisis dampak sistemik Century.
Berbagai kesimpulan inilah yang dibantah keras oleh Darmin dan Sri Mulyani. Dalam tanggapannya ke BPK, BI menegaskan ditambahkannya aspek psikologi pasar mengacu pada pengalaman krisis 1997/1998. Saat itu, penutupan 16 bank yang pangsa pasarnya hanya 2,3 persen dari total aset perbankan, ternyata mengakibatkan dampak berantai yang memicu krisis perbankan.
“Gangguan pada sektor keuangan dapat dengan cepat menjalar ke berbagai sektor lainnya, sehingga menciptakan ketidakstabilan sosial politik yang dapat dengan cepat mengganggu psikologi pasar dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat,” ujar BI.
Menurut Sri, judgement juga tidak bisa dikonotasikan negatif. Apalagi, penilaian pun dilakukan atas dasar data-data kuantitatif. “Saya tidak mengerti kenapa BPK menyatakan hanya qualitative judgement,” ujarnya. “Padahal ada sederet data kuantitatif yang digunakan.”
Darmin pun menyatakan, keputusan dibuat atas dasar pertimbangan kualitatif dan kuantitatif. Keduanya pun kemudian menyodorkan sederet angka-angka sebagai indikator rawannya ekonomi domestik saat keputusan penyelamatan Century dibuat.
Darmin justru balik mempertanyakan pemahaman BPK soal isi MoU Uni Eropa. Ia lantas mengutip halaman 34 MoU tersebut yang bunyi aslinya sebagai berikut:
“Prioritisation in the assessment. In the case of a rapidly unfolding crisis, one may need to focus the assessment on the most critical parts of the financial system….In such a situation, one may also need to place more reliance on qualitative judgements rather than on up-to-date quantitative information.”
Dari kutipan MoU itu, kata Darmin, cukup jelas bahwa penggunaan unsur penilaian kualitatif lebih penting ketimbang informasi kuantitatif yang up to date. “Pertimbangan yang mendasari MoU Uni Eropa itu tentu telah didasari baik oleh hasil kajian maupun pengalaman mereka dalam mencegah dan menangani krisis keuangan,” ujarnya.
SENGKARUT ANALISIS SISTEMIK
Badan Pemeriksa Keuangan mencatat sejumlah kelemahan dalam analisis dampak sistemik kasus Bank Century yang dibuat oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Salah satunya, kesimpulan yang lebih didasarkan pada judgement kualitatif. Sebaliknya BI dan pemerintah menganggap, kesimpulan BPK lah yang keliru. Alasannya, di balik keputusan itu, terdapat sederet data kuantitatif yang dijadikan dasar pertimbangan.
Temuan BPK
- Terdapat inkonsistensi BI dalam penerapan MoU Uni Eropa dengan penambahan aspek psikologi pasar ketika menganalisis dampak sistemik Century.
- BI tidak menggunakan indikator kuantitatif dalam menilai dampak di luar aspek institusi keuangan. Penilaian lebih didasarkan pada judgment.
- Proses pembuatan analisis dampak sistemik Century terkesan tergesa-gesa, karena hanya dibuat dalam dua hari dengan metode yang baru pertama kali digunakan dan belum pernah diuji coba.
- Data yang digunakan bukan data mutakhir karena per 31 Oktober 2008.
- KSSK tidak mempunyai kriteria terukur untuk menetapkan dampak sistemik Cetnury, tapi lebih mendasarkan keputusannya pada judgement.
- Dari aspek institusi keuangan, ukuran Century tidak signifikan dibandingkan industri perbankan nasional.
• Dana pihak ketiga 0,68%
• Kredit 0,42%
• Aset 0,72%
- KSSK lebih memperhatikan aspek psikologi pasar dalam menetapkan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
10 INDIKATOR SRI MULYANI
Selaku bekas Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Sri Mulyani baru-baru ini memaparkan 10 indikator yang menggambarkan betapa rawannya ekonomi domestik saat keputusan penyelamatan Century dibuat pada 20 November 2008.
