Rabu, 04 Agustus 2010

Refleksi Menjelang Ramadhan




Tanpa terasa, jejak-jejak Ramadhan akan kembali hadir di tengah-tengah kehidupan kita. Sebuah momentum yang amat ditunggu-tunggu umat muslim di berbagai belahan dunia. Kehadiran bulan suci diharapkan akan memberikan ”pencerahan” baru setelah (hampir) setahun lamanya kita bersikutat dengan persoalan-persoalan duniawi yang tak jarang membuat kita abai terhadap nilai-nilai spiritual.

Dalam pandangan awam, ibadah puasa di bulan Ramadhan tak cukup hanya dimaknai secara lahiriah dengan menahan diri dari makan dan minum, tetapi justru yang lebih utama adalah menjalankan laku spritual dengan tidak memanjakan selera-selera rendah dan kebuasan hati. Disadari atau tidak, di luar bulan Ramadhan seringkali mata kita mudah silau dan gampang tergoda oleh gebyar duniawi. Untuk mengejar pangkat dan kedudukan, tak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tak terpuji, entah dengan cara-cara magis, menyogok, atau melalui “jalan tikus” yang busuk. Tak berlebihan jika sudah dapat pangkat dan kedudukan, lantas menerapkan “bisnis dagang sapi” di balik slogan “siapa menguntungkan siapa”. Kita demikian mudah melakukan gaya tipu-tipu dengan menghalalkan segala cara untuk menggapai ambisi. Jika perlu, korupsi dan menilap uang rakyat demi membesarkan perut dan memanjakan anak-istri melalui pola hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis.

Ramadhan sejatinya dapat dijadikan sebagai medium untuk membakar dan membrangus kerak-kerak dosa sekaligus menggapai kehidupan hakiki yang lebih terhormat dan bermartabat. Puasa, menurut para pengamat spiritual, mengandung dua dimensi kesalehan, yakin kesalehan personal dan sosial. Kesalehan personal sangat erat kaitannya dengan laku ibadah yang langsung berkaitan dengan Sang Pencipta, sedangkan kesalehan sosial berkaitan dengan eksitensi kita di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Nilai puasa, dengan sendirinya, akan semakin “kaffah” jika kita berhasil membangun kesalehan personal dan sosial sekaligus. Kesalehan personal merupakan manifestasi sikap religius yang berkaitan dengan nilai benar atau salah. Hal ini menjadi wilayah absolut Allah untuk menentukannya yang mustahil bisa diganggu gugat.

Kesalehan sosial merupakan perwujudan sikap spiritual yang tampak jelas melalui kiprah seseorang dalam aksi-aksi sosial dan solidaritas terhadap sesama. Menyantuni anak yatim, mengurus anak-anak miskin dan telantar, memberikan perhatian khusus kepada para jompo, atau sikap mengharamkan korupsi merupakan beberapa contoh manifestasi nilai kesalehan sosial yang akan sangat besar manfaatnya bagi kemaslahatan publik.

Maraknya berbagai perilaku anomali sosial, semacam korupsi, aksi-aksi anarkhis, atau kekerasan, setidaknya bisa menjadi bukti bahwa ibadah puasa yang kita jalankan belum sepenuhnya mampu menggapai nilai kesalehan sosial. Bahkan, seringkali terjebak pada sikap latah berpuasa hanya karena malu atau sungkan kepada tetangga, sanak saudara, dan kolega.

Semoga Ramadhan tahun ini benar-benar menjadi “kawah candradimuka” yang mampu membakar dan membrangus kerak-kerak dosa yang bersarang dalam batin dan jiwa. Sekaligus, juga mampu menghadirkan sebuah pencerahan dan membawa banyak hikmah sehingga kita mampu menemukan saripati nilai kesalehan personal dan sosial dalam kehidupan kita yang lebih hakiki.

Selamat menyongsong dan memasuki bulan suci Ramadhan dengan suasana hati yang bening dan jernih. Mohon maaf lahir dan batin!

Sumber: Refleksi Menjelang Ramadhan » Catatan Sawali Tuhusetya http://sawali.info/2008/08/27/refleksi-menjelang-ramadhan/#ixzz0vcA6fa52


Tidak ada komentar:

Posting Komentar