Selasa, 12 Oktober 2010

Baiti jannati


Rumahku surgaku." Indah nian harapan yang disiratkannya. Harapan, karena banyak juga ungkapan lain yang bernada pesimis, bahkan putus asa. Dimana salahnya bila ada orang bersungut menggerutui nasib: "Gagasan tumbuh di jalan, berkembang di kantor dan mati di rumah," desahnya.


Sebagai ungkapan sambil lalu, tentu saja banyak hal mengundangnya. Kalimat ringkih itu boleh jadi lahir dari kegagalan menata rumah tangga dan karir. Mungkin dari pengalaman pahit dan realita yang dialami oleh mereka yang sangat alim dan sukses dalam suatu bidang, tetapi mendapat cobaan internal, keluarga yang ‘telmi‘ atau ‘tilulit‘. Untuk hal terakhir ini ada ungkapan, "Orang yang paling zuhud terhadap ulama adalah keluarga dan tetangganya."

Tetapi bagi sebahagian yang lain justeru "rumah adalah mata air gagasan yang tak pernah kering". Hanya sedikit keluarga yang dapat memposisikan seorang anggota keluarga mereka sebagai imam, ulama, profesional, tokoh atau pemimpin masyarakat di suatu saat dan kapan mereka memperlakukannya sebagai ayah, ibu, anak atau saudara.

Itulah sebabnya kita mendengar ungkapan para isteri Kanjeng Nabi SAW memanggilnya dengan sebutan Rasulullah. Sesekali saja ungkapan terkait dengan peran kekeluargaan. "Sungguh aku hafal benar kebiasaanmu hai Aisyah. Bila engkau sedang gembira, engkau sebut, ‘Demi Tuhan Muhammad ; dan bila engkau sedang marah engkau sebut, "Demi Tuhan Ibrahim,"’ begitu kata Rasulullah.

Mereka yang kurang beruntung, boleh melantunkan senandung duka bersama Abu’l ala’ Alma-’arri, penyair skeptis satiris itu:

Orang-orang mulia

perantau di negeri mereka

diasingkan dan dijauhi kerabat keluarga



Ainal Khalal? Dimana Celah Salahnya?

Dimana celah salahnya? Ketika seseorang tak lagi merasakan nyaman melakoni perannya, di situ soal bermula. Alangkah malang perempuan yang kaumnya telah melimpahkan kontribusi besar bagi peradaban, dengan melahirkan dan membesarkan ikon-ikon maksiat di berbagai bidang kehidupan, lalu menggerutu tak pernah kebagian peran. Hari-hari ini (sebagian) mereka menggerutu dizalimi oleh sistem langit, tanpa mampu membuktikan, betulkah kezaliman lahir dari tradisi ataukah dari sistem pesan-pesan yang diturunkanNya, atau mungkin saja lahir dari kecenderungan negatif yang diperturutkan?

Mereka gagal menyeret Aminah ibunda Rasulullah, Fathimah ibunda Hasan dan Husain, ibu-ibu Imam Malik, Imam Syafiie, Sayyid Quthb, Al-Banna dan ibu Socrates untuk bersama-sama memberi kesaksian bahwa agama menjadi biang keladi kezaliman. Akhirnya mereka menuduh tafsir-tafsir itu telah bias. Ini tuduhan khas dari kalangan yang belum berani menuduh Al-Qur’an sebagai produk budaya. Yang paling berani akan langsung menuduh Al-Qur’an dan Assunnah, tanpa keberanian mendeklarasikan diri keluar dari Islam. Kesempatan telah diberikan dan perempuan-perempuan pengukir sejarah telah mengambil peran mereka dengan baik, tanpa mendengki atau didengki laki-laki.

Khaulah memang kecewa oleh kelakuan suaminya. Hindun juga sempit hati karena belanja yang diberikan suaminya kurang selalu, padahal kekayaannya melimpah. Tetapi mereka tidak mempolarisasikan kekecewaan menjadi kutub perseteruan terhadap laki-laki, bahkan sampai tingkat rekayasa besar untuk menjadikan laki-laki (harus) bisa hamil.

Sejarah tak mungkin lupa, bagaimana mula pertama kanjeng Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan-pesan Islam, pendukung pertama datang dari kalangan perempuan dan budak-budak. Selain Khadijah, Fathimah, Aisyah dan Asma, yang menemukan pembenaran samawi atas keagungan peri lakunya yang fitri, para budak, kaum miskin dan kelompok tak berbangsa, menemukan nilai-nilai kemerdekaan dan kehormatan disana. Al-Qur’an telah mengabadikan perlakuan terbaik Islam kepada perempuan ketika complainnya didengar dan hukum berpihak kepadanya. Hanya lelaki dungu yang mau melecehkan mereka dan hanya perempuan (dan laki-laki) pandir yang percaya bahwa risalah langit ini berpihak kepada laki-laki saja.

Dengarlah suara Khaulah, "Ya Rasul Allah, ia telah makan hartaku, habiskan kemudaanku dan kutaburkan untuknya (anak-anak) dari perutku, tetapi ketika menua usiaku dan berpencaran anak-anakku, tiba-tiba ia menziharku." Dan turunlah ayat membelanya pada surat Al-Mujadilah. (Qs.58)

Betapa keras komentar Rasul tentang perilaku kekerasan dalam keluarga, "Lelaki macam apa yang tak tahu malu, memukul isterinya di pagi hari lalu menggaulinya di petang hari."

Kembali ke Jatidiri

Sesudah jaminan yang tak menyisakan dusta ini apa lagi yang diragukan? "Sebaik-baik zaman, ialah zamanku, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya." (HR. Bukhari, Muslim). Ya, zaman baik bagi pemikiran yang waras, bagi pertumbuhan generasi, bagi kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat.

Anak-anak berbakti kepada ibu-bapaknya. Yang tua menyayangi yang muda dan yang muda menghormati yang tua. Ini hal yang tak menyenangkan bagi penganut wacana konflik dalam novel, nuansa darah dalam politik, nuansa hedonik dalam selera, atau nuasa erotik dalam seni.

Ketika pasangan-pasangan di usia produktif, hal utama yang mengemuka adalah tuntutan yang besar pada masing-masing pribadi terhadap pasangannya, ajaran kearifan yang dibimbing Rasulullah bagi ummatnya, adalah bagaimana selalu pada posisi memberi.

Tantangan Masa Depan

Ada kecenderungan di akhir zaman, di antara agen-agen pemikiran seberang. Selalu membandingkan kegagalan aplikasi sistem Islam sebagai kelemahan sistem dan mengabaikan kelemahan faktor manusia pelaksana. Inilah sikap fenomenologis yang kerap tak malu-malu menjadikan nilai-nilai abadi sebagai tertuduh. Kedepan ada pertanyaan besar yang menantang untuk dijawab. Mampukah tradisi, karakter dan moralitas umat yang dibangun di atas manhaj yang kokoh ini menjawab tantangan masa depan? Ketika bangsa ini meratifikasi komitmen HAM dengan catatan ia harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan, mereka tetap saja menjadikannya sebagai harga mati, untuk apapun tujuannya.

Sebuah iklan layanan mengajukan sejumlah pernyataan atau perlawanan. "Siapa ingin diperkosa, silakan berpakaian seperti ini." Para penari erotis dapat terus bekerja dengan penuh gairah dengan naungan payung HAM. Ketika orang di seberang sana merindukan kedamaian keluarga Islami, disini orang sedang gandrung-gandrungnya meniru segala yang berbau sana. Kelambanan berfikir telah mendorong mereka untuk sekadar mengagumi kulit-kulit keindahan. Target-target pencapaian prestasi selalu berbau uang.

Maryarakat modem perlu becermin pada sikap Asiah binti Muzahim, isteri Fir’aun. Ia telah menjadikan seluruh tuntutannya bersifat ukhrawi, di tengah segala kemilau dunia yang melingkupinya. Ia menyindir pemuja dunia yang yakin mampu membangun rumah tangga bahagia hanya melalui benda. "Dan Allah telah memberikan perumpamaan bagi orang-orang yang beriman (pada) peempuan Fira’un, ketika ia berkata, ‘ya Allah, bangunkanlah untukku sebuah rumah di surga. Selamatkan daku dari Fir’aun dan amalnya dan selamatkan daku dari kaum yang zalim."’ (QS. At-Tahrim: 11).

Namun selalu saja fatamorgana kehidupan datang menipu. Kelezatan yang menyimpan ancaman, banyak tak disadari. Seperti kata Rasul, "Perumpaan aku dan kamu, seperti seseorang yang menyalakan api. Mulailah serangga dan kupu-kupu berjatuhan kesana, sedang orang itu menghalau mereka dari api sementara aku memegangi pinggang-pinggang kamu, tetapi kamu berlepasan dari tanganku”. Wallahu’alam

http://beranda.blogsome.com/2008/07/20/baiti-jannati/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar