Kamis, 17 Desember 2009

Legitimacy Akhlak

Assalamu`alaikum wr wb.

Sering kita dibingungkan jika dihadapkan kepada sebuah realita dalam kehidupan sehari-hari. Saat dimana ada yang baik tingkah lakunya akan tetapi ibadahnya jarang bahkan tidak sama sekali. Ada yang pakaiannya tidak sesuai syariat tapi tutur bahasanya lebih halus dari pada yang tertutup rapi. Dan yang lebih ekstrim lagi adalah jika kita menjumpai mereka yang non muslim lebih baik sikap dan prilakunya dari pada kita yang muslim.timbul sebuah pertanyaan yang mengusik batin, siapakah sebenarnya yang menjadi seorang muslim, siapakah yang sebenarnya yang mempelajari Islam dan masuk syurga.

Kita mengetahui bahwa Allah mengutus Rasulullah untuk memperbaiki akhlaq manusia dimuka bumi ini. Seorang utusan yang universal membawa misi yang universal pula. Lantas mengapa yang ibadahnya bagus akhlaqnya tidak sesuai ibadahnya. Lalu bagaimana pula jika sebaliknya.

Bingung dan sulit sekali menelaah hal-hal yang sensitif seperti problematika diatas. Satu manusia dengan manusia akan saling mengklaim dan menyalahkan. Belum lagi satu golongan dengan golongan, sampai puncaknya agama dengan agama saling menuding.

Hal yang pertama kali dipilah-pilah adalah pengertian baik dan benar. Dimana kebaikan itu biasanya lebih bersifat relative sedangkan kebenaran itu adalah mutlak. Benar menurut Allah sudah pasti benar dimata manusia yang beriman. Baik dimata manusia belum tentu baik pula dimata Allah. Baik dimata rakyat Indonesia belum tentu baik menurut rakyat Amerika. Sehingga standar pengukuranpun menjadi ngambang dan tidak jelas ukuran ketetapannya. Sebuah kebijakan yang diambil seorang pemimpin juga demikian, tak semuanya akan bisa memberikan dampak baik bagi semua pengikutnya.

Jadi yang pertama diperjelas adalah pola dan ukuran standar pengukuran. Sampai saat ini baru al Quran dan Al Hadist lah yang bisa dikatakan sebagai sebuah system pengukuran mutlak dan tidak berubah-ubah.

Lalu penjelasan kedua, adalah dimana akhlaq dan manusia yang berakhlaq itu seharusnya mencontoh Rasulullah karena beliaulah yang menjadi utusan untuk memperbaiki akhlaq. Dengan demikian standarisasi akan lebih mudah di prediksi. Kadangkala, kita cenderung lebih mementingkan akhlaq sesama manusia dari pada akhlaq antara manusia dengan penciptanya. Atau malah sebaliknya, lebih mementingkan akhlaq dengan penciptanya dari pada dengan manusia. Jika kita merujuk kepada al- Quran dalam surah Al hujarat Ayat 13: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling Taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Setelah kita dianjurkan membenarkan hubungan dengan manusia barulah kita membenarkan hubungan dengan Allah. Dari sini, sekali lagi standar pengukuran akhlaq itu dilandaskan. Seharusnya orang yang berakhlaq dia bisa menempatkan dirinya dalam keadaan dunia maupun akhirat. Maksudnya adalah jika dia hanya baik kepada hal dunia saja maka akhiratnya dia akan merugi. Begitupun sebaliknya.

Misalnya, seseorang itu menurut kita sudah sangat baik dimata manusia dengan tata krama dan prilaku yang sangat terpuji sesama manusia. Akan tetapi disisi lain ibadahnya kepada Allah sangatlah minim bahkan bisa dibilang tidak ada sama sekali malah cenderung pembangkang. Dengan demikian bukankah ini dia tidak mempunyai akhlaq, etika, dan tata krama kepada penciptanya. Atau bisa saja disisi lain ada seorang yang sangat intent ibadahnya akan tetapi hubungan sesama manusia sangatlah buruk. Ini juga bisa dikatakan bahwa dia tidak memiliki akhlaq sesama manusia sekaligus kepada Allah. Mengapa? Karena dia telah menipu Tuhannya sendiri secara terang-terangan yaitu tidak menghargai makhluk ciptaanNYA.

Seharusnya, orang yang berakhlaq itu adalah orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang taat kepada perintah TUhannya, orang-orang yang ikhlas melakukan segala sesuatu ikhlas tanpa pernah menghitung pamrih. Bukankah seorang anak yang baik dihadapan orang tuanya dan berakhlaq adalah anak yang taat dan patuh kepada kedua orang tuanya? Begitupun dengan yang dikatakan sebagai makhluk yang berakhlaq yaitu makhluk yang tidak pernah melawan kepada ketetapan Tuhannya dan menurutiNYA tanpa pernah bosan. Bukankah Nabi Muhammad adalah orang yang menjadi contoh akhlaq terbaik sepanjang masa. Lihatlah bagaimana akhlaq Beliau, sampai istrinya mengatakan bahwa akhlaqnya adalah layaknya al quran yang berjalan. Itu artinya jika dimudahkan, Nabi Muhammad adalah orang yang tidak pernah melawan kepada ketetapan Allah dan berakhlaq kepada Allah.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa akhlaq yang benar itu berbanding lurus dengan ketaqwaan kepada sang Pencipta. Barulah kita akan dengan mudah menindentifikasikan siapakah yang sebenarnya berakhlaq. Berakhlaq didunia juga berakhlaq diakhirat. Bersikap manis didepan manusia dan bersikap manis juga kepada Allah. Tidak menipu dan tidak mempermainkan Allah dengan segala kemanisan tingkah yang sebenarnya adalah sebuah rekayasa.

Wallahu`alam
Wassalamu`alaikum wr wb

http://yudimuslim.multiply.com/journal
/item/333

Tidak ada komentar:

Posting Komentar