1. Pasar uang dunia tertekan pasca kejatuhan Lehman Brothers dan lembaga keuangan global lainnya
2. Pasar saham dunia guncang. Indeks saham Jakarta merosot dari 2.830 (9 Januari 2009) menjadi 1.155 (20 November 2008)
3. Harga surat utang negara merosot ditandai dengan meroketnya yield dari sekitar 10% menjadi 17,1% (20 November 2008). Setiap kenaikan 1%, beban bunga SUN di APBN bertambah Rp 1,4 triliun).
4. Credit Default Swap Indonesia melesat dari 250 basis point (awal 2008) menjadi di atas 1.000 bps (November 2008).
5. Terjadi pelarian modal akibat gangguan likuiditas di pasar saham.
6. Cadangan devisa merosot 13% dari US$ 59,45 miliar (Juni 2008) menjadi US$ 51,64 miliar (Desember 2008).
7. Rupiah bergejolak dan terdepresiasi 30,9% dari Rp 9.840 (Januari 2008) menjadi Rp 12.100 (November 2008)
8. Sistem perbankan dan keuangan domestik di ambang batas krisis berdasarkan Banking Pressure Index (Danareksa Research Institute) dan Financial Stability Index (BI).
9. Potensi pelarian modal lebih besar dari para nasabah bank karena tidak ada penjaminan penuh di Indonesia, seperti diterapkan negara-negara lain.
10. Para pemimpin dunia (G-20) mengadakan pertemuan pada 13-15 November 2008 membahas penanganan krisis global.
5 ALAT UKUR BANK INDONESIA
Terdapat lima aspek yang digunakan BI untuk menganalisis bank gagal berdampak sistemik. Kelima aspek itu telah diterima Panitia Kerja RUU-JPSK Komisi XI DPR (2004-2009). Berdasarkan analisis tersebut, disimpulkan penutupan Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik, khususnya melalui jalur psikologi pasar, sistem pembayaran dan pasar keuangan.
1. Sistem pembayaran (dampak medium hingga tinggi)
- Pasar Uang Antar Bank tersegmentasi. Bank-bank besar tidak mau lagi meminjamkan dana ke bank kecil. Data sepekan terakhir sebelum 20 November 2008 menunjukkan, transaksi PUAB hanya antar sesama bank besar, menengah, atau kecil.
- Terdapat 18 bank setara Century yang terancam kesulitan likuiditas jika terjadi perpindahan dana ke bank-bank besar (flight to quality).
- Jika Century ditutup, terdapat lima bank lainnya yang bakal mengalami kesulitan likuiditas, karena menempatkan dana di Century.
- Dana pihak ketiga pada 23 bank itu terus merosot. Puncaknya pada September-November 2008.
- Tiga bank BUMN bahkan harus diperkuat likuiditasnya dengan penempatan dana pemerintah Rp 15 triliun.
2. Pasar keuangan (dampak medium hingga tinggi)
- Pasar saham tertekan bahkan sempat dihentikan dua kali.
- Harga surat utang negara merosot
- Premi risiko atau Credit Default Swap (CDS) Indonesia melonjak dari 350 basis point menjadi lebih dari 1.200 bps dalam kurun kurang dari satu bulan pada Oktober 2008 (bandingkan dengan CDS pada November 2009 yang di bawah 200 bps).
3. Psikologi pasar (dampak medium hingga tinggi)
- Jika muncul rumor negatif atas 23 bank tersebut, akan memicu kepanikan dan menimbulkan penarikan dana besar-besaran (bank run).
- Dalam kondisi krisis, penutupan Century berpotensi menimbulkan contagion effect yaitu menularnya ketakutan ke nasabah bank-bank kecil lain, yang saat itu juga kesulitan likuiditas, sehingga menarik dana besar-besaran.
4. Lembaga keuangan (dampak rendah hingga medium)
- Peran Century dari sisi pangsa pasarnya tidak signifikan. Namun, nasabahnya cukup besar (65.000) dengan jaringan cukup luas (30 kantor cabang, 35 kantor cabang pembantu).
- Dalam kondisi bukan krisis, penutupan bank ini tidak akan berdampak sistemik
5. Sektor riil (dampak rendah)
- Peran Century dalam pemberian kredit ke sektor riil tidak signifikan
Sumber: Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Laporan Audit BPK
GRACE S GANDHI | METTA DHARMASAPUTRA
http://blog.tempointeraktif.com/ekonomi-bisnis/sistemik-versi-bpk-atau-bi-yang-benar/
************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar