Jumat, 29 Oktober 2010

Ketika Mahasiswa Asing itu Menikmati Gerakan Shalat


Beberapa hari ini Lukas meminta diajari cara shalat. Maunya semua ritual shalat ditunjukkan tanpa ada yang terlewatkan. Mulai cara berwudhu, hingga gerakan-gerakan shalat dari takbiratul ikram sampai salam.

Tak hanya itu, dia pun beberapa kali mempraktekkan sholat sebagai makmum di musala kantor Biro Kerjasama Luar Negeri (BKLN) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). “Saya menikmati gerakan-gerakan shalat. Bagus sekali,” kesannya.

Nama lengkapnya Lukas Maximilian von Rantzau. Dia adalah mahasiswa Dresden University, Jerman, yang sedang mengikuti program student exchange di UMM. Dalam program di bawah naungan Erasmus Mundus External Cooperation Window (EMECW) yang didanai oleh Komisi Uni Eropa itu, Lukas dan beberapa teman lainnya dari Eropa selama satu semester mengikuti kuliah di berbagai jurusan di UMM.

Sebaliknya, 27 mahasiswa UMM, saat ini mengikuti kuliat tersebar di tujuh negara untuk program yang sama. Tujuh negara itu adalah Austria, Itali, Turki, Jerman, Finlandia, Spanyol dan Portugal.

Pelajaran shalat tentu tidak termasuk dari mata kuliah yang diikuti Lukas. Selain dia memang non-Muslim, dia mengambil jurusan Hubungan Internasional, bukan Tarbiyah atau Syari’ah. Tetapi keingintahuannya tentang shalat sering timbul karena melihat gerakan-gerakan shalat yang membuatnya terkagum.
“Ini seperti meditasi. Tadi saya capai sekali, setelah ikut shalat jadi lumayan rileks,” ujar Lukas usai mengikuti Shalat Zuhur, Rabu (27/10).

Empat hal tentang shalat


Untuk sementara, keingintahuan Lukas hanya sebatas arti gerakan shalat bagi kebugaran fisiknya. Dia hanya bisa menilai, jika dilakukan lima kali sehari, tentu shalat akan menyehatkan tubuh. Saya mengajak dia berdiskusi kecil tentang substansi shalat. Saya kemukakan beberapa saja yang mudah dipahaminya agar tidak terlalu membebani kognisinya, karena dia baru belajar bahasa Indonesia. Saya hanya menyampaikan beberapa hal.

Pertama, kenapa shalat harus lima waktu. Kita hidup di bawah irama waktu yang tak menentu. Kadang ritme kita cepat, kadang lambat. Kadang kita lupa waktu jika bekerja, atau emosi sedang memuncak. Maka waktu shalat akan mengingatkan kita agar kembali menghadap Allah, menyerahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Memiliki Waktu.

Lihatlah, betapa Allah mengatur lima waktu shalat itu dengan sangat indah. Subuh ketika kita bangun, zuhur ketika kita sedang puncak-puncaknya bekerja, asyar saat tenaga kita mulai melemah. Lalu maghrib di waktu kita berkumpul dengan keluarga, dan isya sebelum kita meninggalkan semua aktivitas di hari itu. Luar biasa indahnya!

Kedua,
shalat tak hanya soal gerakan fisik. Mata batin kita juga bergerak mendekatkan diri kepada-Nya. Kita meninggalkan segala sesuatu yang bersifat duniawiyah. Ritual berwudhu adalah membersihkan diri agar batin kita lebih siap menghadap. Jadi bukan hanya untuk kebersihan tubuh semata-mata. Gerakan takbiratul ihram, rukuk, sujud tak semata-mata berolahraga, tetapi membuat irama hati sebab sesungguhnya kita amatlah kecil di hadapan Yang Maha Akbar.

Ketiga, tidak ada status sosial yang melekat dalam shalat. Islam mengajarkan agar sebelum shalat berjamaah shaf-shaf diluruskan, dirapatkan. Ini bermakna, sesungguhnya Islam itu rapi dan terorganisasi mengikuti pemimpin (imam)-nya. Islam bukan sebuah //crowded group atau kelompok kerumunan yang terpecah-pecah dan bicara sendiri-sendiri.

Meski demikian, tak ada status sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah. Yang ada adalah kesejajaran, equalitas, sebab siapapun yang melakukan shalat tak dipandang pejabat atau keturunan ningrat, semua berbaris dengan gerakan rukuk dan sujud yang sama. Tak ada //prevelage untuk siapapun, misalnya dengan dispensasi yang pejabat tidak usah rukuk atau sujud.

Keempat, ini yang terpenting, Allah mengajarkan sesungguhnya di dalam sholat itu mengandung dimensi teologis sekaligus sosial. Shalat dimulai dengan mengangungkan nama Allah, “Allahu Akbar”. Lalu diakhiri dengan salam, mendoakan umat Islam yang ada di sekitar kanan-kiri kita: “Assalamu’alaikum warahmatullah….”. Rupanya Allah tidak memonopoli agar shalat itu untuk-Nya semata-mata, tetapi juga untuk umat manusia agar selamat sejahtera di muka bumi dan di akhirat nanti.

Maka tak heran, ajaran shalat juga diberi frame yang keras oleh Allah melalui surat Al-Ma’un. “Maka celakalah bagi orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya. Dan orang-orang yang enggan menolong dengan barang berguna.” (QS 107:4-7). Rupanya Allah “mengancam”, melakukan shalat saja tidaklah cukup, bahkan bisa tergolong “celaka”, jika tidak dilakukan dengan ikhlas dan tak disertai amalan sosial menolong anak yatim dan kaum miskin.

Kisah si Murad


Saya teringat dengan si Murad, sopir pribadi Dubes Indonesia untuk Turki, waktu mengantarkan saya mencarikan dormitory di Ankara beberapa waktu lalu. Sewaktu saya ajak shalat, dia bilang malas. Katanya dia belum siap dengan konsekuensinya, mengamalkan shalat dalam kehidupan sehari-hari.

Meski saya tahu itu alasan yang dibuat-buat karena ternyata dia sangat ingin bisa pergi haji ke Makkah, tetapi ada benarnya juga. Dia tidak mau dianggap sebagai pendusta agama. Meskipun sebenarnya, meninggalkan shalat tak kalah celakanya.

Rupanya Lukas, si Bule Jerman tadi, semakin penasaran. Mungkin dia tak menyangka jika di dalam gerakan shalat yang diikutinya mengandung dimensi yang begitu mengagumkan. Semoga dia akan terus belajar shalat, tak hanya gerakannya, tetapi makna dan substansinya.

Jika bukan untuk membawa dia kepada ketertarikan pada Islam, setidaknya mengurangi stigma islamofobia – ketakutan pada Islam -- yang selama ini banyak melekat di benak dunia Barat. Wallahua’lam.

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/10/28/143050-ketika-mahasiswa-asing-itu-menikmati-gerakan-shalat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar