Kamis, 07 Oktober 2010

Mengukur Kebajikan

Di dalam Al Qur’an (surat Al Baqarah ayat 177) ada ungkapan al Birr, artinya kebajikan. Lafal ayatnya adalah: Laisal birra an tuallu wujuuhakum qibalai masyrikqi wal maghrib (Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan).

Ayat ini turun sehubungan dengan sikap penduduk muslim di Madinah pada waktu itu. Mereka merasa sebagai orang-orang baik, sedangkan yang lain (non muslim) sebagai orang-orang yang tidak baik (sesat). Untuk menyadarkan penduduk Madinah yang telah bersikap salah itu, turunlah ayat ini.
Pengertian dan Sikap Keliru

Khalifah Umar ibnu al Khaththab pernah mengatakan: “Tidaklah dapat mengukur keimanan dan keislaman seseorang karena ia telah melaksanakan shalat, tidak juga karena ia telah berpuasa, tidak juga karena telah membayar zakat hartanya, dan tidak juga karena ia telah menunaikan ibadah haji. Akan tetapi keimanan dan keislaman seseorang harus terlihat pada kehidupannya sehari-hari “.

Adalah pernyataan dan sikap keliru jika seseorang yang telah melaksanakan shalat lalu dikatakan sebagai orang baik. Betapa banyak orang yang telah menjalankan ibadah shalat, baik shalat lima waktu (shalat fardhu) maupun shalat-shalat sunat akan tetapi (ternyata) ia masih suka berbohong, mengucapkan kata-kata kotor, suka menggosip, benci kepada seseorang, mau mengambil sesuatu yang bukan miliknya (bukan hanya itu), bahkan ia juga terlibat kasus korupsi dan lain-lain.

Oleh karena itu, janganlah langsung mengalakan baik terhadap seseorang, akan tetapi perlu diperhatikan perbuatan, perilaku dan sikapnya sehari-hari, sebagaimana penjelasan komprehensif dari agama Islam (al Qur’an).

Seseorang yang baik dalam pandangan manusia belum tentu baik dalam pandangan Allah SWT. Akan tetapi, apabila diri dan kehidupan seseorang telah baik dalam pandangan Allah SWT dan Rasul-Nya, maka dialah sebenarnya orang yang baik.
Ukuran Kebajikan

Mengukur seseorang tentang kebaikannya (kebajikannya) harus terpenuhi (minimal) lima kriteria. Kelima kriteria itu adalah:

1. Segi Keimanan.


Sebagai orang yang beriman ia adalah orang yang sangat menyadari bahwa dalam hidup dan kehidupannya ada Dzat (sesuatu yang ghaib) yang Maha Mencipta dan Mengatur alam semesta ini.

Gerak-geriknya senantiasa dilihat oleh Allah SWT. Selain itu ia juga orang yang menyadari, bahwa segala sesuatu (termasuk dirinya sendiri) akan mengalami kematian.

Semuanya pasti akan berakhir, kecuali Dzat Allah SWT. Tidak hanya itu, ia juga beriman kepada para Malaikat, khususnya Malaikat Raqib (pencatat amai-amal baik) dan Malaikat Atid (Pencatat amal-amal buruk).

Kecuali itu, ia juga seorang yang selalu mengikuli aturan-aturan hidup (Kitab Suci al Qur’an). Seluruh kehidupannya selalu sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam kitab-kitab suci, khususnya al Qur’an.

Setelah keempat keimanan tersebut (tidak ketinggalan) keimanannya kepada para Nabi Allah pun adalah hal yang sangat mempengaruhi hidup dan kehidupannya. Para Nabi tersebut adalah pembawa ajaran keselamatan dan kebahagiaan bagi umat manusia, termasuk Nabi SAW. sehingga dalam menjalani kehidupan sehari-hari ia selalu mengikuti ajaran yang dibawa para Nabi tersebut.

2. Segi Kepedulian sosial.


Orang yang baik dalam pandangan Allah SWT, tidak cukup dengan modal keimanan saja, akan tetapi ia juga harus memiliki kepedulian terhadap sesama umat manusia, seperti kepada keluarganya sendiri, anak-anak yatim, orang-orang miskin, kaum dhu’afa dan orang-orang yang kehilangan hak dan wewenang (hamba sahaya).

Orang yang baik tidak akan membiarkan orang-orang tersebut, kecuali diperhatikan dan dibantunya serta disayangi dan dihormatinya. Orang baik tidak akan mau menumpuk kekayaan, kecuali dibagikannya kepada orang-orang yangberihak menerimanya. Dan orang baik adalah yang memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan bersama orang lain.

3. Segi ibadah.

Seseorang yang telah baik imannya, ia juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi, (namun) untuk menggolongkannya sebagai orang baik dalam pandangan Islam, ia juga haruslah melaksanakan ibadah shalat dan membayar zakat hartanya secara baik dan benar.

Apabila pelaksanaan shalatnya benai-benar didasari oleh nilai ketaatan dan kecintaan yang tinggi kepadaAllah dan Rasul-Nya, serta dengan pelaksanaannya yang sesuai dengan ketentuan yang telah anda dan dicontohkan oleh Nabi SAW.

Sementara ia senantiasa membayar zakat hartanya dengan ikhlas dan dengan cara yang baik dan benar, maka (dengan sendirinya) ia telah membangun hubungan baik dengan Allah SWT (hablum minallah) dan hubungan baik dengan manusia (hablum minannas).

4. Segi penepatan janji.

Menepati janji adalah hal yang sangat penting. Posisinya menjadi tolok ukur kebaikan seseorang. Apabila seseorang selalu menepati janjinya maka ia telah menyelamatkan diri dari sebahagian ancaman kemunafikan. Oleh karena itu, menepati janji termasuk syarat untuk menjadi baik dalam pandangan Islam (QS. Al Baqarah: 177).

5. Segi kesabaran.

Dalam pandangan Islam (Allah SWT) orang baik harus memiliki sifat sabar. Walaupun seseorang telah memiliki iman, kepedulian sosial, melaksanakan shalat dan membayar zakat, dan juga senantiasa menepati janji, namun apabila ia tidak memiliki sifat sabar yang baik dan benar, maka ia belum termasuk baik dalam pandanganAllah SWT.

Sumber : Lembar Risalah An-Natijah, No. 26 / Thn. XIV - 26 Juni 2009
http://mimbarjumat.com/archives/751

Tidak ada komentar:

Posting Komentar