Kamis, 10 Juni 2010

Cara Mengobati Krisis Akhlak

KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM

Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan

Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*

***

A. Dosa batin adalah bahaya besar bagi kehidupan ummat Islam

Muqaddimah edisi Kedua

Segala puji bagi Allah yang menjadi sumber hidayah taufiq. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw, keluarga dan sahabat- sahabatnya.

Sesungguhnya kebenaran - bagi sebagian orang - itu pahit, ia akan menjadi tamparan dan kritik bagi mereka yang tersingkap kesalahannya, perubah fakta dan realita yang menyentuh setiap urusan manusia. Karena itulah seyogyanya kebenaran harus disampaikan dengan hati ikhlas dan bersih dari interes, baik di depan maupun di belakang.

Ketika seorang penegak kebenaran melalui proses seperti ini, maka Allah akan ridha dan manusia pun menerima. Bukan sebuah masalah besar, ketika penyingkap kebenaraan itu tidak mampu meramu pahitnya obat yang berupa kebenaran menjadi gula yang manis dan enak dirasa.

Kebenaran sepahit apapun rasanya, seberat apapun bebannya lebih memberikan manfaat kepada umat, ketimbang manisnya lari dari kebenaran dan enaknya bermusuhan dengannya.

Seorang penegak kebenaran tidak memberati orang lain dengan beban kebenaran, kecuali ia sendiri lebih dulu melakukannya, tidak menimpakan pahitnya kebenaran itu kecuali sama dengan pahit yang telah dirasakan sebelumnya, tidak menjadikan dirinya sebagai Nabi yang makshum (terpelihara dari kesalahan) dengan melontarkan kritiknya di mimbar kenabiannya, dan membersihkan dirinya dari semua itu.

Bahkan seorang penegak kebenaran harus berani melakukan otokritikk pada dirinya sendiri ketika ia salah, sebagai tiitik tolak untuk memberikan warning kepada orang lain agar tidak jatuh dalam kesalahan yang sama seperti dirinya, sekaligus juga menjadi materi nasihat dan arahan bagi saudara-saudara dan sahabat-sahabanya, sebagaimana Allah telah muliakan dirinya dengan nikmat otokritik itu.

Pertanyaan kami ...

Apakah dalam ucapan seperti ini ada bias kesesatan dan keraguan...
Di atas dasar inilah kami menulis buku ini. Kami berharap semoga buku ini menjadi lautan nasihat bagi kami dan bagi manusia seluruhnya.

Sekalipun begitu, masih ada segelintir orang yang merasa gerah dengan tulisan ini, mereka merasa menjadi sasaran kritik dan penilaian buku ini. Ini adalah efek yang tidak bagus yang tidak perlu kita bahas dan panjang lebar mengungkapkannya.

Menghadapi sikap mereka ini, kami katakan : keistimewaan Ishmah (terpelihara dari kesalahan) hanyalah sifat para Nabi dan Rasul saja, bukan yang lain.

Adapun menolak nasihat, bersikap pongah untuk tidak menerimanya dan merasa nyaman dalam singgasana kesombongan, maka itu bukanlah sikap muslim sejati.

Kami hanya mengikuti uslub dan gaya Rasulullah saw dalam memberikan nasihat kepada sahabat-sahabatnya. Bahkan Beliau pernah mengatakan : “Agama itu adalah nasihat.”

Ketika Beliau saw melontarkan kritik, memberikan masukan kepada sahabat-sahabatnya, maka Beliau menyampaikannya tanpa menyebut inisial sahabat yang dinasehati. Beliau mengatakan : “Bagaimana kelakuan kaum itu....” tanpa harus mencermati reaksi yang timbul dari sahabat tersebut.

Adapun sebagian indikasi kesalahan dalam tulisan kami, yang dilontarkan oleh para pencari kebenaran, maka kami siap untuk menerima kritik tersebut. Bisa jadi itu adalah koreksi atas kesalahan kami, pengingat atas apa yang terlupakan atau ilmu baru yang kami dapatkan.

Diantara lontaran kritik itu mengarah ke buku kami “Problem kita adalah akhlak dan bukan Problem pemikiran.” mereka mengatakan sebaliknya, bahwa “problem kita adalah pemikiran dan bukan akhlak.”

Sebagian ada yang melontarkan kritik tajam kepada kami, bahwa kami mengajak kepada umat kepada akhlaq yang tidak berbasis pada pemikiran dan ilmu, bahkan lebih jauh lagi mereka mengatakan, kami menyeru kepada umat untuk menjauh dari pemikiran dan ilmu, karena pemikiran dan ilmu bukan merupakan hal penting bagi mereka.

Kami jawab dengan tegas : “Kami tidak pernah menulis buku seperti yang mereka dakwakan kepada kami, kami berani mengatakan, kami jamin, siapapun orang yang faham dengan bahasa dan ilmu kebahasaannya, kemudian membacanya dengan cermat, maka mereka tidak akan menghasilkan kesimpulan bathil yang didakwakan kepada kami.”

Karena itulah, dalam edisi kedua ini, kami akan mencoba untuk menjadikan buku ini lebih jelas, memberikan catatan, komentar sekaligus juga meluruskan kebathilan yang mereka dakwakan kepada kami.

Dalam edisi kedua ini, kami selalu mengharapkan taufiq Allah swt. semoga buku ini menjadi ungkapan rasa syukur kami kepada-Nya, sekaligus juga sarana reformasi menuju kepada kemaslahatan ummat.

Pembaca yang budiman, Pahitnya musibah dan krisis multidimensi yang menimpa umat Islam saat ini, yang terus menerus menggerus mereka setiap harinya, menanamkan keyakinan kepada kami, bahwa dosa batinlah yang menjadi faktor utamanya, dibanding dengan dosa dhahir yang membalutnya.

Pahitnya realitas umat Islam saat ini, menjadikan kami semakin yakin bahwa, problematika umat Islam bersumber dari krisis akhlak, bukan karena kekosongan pemikiran dan ilmu. Kami yakin bahwa umat Islam tidak bisa hidup layak tanpa pemikiran dan ilmu sebagaimana manusia sakit yang tidak bisa hidup tanpa sinar mentari dan udara untuk bernafas. Namun logikanya adalah matahari dan udara adalah satu hal bagi si sakit dan obat bagi si sakit adalah hal yang lain.

Kami bersumpah demi Allah, dalam menulis buku ini, tidak ada maksud untuk iri, dengki, benci atau menyiarkan aib suatu jamaah atau kelompok tertentu. Bagaimana mungkin kami melakukan ini, sementara sikap ini adalah seburuk-buruk “dosa bathin” yang kami anjurkan agar dijauhi dan dihilangkan dari hati setiap kita.

Kami memperhatikan dengan seksama “wabah dosa bathin” ini telah menjangkiti masyarakat kita. Melalui buku yang sederhana ini, kami berharap setiap individu menyadari akan bahaya wabah ini, sebagai sarana nasehat kepada Allah, Rasul-Nya dan umat Islam umumnya.

Kami tengadahkan tangan kami kepada Allah, dengan penuh ketundukan dan harap, memohon agar Allah masukkan kami dan umat Islam semuanya dalam golongan yang Allah firmankan dalam Al Quran :

رَبَّنَااغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10)

***************

Cara Pemakaian Obat

Obat telah kita paparkan, lalu bagaimana cara kita memanfaatkan obat itu. Bagaimana kita menjadi orang-orang yang hatinya terwarnai oleh hakikat ubudiyyah sempurna kepada Allah, tidak diperbudak oleh harta, kedudukan, interes pribadi dan penyakit-penyakit hati seperti egois, sombong, ujub dan efek-efeknya yang berbahaya.

Tidak diragukan lagi, caranya tidak ringan dan mudah. Caranya adalah dengan jalan berjihad dan bersungguh-sungguh, sebagaimana firman Allah :

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ

“ Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu.” (QS. Al Hajj : 78)

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.” (QS. Al Ankabut : 69)

Sebuah jalan yang mepertegas perbedaan antara mukmin yang sejati dan munafik bermuka dua dalam keberagamaan dan keimanannya. Sebuah pelindung yang menjadikan seorang muslim tidak tergolong dalam sabda Rasulullah saw :

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ، تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ ،َ تَعِسَ عَبْدُ الْقَطِيفَةِ ، تَعِسَ وَانْتَكَسَ ، وَإِذَا شِيكَ فَلاَ انْتَقَشَ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ (رواه البخاري وابن ماجه)

“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba baju yang indah, celakalah dan sengsaralah, ketika terkena durinya maka tidak akan ada yang bisa menolongnya. Ketika diberi mereka ridha, dan ketika tidak diberi mereka meradang.” (HR. Bukhari dan Ibnu Majah)

Dia ibarat aparat yang menjaga iman kita dari dua serigala lapar, yang diwanti-wanti oleh Rasulullah saw dalam sabdanya :

“Tidaklah dua serigala lapar yag dilepas dalam kerumunan kambing, itu lebih berbahaya dari pada kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan dengan mengorbankan agamanya.” (HR. Turmudzi, Ahmad dan Abu dawud)

Karena urgensi jihad ini sebagai satu-satunya jalan yang membawa kita pada ridha Allah, sekaligus juga yang menunjukkan kepada medan ubudiyyah yang sesungguhnya, maka para pendahulu kita yang baik telah mencurahkan seluruh kemampuan yang mereka miliki untuk meniti jalan ini.

Mereka lawan nafsu mereka, mereka kendalikan hawa nafsunya dengan berbagai macam cara. Sampai-sampai mereka melakukan hal yang sedikit melampaui batas kewajaran, pagar syariat dan petunjuk nubuwwah.

Kami paparkan hal ini semua, sesuai dengan kesepakatan para pendahulu kita yang baik dan petunjuk-petunjuk yang ada dalam kitab dan sunnah Rasul-Nya. Kita sadarkan diri kita sesadar-sadarnya, bahwa ini adalah inti dari ajaran Islam. Ini adalah tangga satu-satunya menuju pencapaian manhaj Ilahi yang di wajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya. Ini adalah kunci kemudahan bagi segala kesusahan, kunci persatuan bagi segala ikatan dan kunci kemenangan yang kita impikan.

Kami ingatkan diri kami untuk pertama kalinya, lalu kami berwasiat kepada saudara-saudara kami yang kami cintai, dengan selalu berharap kepada taufiq dan pertolongan Allah.

Cara-cara pemakaiannya.

Pertama : Perenungan kita akan jati diri dan tujuan akhir kita, merasakan pengawasan Allah yang melekat dan membangkitkan kesadaran kita ketika lalai dan lupa.

Merenung adalah aktifitas akal, tanpa renugan maka akal tak akan berguna. Renunganlah yang membebaskan akal kita dari kekuatan nafsu dan ikatannya. Tanpa renungan maka kita tidak akan bisa membedakan antara petunjuk akal sehat dan bisikan nafsu.

Karenanya, tidak heran jika Allah swt selalu menutup ayat-ayat kauniyyah dengan harapan-harapan terhadap manusia, semoga mereka berfikir (la'allakum tatafakkarun), sesungguhnya dalam ayat ini ada banyak pelajaran bagi orang-orang yang berakal (inna fii dzalika laayaatil liqaumiy yatafakarun), Maka apakah mereka tidak mau berfikir (Afala tatafakkarun).

Karena itulah titik tolak utama risalah Nabi Muhammad saw, sebagai seorang mukmin, dai dan mujahid, adalah berawal dari renungan yang berkesinambungan. Bukanlah hal yang sia-sia, ketika Allah swt mengilhamkan ke dada Rasulullah saw untuk cinta menyendiri dalam sepi, jauh dari hingar bingar dan kerusakan masyarakat. Tujuannya adalah agar Beliau bisa menjernihkan pandangan, dengan banyak berfikir dan merenung di gua hira dalam waktu yang lama.

Ketika perenungan dilakukan dengan kondisi tempat yang sepi, jauh dari tarikan nafsu, syahwat dan polusi duniawi, maka perenungan tersebut akan membuahkan kejernihan dan kedekatan pada kebenaran. Diri manusia sendirian menghadapi bisikan-bisikan dan dorongan-dorongan yang muncul dari berbagai jendela dan pintu yang terbuka luas di hadapannya. Ada akal sehat dan logika yang lurus. Ada keinginan-keinginan dan syahwat yang melekat dalam diri kita. Ada penolakan-penolakan dari rasa kurang, sombong dan fanatisme. Ada ikatan-ikatan yang muncul karena benci, dengki, iri dan berebut meraih sesuap dunia dan hiasannya yang menipu.

Bukanlah posisi yang benar, ketika kita mendengarkan dorongan dan bisikan suara-suara ini. Tapi kita harus bisa memposisikan diri kita sebagai pendengar yang baik, dengan menjadikan akal sehat dan logika yang jernih sebagai hakim atas semuanya, sehingga semua menjadi jelas dan tegas di hadapan kita.

Kemampuan seperti ini tidak akan didapat kecuali setelah melalui perenungan dalam waktu yang panjang dan kontinyu, sehingga mampu mengisi usia penuh petuah. Dengan menyendiri, berdialog dengan akal sehat dan logika yang jernih, tentang jati diri dan tujuan akhir dari hidupnya. Apa yang berkembang dan mandeg dalam kehidupannya. Dengan sarana dzikir kepada-Nya, merenungi pelajaran besar yang disampaikan melalui lisan dan petunjuk langsung Rasul-Nya.

Bukan berarti kami menganjurkan umat ini untuk mengisolasi diri, hidup terasing dari masyarakat, tinggal di gua-gua dan lembah-lembah terpencil. Ini bukan fitrah manusia dan bukan pula misi hidup setiap muslim.

Kami hanya mengajak meluangkan waktu khusus untuk akal sehat kita setiap kita merasa ada yang penting dengan kantong modal hidup kita. Kita melakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh para pedagang yang menghabiskan usianya dalam kerumunan manusia dan keramaian pasar.

Kondisi tersebut tidak perlu membuatnya tidak bisa berdiam sejenak, meluangkan waktunya untuk menyendiri di kamarnya. Jauh dari anak, istri dan sahabat dekat. Berkonsentrasi penuh dengan buku, kertas dan alat hitung bisnisnya. Kalau bukan karena waktu luang yang mereka usahakan di sela-sela kehidupan mereka ini, mungkin bisnis di pusat perdagangannya yang ramai itu tidak mendatangkan kecuali kerugian dan penyesalan yang berkepanjangan.

Kami mengajak umat ini untuk menempuh jalan kebebasan berfikir, berlepas diri secara sadar dan tidak sadar dari segala dorongan fanatisme, bisikan kebaikan palsu dan aneka ragam tarikan nafsu syahwat, sehingga kita menemukan keyakinan telah berjalan di atas manhaj yang didukung oleh akal sehat yang merdeka.

Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw dalam hidupnya ini, dengan menyepi dan menyendiri untuk merenung, menjadi pelajaran sekaligus kehormatan bagi umatnya.

Kita tidak lupa pula, bahwa di antara faktor yang mendukung kita untuk selalu sadar dan merenung adalah intensitas kita duduk-duduk berdekatan dengan orang-orang shalih.

Sebaliknya, jika kita ingin jauh dari kesadaran dan aktifitas perenungan, maka bergabunglah dengan orang-orang yang lalai di panggung kesia-siaan mereka. Nikmatilah tempat-tempat yang menjadikan umur kita murah tak berharga, larut dalam permainan dan hiburan yang tidak mendatangkan kebaikan di akhirnya, sibuk dengan gosip murahan yang ditamsilkan sebagai aktivitas makan daging bangkai saudara.

*) Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy lahir pada tahun 1929 di sebuah daerah yang bernama Buthan, bagian dari wilayah Turki yang terletak di perbatasan antara Turki dengan Irak bagian utara.

Pada usia empat tahun, beliau ikut ayahnya, Mullah Ramadhan untuk pindah ke Damaskus, Syria. Setelah menamatkan sekolah Islam di Damaskus, Al-Buthy kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beliau mendapatkan gelar doktor dalam bidang hukum Islam di Universitas Al-Azhar pada tahun 1965.

Pada tahun yang sama, beliau kembali ke Damaskus dan diangkat sebagai salah satu pimpinan di Universitas Damaskus, sekaligus aktif sebagai dosen di sana. Selain itu, ia juga menjabat anggota dewan tinggi di universitas Oxford, Inggris.

Selain sebagai dosen, Al-Buthy juga aktif di berbagai konfrensi dan simposium dunia. Beliau fasih berbahasa Arab, Turki, dan Ingris. Tidak kurang dari 40 buku telah beliau tulis. Hampir setiap hari, beliau mengisi taklim di masjid Damaskus, dan berbagai masjid di Syria. Ribuan orang selalu hadir dalam setiap taklim yang beliau pimpin.

Segala puji bagi Engkau ya Allah karena kemuliaan wajah-Mu dan kekuasaan- Mu yang agung. Maha suci Engkau ya Allah dengan pujian yang tidak terhingga, Engkau adalah yang paling layak untuk memuji diri-Mu dengan pujian yang sempurna.

Shalawat dan salam sejahtera semoga Engkau curahkan kepada hamba-Mu, Nabi-Mu Muhammad, keluarga dan sahabatnya, sebagaimana Engkau curahkan shalawat dan alam kepada nabi Ibrahim dan keluarga Ibrahim di alam ini, Sungguh Engkau begitu terpuji dan mulia.

Wahai saudara muslim

Engkau mengadu pada kami, Engkau melihat populasi umat Islam selalu bertambah dari tahun ke tahun, aktifitas keIslaman mereka secara lahir lebih berlipat ganda, perpustakaan Islam begitu megah dan spektakuler dengan khazanah ilmu keIslaman yang beragam. Umatpun memadati perpustakaan itu dengan penuh antusiasme yang besar. Namun yang menjadi ironi bagi umat ini, usaha untuk menjadi sebuah masyarakat Islami dengan hukum Islamnya terasa jalan di tempat, kalau tidak dikatakan kembali ke belakang. Apa rahasia di balik kontradisi ini, bagaimana mungkin fasilitas yang begitu memadai tidak membuahkan hasil yang kita harapkan.

Kami berusaha menjawab kontradiksi ini, Sesungguhnya umat ini saling terpecah, bahkan saling menelikung antara satu dengan yang lain, perpecahan telah melumatkan amal kebaikan dan memangkas buahnya. Engkau bisa bayangkan bila perpecahan ini mengarah kepada sikap saling membelakangi.

Engkau mungkin bertanya : “Mengapa para pejuang kebathilan bisa bertemu, bersatu, bersinergi dengan baik, sementara pejuang kebaikan tidak bisa, tidak bisa bersatu dalam kebenaran dan bahkan membelakangi satu sama lain.”

Kami menjawab lagi, Pejuang kebathilan memilki ketulusan usaha dalam menyebarkan kebathilannya, mereka tahu bahwa kebathilan itu tidak akan tegak jika tidak ada titik temu dan sinergi antara mereka, tidak terbersit dalam diri mereka untuk menodai kesepakatan bathil mereka. Mereka disatukan oleh pentingnya kerjasama dalam kebathilan. Mereka tidak mungkin menelikung karena mereka yakin mitra mereka bersungguh-sungguh dalam kerja team, walaupun di belakang mereka berbeda agenda.

Adapun pejuang kebaikan, tidak memiliki ketulusan usaha mereka dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana yang dimiliki oleh para pejuang kebathilan, kebenaran mereka berakhir dengan kesengsaraan dan kehampaan, sementara kebathilan yang diagendakan para pejuang kebathilan membuahkan kebesaran nafsu dan syahwat mereka. Para pejuang kebaikan terlihat oleh mata kepala kita berpegang kepada kebenaran dan mengajak kepadanya, namun dibelakang ada agenda nafsu pribadi yang tersembunyi. Sebagian pejuang itu berkoar-koar dengan kebenaran dalam pertemuan, ceramah, khutbah dan orasi mereka, namun ketika kebenaran menuntut hak dan pengorbanan dari mereka, maka mereka pun lari dan menjauh dengan teratur.

Apabila fenomena ini menggejala di kalangan para pejuang kebaikan maka hilanglah rasa tsiqah di antara mereka. Pertemuan yang terjadi, dan kerjasama yang berkembang dalam medan dakwah hanya akan menyentuh sisi yang tidak penting dan sempit cakupannya. Mereka tidak akan berhasil dalam agenda kebaikan mereka, karena belum sampai mereka pada tujuan mereka, angin perpecahan akan menerpa mereka dan memperokporandakan kebersamaan mereka.

Saudara muslim

Kami mengerti, ketika engkau membaca jawabanku ini, engkau akan terpaku dalam kepedihan yang mendalam, lalu bangkit untuk berpisah dari jamaah dan terus dirundung oleh pikiran-pikiran yang tidak berujung.

kami telah menyadari akan terjadinya hal ini, seakan-akan dengan tulisan ini aku telah membenamkan engkau dalam kebingungan yang tak bertepi, kami ibarat seorang dokter yang hanya bisa mendiagnosa kritisnya penyakit seorang pasien, tanpa seucap kata atau tulisan resep yang mengobati atau meminimalkan rasa sakit.

Kami berlindung dari perbuatan seperti ini, kami tidak ingin mematikan potensi diri dan menutup optimisme, karena perbuatan ini sama saja dengan menambah penyakit di atas penyakit yang berujung kepada kematian.

Perasaan ini telah menyelamatkan kami, kami tidak ingin seperti orang yang melihat sebuah krisis yang bertambah-tambah lalu berlalu begitu saja tanpa berusaha sedikitpun untuk mengubahnya, bahkan ia beranda-andai, apabila ia tidak bertemu dengan musibah krisis itu, apalagi mengobatinya. Inilah yang dilakukan oleh kebanyakan manusia yang tahu, tahu tapi pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu sama sekali.

Sebagai rasa tanggung jawab, kami akan siapkan resep untuk penyakit yang telah diidap oleh umat kita. Kalau memang engkau tidak sempat berjumpa denganku dalam satu majlis, maka aku buatkan kado untukmu buku kecil yang dapat engkau jumpai dimanapun engkau berada. kami berharap, setelah engkau membaca dengan seksama resep yang telah kami tulis, engkau bangkit dan berusaha untuk melaksanakannya dengan baik. Engkau tahu, obat itu pahit rasanya, dan tidak ada penawarnya kecuali manisnya iman yang ada di dalam dada.

Sebagai seorang muslim yang beriman, kita yakin sekali kepada Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, di tangan-Nya segala kebaikan dan kekuasaan, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Saudara seiman

Resep obat yang aku tawarkan kepadamu itu, sebenarnya sudah dipaparkan oleh Al Quran dan dijelaskan oleh rasulullah saw dalam haditsnya. Obat itu adalah berlepas diri dari “Dosa batin.”

Mungkin engkau bertanya, Bagaimana dengan dosa dhahir, bukankah dosa itu juga harus dienyahkan ?

Kami menjawb : “Ya, dosa dhahir juga harus dienyahkan, hanya saja dosa ini maklum bagi setiap manusia, terlihat oleh khalayak ramai, dan kebanyakan manusia akan menghindarinya.”

Peringatan akan bahaya dosa dhahir sudah ada dengan sendirinya, yang sering dilupakan adalah dosa kedua, yakni dosa batin. Apabila umat Islam menganggap ringan dan remeh dosa ini maka tunggulah kehancurannya. Segala usaha dan aktifitas Islam yang mereka lakukan tidak berguna, semuannya hanyalah kesia-siaan dan kehampaan.

Semakin nyata pentingnya obat penawar ini, karena ia tersembunyi, sulit untuk dideteksi dan diukur, kalau saja dia bisa dideteksi dan diukur, maka akan mudah kita mengawasinya, sebagaimana pengawasan kita kepada shalat, puasa, zakat dan dosa amalan-amalan praktis yang terlihat.

Ditambah lagi, kondisi umat Islam saat ini abai akan obat penyakit dosa batin ini, mereka tidak bergerak aktif untuk mengenalinya apalagi memanfaatkannnya. Mereka juga tidak menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam membangun sebuah masyarakat yang Islami.

Bertolak dari pemikiran di atas, kami berusaha menjelaskan tentang obat penyakit dosa batin ini, untuk mengisi kekosongan peran umat, yang mengabaikan masalah penting ini, padahal mereka telah berulang-ulang membicarakannya dalam kitab Allah swt dan sunnah Rasul-Nya.

Kami persembahkan tulisan ini untuk pribadi kami sendiri, karena kami yakin resep obat ini adalah penting buat kami, juga untuk umat Islam umumnya, karena umat ini tidak akan tegak jika penyakit ini berkembang dan menlumpuhkan sendi-sendinya, layu sebelum berkembang.

Kepada Allah lah kami bertawakkal, berharap akan taufiq dan kembali ke haribaan-Nya.

*******************

Komitmen dengan agenda dzikir, mulai dari tilawah Al Quran, tasbih, istighfar dan dzikir secara umum.

Adapun tilawah Al Quran, maka kami tidak perlu memaparkan dalil-dalil tentang keutamaan tilawah dan mentadabburinya, karena semua ulama sepakat bahwa tilawah dan mentadabburinya merupakan sarana yang paling utama dalam taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt.

Betapa banyak hati yang keras membatu, kemudian melunak karena tilawah Al Quran. Betapa banyak para pendosa yang lalai kemudian sadar dan bertaubat, karena merenungi kandungan kitab Allah. Betapa banyak mata yang kering tak pernah meneteskan air mata karena takut kepada Allah, kemudian meleleh dan menganak sungai karena melihat kalam Allah.

Para sahabat dahulu, memiliki agenda wirid harian dengan tilawah Al Quran. Satu hari mereka tidak melaksanakan agenda wirid hariannya, maka akan mereka qadha (rapel) di hari berikutnya, dengan penuh rasa sakit dan penyesalan hati yang berkepanjangan. Hal ini pernah dialami oleh Khalifah kedua, Umar bin khatthab ra.

Adapun dzikir, tasbih dan istighfar adalah obat yang telah diajarkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Bahkan pelajaran dan perintah ini diulang-ulang oleh Allah dalam Al Quran berkali-kali :

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آَنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى

“ Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.” (QS. Thaha : 130)

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ

“ Dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (QS. Ghafir : 55)

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“ Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al A'raf : 205)


وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

“ Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan : 25-26)

Semua ulama sepakat, bahwa setiap muslim harus memiliki wirid dzikir, mulai tasbih, istighfar sampaii tilawah Al Quran. Waktu yang afdhal untuk dzikir ini adalah wakt pagi dan sore.

Ketika ada suatu kesibukan yang menghalangi dzikir pada waktu yang sudah dibiasakan, maka sebaiknya dzikir yang ditinggalkan bisa dilakukan pada waktu setelahnya, baik itu siang atau malam hari. Sehingga kesibukan yang menghalangi dikir itu tidak menjadi sebab meremehkan dan menganggap dzikir tidak penting.

Umar bin Khatthab ra berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa yang tertidur dari satu hizb atau sedikit dari bacaan Al Quran, kemudian dia baca di waktu antara shalat shubuh dan shalat dhuhur, maka orang tersebut sama saja telah membacanya di malam hari.” (HR.Muslim)

Adalah sebuah kesalahann besar, ketika ada orang yang mengatakan bahwa dzikir adalah ibadah muthlaq, menentukan waktu khusus untuk dzikir adalah bidah yang diharamkan. Ini adalah pendapat yang hendak menjauhkan kita dari dzikir kepada Allah dengan cara yang paling buruk. Karena orang yang memiliki pendapat seperti ini tidak akan melaksanakan ibadah agung ini selama hidupnya, gara-gara menghindari bidah yang dia haramkan.

Suatu saat kita akan melihat orang seperti ini, pada waktu-waktu yang mulia di pagi dan siang hari, terlelap dalam dengkurannya yang panjang, atau sibuk dengan hiburan, permainan dan gossip murahan. Orang tersebut tanpa sadar telah jatuh dalam bahaya dosa dan kesesatan yang diperingtkan oleh Allah, dengan bahasa tegas dan jelas. Atau dia mendapat syafaat dari pendapatnya untuk tidak menghabiskan waktunya dengan bidah dzikir pada waktu yang ditentukan.

Dzikir yang kita lakukan, mulai dari tilawah dan dzikir yang lain, memiliki pengaruh yang besar dalam mengobati segala gangguan dan penyakit hati. Dengan dzikir yang terus menerus, hati akan merasakan pengawasan melekat dari Allah. Begitu kita hendak melakukan hal yang diharamkan, atau hanya berniat saja untuk melakukannya, maka perasaan diawasi Allah akan serta merta mengkoreksi dan meluruskannya secara otomatis.

Inilah yang kita sebut dengan Al Hirasah al Ilahiyyah (Penjagaan Allah) yang melekat dalam kehidupan setiap muslim. Inilah amalan ihsan yang dipaparkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya : “Engkau beribadah kepada Allah sekan-akan engkau melihat-Nya, Jika engkau tidak melihatnya secara nyata, maka yakinlah sesungghunya Allah melihatmu.”

Penjagaan ilahi ini tidak akan kita miliki, jika kita tidak memiliki keterikatan yang kuat dengan Al Quran, tidak banyak dzikir dan hati kita tidak merasakan pengawasan Allah yang melekat. Ini adalah obat penawar terbaik bagi tazkiyatun nafs (pencucian jiwa), yang mana sebagian dari kita ada yang gagal dalam menghilangkan penyakit sombong, dengki, iri, gila dunia, tertawan oleh popularitas, gelar dan kedudukan duniawi yang fana.

Dzikir yang kami maksud di sini bukanlah sekedar gerakan lidah dan mulut, bukan pula putaran tasbih di tangan dan bukan pula ketukan dan irama para munsyid. Namun yang kami maksud dzikir di sini adalah seperti yang dikehendaki oleh Allah dalam kitab-Nya ketika Rasulullah saw menerima arahan dari-Nya. Persis seperti yang dikatakan oleh orang yang faham bahasa arab : “Saya dzikir (teringat) seseorang sepanjang hari ini.”

Dzikir yang menghimpun hati, gerakan fikir dan kesadaran sanubari.

Dzikr dengan gerakan lidah memiliki fungsi penting, untuk menggugah hati, menarik kesadaran dan menjaga jangan sampai lidah itu sibuk dari pembicaraan-pembicaraan yang melalaikan ketika kita telah lelah dari dzikrullah.

Apabila ada pembatas antara lidah dan hati seseorang dalam berdzikir, yaitu ketika lisan kita sibuk dengan dzikir, doa dan tasbih tapi hati kita tenggelam dalam gemuruh nafsu dan impian-impian duniawi yang diharamkan, maka orang seperti ini bukanlah orang yang berdzikir atau beribadah, melainkan itu hanyalah tampilan luarnya saja. Sikap dzikir seperti ini tidak memiliki makna sama sekali bagi dirinya, kecuali hanya sebutan ahli dzikir dari orang banyak, tidak lebih dari itu.

*) Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy lahir pada tahun 1929 di sebuah daerah yang bernama Buthan, bagian dari wilayah Turki yang terletak di perbatasan antara Turki dengan Irak bagian utara.

Pada usia empat tahun, beliau ikut ayahnya, Mullah Ramadhan untuk pindah ke Damaskus, Syria. Setelah menamatkan sekolah Islam di Damaskus, Al-Buthy kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beliau mendapatkan gelar doktor dalam bidang hukum Islam di Universitas Al-Azhar pada tahun 1965.

Pada tahun yang sama, beliau kembali ke Damaskus dan diangkat sebagai salah satu pimpinan di Universitas Damaskus, sekaligus aktif sebagai dosen di sana. Selain itu, ia juga menjabat anggota dewan tinggi di universitas Oxford, Inggris.

Selain sebagai dosen, Al-Buthy juga aktif di berbagai konfrensi dan simposium dunia. Beliau fasih berbahasa Arab, Turki, dan Ingris. Tidak kurang dari 40 buku telah beliau tulis. Hampir setiap hari, beliau mengisi taklim di masjid Damaskus, dan berbagai masjid di Syria. Ribuan orang selalu hadir dalam setiap taklim yang beliau pimpin.

http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/krisis-akhlaq/cara-mengobati-krisis-akhlak-2.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar