Jumat, 29 Oktober 2010

Perang Mata Uang (Forex Wars)


Perang mempunyai banyak jenis, kita mengenal diantaranya : Perang Konvensional (dengan menggunakan senjata), Perang Dingin (dengan politik dan spionase) dan Perang Ekonomi. Untuk yg disebut terakhir yaitu perang ekonomi sudah sejak pergantian millenium tampaknya raksasa ekonomi dunia seperti AS, Eropa dan macan Asia seperti Jepang dan China sudah memulainya. Cuman di tahun ini (2009) telah timbul perang baru dan ini merupakan turunan langsung dari Perang Dagang dan Perang Tarif yg merupakan bagian dari perang Ekonomi global yg sedang terjadi yaitu Perang Mata Uang (Forex Wars).

Kalau Perang biasa yang kuat biasanya yg menang, tapi dalam perang mata uang justru "yg lemah mata uangnya" mempunyai competitive trade advantage. Ya...dalam situasi krisis ekonomi global yg terjadi sekarang, negara net-exportir sangat tidak mengharapkan mata uangnya menguat. Penurunan daya beli dunia menjadi penyebabnya, disaat krisis tidak ada yg mau beli harga barang yg mahal akibat perbedaan Foreign Exchange.

Selama beberapa dekade kita juga sangat mengenal kebijakan ekonomi Pemerintah Jepang, yg sangat aktif bergerilya menekan mata uangnya sendiri (Yen) untuk melemah. Dengan suku bunga Bank Sentral yg dipelihara supaya rendah (jauh lebih rendah dibandingkan negara industrial lainnya), membiarkan aksi Carry Trades berjalan (investor pinjam di Jepang dan menanamkan uang hasil pinjamannya di negara dengan suku bunga tinggi). Namun lihat apa yang terjadi setelah krisis kredit berubah menjadi krisis ekonomi global....semua pinjaman yg ditanam di luar negeri mengalir kembali ke Jepang dengan deras, membuat Yen menguat secara fenomenal ke hampir semua mata uang dunia. Yen yg menguat merupakan mimpi buruk eksportir Jepang, barang-barang dari Jepang terlihat relatif terlihat lebih mahal dibanding sebelumnya....membuat negara kecil yg benar2 tergantung eksport ke luar negeri ini benar2 terpukul sekali dengan menguatnya Yen, tapi BOJ (Bank of Japan) tidak bisa berbuat banyak karena suku bunga dalam negeri-nya pun hampir mendekati O %, tidak ada yg bisa dilakukan lagi.

Lain halnya dengan China, negara komunis ini dengan terang2an menggunakan tangan besi melemahkan nilai mata uangnya. Sementara China menumpuk cadangan devisa negaranya dalam USD, mata uang yg selalu tampak jauh lebih kuat dibandingkan dengan Yuan tidak perduli seberapa kuat ekonomi China maju pesat, Yuan tetap di-bonsai Pemerintah China. Kebijakan yg sangat dibenci "partner" dagangnya yaitu Amerika Serikat karena disadvantage USD yg relatif lebih kuat terhadap Yuan menyebabkan produk2 dari US terlihat jauh lebih mahal dan tidak dapat bersaing untuk memperebutkan pangsa pasar terbesar di dunia yaitu: 1 milyar orang calon konsumen China.

Lewat tekanan politik AS yg kuat akhirnya Pemerintah China dengan berat hati membiarkan Yuan-nya menguat sedikit demi sedikit sesuai dengan pertumbuhan ekonomi China yg semakin cepat, pada tahun 2005 mereka mulai melepas Yuan untuk menguat dan dalam waktu 3 tahun, Yuan menguat terhadap terhadap USD sebesar 17 %.

Namun itu dirasa belum cukup oleh politisi-politisi AS, mereka tetap saja mengecam dan mengancam China bila mereka (China) tidak membebaskan Yuan-nya (free floating system) maka kongres akan mengenakan tarif 27,5 % pada setiap produk China. Gertakan dibalas gertakan, China official mengancam akan menarik dukungannya terhadap US lewat pembelian Surat hutang US (US T-Bills), hutang yg dibutuhkan US untuk mencetak uang, membiayai program2 ekonomi multi milyar dollar...ancaman yg sangat serius bagi economy US karena China memegang hutang luar negeri US dalam bilangan fenomenal ( $ 1 trilyun )

Ancaman dibalas tindakan dan tindakan The Feds (Bank Sentral AS) diluar perkiraan banyak orang, lewat pertemuan FOMC minggu kemarin The Feds memutuskan untuk membeli sendiri surat utang (T-Bills) AS dan mortgage kredit bermasalah senilai lebih dari $ 1 trilyun....dengan kata lain yg lebih sederhana The Feds secara sengaja melemahkan USD dengan mencetak dollar $ 1 trilyun lebih banyak tanpa di back up hutang luar negeri alias cek kosong....Suatu tindakan yg sangat berani bahkan mungkin bisa disebut berjudi dengan nasib....

Aksi "Kamikaze" The Feds US tentu sangat menyakiti China, tidak bisa tidak dia mempunyai asset USD $1 trilyun!...sekarang sedang di "sunat" nilainya oleh tindakan The Feds..mungkin langkah The Feds juga menunjukan pada China bahwa dalam keadaan terjepit US dapat melakukan apa yg sebelumnya tidak terbayangkan....Jika China enggan menguatkan nilai Yuan nya, mungkin US sendiri akan melemahkan sendiri mata uangnya (USD)....perlu dicermati langkah China dalam melakukan aksi balasan nantinya.

Jika aksi balasan dari China berupa kebijakan yg "luar biasa" nekatnya juga...misal benar2 meninggalkan USD sebagai reserve dengan tidak membeli lagi T-Bills US...It could be spark another kind of Wars.

Membongkar Perang Mata Uang AS-China

Memanasnya perang mata uang di tengah kecamuk krisis ekonomi yang mendera Negeri Paman Sam, mendorong Menteri Keuangan AS Timothy Geithner terpaksa bertandang ke China Ahad ini (24/10) untuk menggelar perundingan. Tindakan China yang berusaha mempertahankan nilai yuan pada level rendah ditengarai sebagai sumber sengketa antara Beijing dan Washington dalam beberapa bulan terakhir ini.
Bukan hanya para pejabat ekonomi AS, kalangan Kongres pun menuding China sengaja mendevaluasi yuan supaya komoditas ekspornya tetap bisa bersaing di pasar global. Sebaliknya Beijing menuduh Washington menerapkan kebijakan moneter yang tidak bertanggung jawab sehingga menyebabkan nilai tukar dolar melemah dan arus modal panas pun menyerbu negara-negara emerging market untuk memperoleh keuntungan jangka pendek. Masalah inilah yang membuat silang sengkarut di antara dua raksasa ekonomi dunia itu tak juga beres.

Menanggapi hal tersebut Menteri Keuangan AS Timothy Geithner menyinggung pertemuan negara-negara G-20 di Korea Selatan dan menyatakan, para menteri keuangan G-20 telah mencapai kata sepakat soal pentingnya peningkatan secara bertahap nilai mata uang negara-negara yang memiliki surplus perdagangan tinggi. Dalam laporan departemen keuangan AS juga disebutkan, negara-negara yang mempertahankan nilai mata uangnya jauh lebih rendah dari nilai aslinya telah berkomitmen untuk bergerak menuju sistem transaksi yang berbasiskan pasar.

Menteri keuangan AS dalam wawancaranya dengan Televisi Bloomberg seusai menghadiri sidang G-20 di Korea Selatan menandaskan, "China beranggapan bahwa peningkatan nilai yuan akan menguntungkan pihaknya lantaran tidak ingin Bank Sentral AS mengendalikan kebijakan moneternya". Ia menilai, China merupakan negara mandiri dengan kekuatan ekonomi yang besar dan tumbuh cepat. Meski demikian, Timothy berharap Beijing bisa menggerakkan kebijakan ekonominya secara lebih dinamis karena itu perlu diupayakan peningkatan nilai yuan secara berkesinambungan.

Sementara itu, Kongres AS dan sebagian ekonom dunia berkeyakinan bahwa nilai yuan saat ini 20 persen lebih rendah daripada nilai yang semestinya. Jeffry Frieden, professor dari Universitas Harvard menjelaskan, tindakan China yang berusaha mempertahankan nilai yuan tetap rendah, bukan hanya merusak ekonomi AS tetapi juga bagi sebagian besar negara-negara dunia. Pakar masalah moneter dan finansial di banyak negara itu menambahkan, rekayasa devaluasi yuan yang dilakukan China, sejatinya akan menyeret negara-negara dunia untuk berlomba-lomba menurunkan nilai mata uangnya. Di sisi lain, ia juga menilai bahwa pelemahan nilai yuan juga menjadi biang utama yang membuat perbaikan ekonomi di Negeri Paman Sam tak juga membaik. Meski Jeffry tak mengingkari kelemahan internal ekonomi AS, namun kebijakan China itu dinilainnya telah menyebabkan kebijakan ekonomi AS di kancah global terseok-seok.

Cermati "perang mata uang"


Anda mungkin akan mendapati diri Anda terlalu naif mengklaim apresiasi rupiah sebagai indikator membaiknya perekonomian.

Mengapa begitu? Karena asumsi itu menapikan sisi lain bahwa keseimbangan perdagangan terancam akibat daya saing terpukul oleh rezim-rezim ekspor lain yang berlomba melemahkan kurs mata uangnya.

Saat ini kinerja ekspor Indonesia memang mengesankan. Agustus lalu ekspor naik 9,76 persen, sedangkan inflasi hanya 0,44 persen. Namun di tengah ekonomi global yang saling mempengaruhi tapi sedang dilanda perang kurs, kita memiliki alasan untuk tidak terlena.

Meminjam tesis editor The Weekly Standard, Irwin M. Stelzer, "perang kurs" dipicu oleh Amerika Serikat.

Menghadapi kampanye pemilihan presiden yang dimulai 3 November nanti, Barack Obama membutuhkan jualan politik baru untuk menarik simpati rakyat.

Pemerintahan ini menghadapi pengangguran yang meninggi dan sistem produksi domestik yang mandek. Obama lalu menawarkan program perluasan lapangan kerja dan memicu sektor produksi.

Federal Reserve kemudian mencetak banyak-banyak dolar AS. Akibatnya dolar melemah. Saat bersamaan, syarat masuk produk dan modal impor, khususnya China, diperketat.

Intinya, industri domestik diproteksi agar anteng berproduksi, sementara asing dipaksa berbagi insenfit bunga surat utang yang dipegangnya. Celakanya, formula itu mendorong negara lain meniru AS, demi mempertahankan daya saing.

Jepang mengintervensi pasar uang demi melemahkan yen. Singapura bergerilya lewat instrumen pajak. Brazil menggandakan pajak beli obligasi oleh asing, Thailand menarik 15 persen pajak kepada asing pembeli obligasi nasionalnya, sementara Korea Selatan melarang bank meminjam dalam mata uang asing.

Banyak negara merintih karena produk ekspornya tiba-tiba tak kompetitif lagi. Brazil tak tahan dan mengaum, "Kita berada di tengah perang mata uang. Daya saing kita tercampakkan," kata Menteri Keuangan Brazil Guido Mantega.

Perang kurs memperlihatkan dilema besar dalam sistem keuangan global di mana dolar AS menjadi cadangan mata uang resmi dunia. Dilema itu adalah ketika AS memakai referensi global ini sebagai instrumen domestiknya, maka perekonomian global terancam perang harga besar-besaran.

Hubungan antarnegara pun bisa rusak. Lihat saja Jepang dan China yang bersitegang karena dipicu saling banting harga di pasar ekspor. Jepang juga menyemprot Korea Selatan karena produk-produk ekspornya kalah laku setelah Korea terus melemahkan mata uangnya.

Indonesia bisa saja merintih jika Malaysia dan Singapura mengenakan syarat-syarat lebih ketat terhadap produk dan jasa Indonesia ke sana.

Mungkin saja instrumen pajak terhadap modal masuk diberlakukan pula pada Indonesia. Itu artinya, para pengusaha Indonesia yang memarkir modal di sana tertekan, lalu mengkompensasikan tekanan itu kembali ke Indonesia.

Bisa juga kondisi-kondisi kerja ideal bagi TKI diubah atau berbuat aneh-aneh terhadap produk Indonesia seperti Taiwan terhadap Indomie. Saat itu terjadi, maka hubungan politik pun terganggu.

Inilah tesis yang salah satunya diajukan ekonom China Li Xiangyang, "Jika negara yang mengadopsi kebijakan nilai tukar (ala AS) kian banyak, maka kepentingan antarnegara akan saling bertabrakan."

Uang Panas

Perang kurs awalnya dengan mendevaluasi mata uang, lalu meminta mitra dagang menaikkan nilai produk dagangnya. Setelah itu, tarif impor dikenakan suatu negara guna melindungi industri kuncinya. Dengan cara seperti ini permintaan domestik kepada produk-produk hasil dalam negeri meningkat.

Masalahnya, saat itu terjadi, barang dan jasa ekspor satu negara hancur karena negara tujuan ekspor memutuskan membuat sendiri produk itu.

Misalnya, Anda mengekspor sepatu ke AS, tapi AS kini memproduksi sendiri sepatu. Anda terpukul kan? Inilah yang membuat China meradang.

Lalu, buah terpahit dari perang kurs adalah banjirnya "uang panas" ke sistem perekonomian yang dianggap menguntungkan dalam jangka pendek.

Banjir uang panas terjadi karena sekarang siapapun bisa memegang dolar karena harganya murah, sementara sejumlah negara seperti AS menjadi pelit memberi insentif. Akhirnya pemodal jangka pendek ini mencari pelabuhan-pelabuhan modal yang dianggapnya menarik.

Investor "uang panas" hanya datang sementara dan melulu memperdagangkan risiko. Tahun ini Anda mungkin dianggap aman, tapi tahun depan anggapan bisa berubah. Bukan karena Anda menjadi tak aman, tapi karena tempat lain menawarkan insentif lebih besar.

Saat itu terjadi, maka modal masuk segera berubah menjadi capital outflow. Ini tak akan apa-apa jika jumlahnya jutaan dolar.

Tapi, mengutip Institute of International Finance, uang panas yang gencar memburu negara-negara berkembang seperti Indonesia ini jumlahnya fantastis, 825 miliar dolar AS! Ini hampir sepuluh kali cadangan devisa RI pada September 2010 sebesar 86,2 miliar dolar AS.

Yang mengerikan adalah, dari pengalaman krisis moneter 1997, modal masuk yang datang tiba-tiba, akan keluar tiba-tiba dalam jumlah sama besarnya.

Dalam editorialnya berjudul "The Next Bubble", International Herald Tribune mengingatkan bahwa Wall Street sedang membidik aset-aset negara-negara berkembang. Oleh karena itu negara berkembang harus awas mencermatinya.

Capital inflow yang mengalir masif ini membuat negara penerima modal kelebihan uang, lalu harga barang tertekan, gelembung-gelembung aset tercipta, harga properti dan saham merangsek.

Mengapa disebut gelembung aset? Karena uang yang masuk kantong Anda, bukan karena Anda telah bekerja, tapi dari pinjaman berente yang setiap waktu ditarik dari Anda. Kantong Anda terlihat penuh, padahal isinya utang.

Bahayanya, mengutip China Post, gelembung-gelembung aset ini cepat atau lambat bakal meledak, untuk kemudian menciptakan bencana.

Kecenderungan di atas memesankan hal lain bahwa statistik ekonomi harus dibaca kritis agar tidak mengaburkan realitas ekonomi nasional sebenarnya.

Kita tak boleh lengah hanya karena performa indeks yang terus menanjak, karena fundamental ekonomi juga harus dilihat utuh. Bahkan, IMF mengingatkan Asia mengenai bahaya inflasi dan penggunaan uang panas untuk proyek-proyek domestik.

Yang juga mesti dicermati adalah konsentrasi ekonomi Indonesia sekarang di mana, mengutip Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, 56 persen aset nasional dikuasai oleh hanya 6,2 persen penduduk Indonesia.

Jika banyak dari 6,2 persen penduduk Indonesia itu ternyata tergantung pada "uang panas" (belakangan ini sejumlah saham di Bursa Efek Indonesia yang fundamentalnya tidak terlalu bagus mengalami pembiakan harga yang intensif), maka saat bubble meletus, magnitudo ledakannya merusak 56 persen aset nasional.

Jika 56 persen rusak, maka 44 persen lainnya terganggu.

Semoga skenario itu tak terjadi. Tapi jika Anda menjadi tergantung pada uang panas itu atau tak henti mengiimpor karena lebih murah, maka skenario itu mungkin saja terjadi. Krisis moneter 1997 terjadi karena lengah seperti ini.

Saat ini mengimpor memang lebih realistis. Taruhlah impor beras dan tekstil. Anda mungkin lebih suka mengimpor beras dari Thailand dan tekstil dari China karena harganya lebih rendah dibandingkan harga domestik.

Anda untung, tapi saat bersamaan para petani dan perajin tekstil dalam negeri gulung tikar untuk kemudian menganggur.

Anda boleh tak mempedulikan ini, tapi bisnis jangka panjang Anda niscaya terganggu. Ingat, pengangguran bisa memicu ketidakstabilan, bahkan naiknya kriminalitas.

Terlalu banyak orang yang tidak bekerja akan membuat kegiatan investasi dan bisnis terancam, karena stabilitas politik terongrong oleh orang-orang yang tidak puas dan tersisihkan akibat tidak bekerja. Padahal Anda butuh stabilitas sosial politik demi tenangnya berusaha.

Lebih mengkhawatirkan lagi, ketika hanya segelintir yang menguasai ekonomi nasional--taruhlan 6,2 persen penduduk itu-- saat itu pula curiga dan stigma sosial muncul, lalu memicu konflik sosial dan kebencian antarmasyarakat.

Meminjam hipotesis Amy Chua dalam bukunya "World on Fire", masyarakat demokrasi pasar (di mana Indonesia sedang mengarunginya) memang kerap mencipta dan lalu mendidihkan kebencian antaretnis.

Jadi, di samping menarik insentif positifnya bagi perekonomian nasional, dinamika keuangan global ini mesti dicermati kritis untuk menjamin aset ekonomi tak menciptakan gelumbang. Jika pun ada gelumbung, kita bisa mengelolanya sehingga kempes tanpa menciptakan ledakan.

Krisis moneter 1997 memperlihatkan bahwa gelumbung aset yang meledak berimplikasi luas terhadap negara, dan memicu konflik bernuansa rasial yang pekat.

Oleh karena itu kita harus mencari cara agar aset nasional tak terpusat di tangan segelintir orang, sehingga saat yang satu sakit, tak menjangkiti yang lain, apalagi keseluruhan sistem.

Kita juga perlu memonitor ketat masuknya uang panas. Bank Indonesia memang diam-diam sedang melakukannya, tapi langkah lebih drastis tetap diperlukan. Bahkan para ekonom liberal seperti Uri Dadush, Direktur Program Ekonomi Internasional Carnegie Endowment for International Peace, merekomendasikan ini.

"Karena faktanya modal masuk itu mudah bergejolak dan berjangka pendek, maka intervensi mata uang untuk tujuan mensterilasasi dampaknya, mengakumulasi cadangan devisa, dan terakhir mengenakan pajak terhadap modal masuk atau kontrol devisa lainnya, adalah sah," kata Dadush. .
.

Sumber :

1.http://forum.detik.com/perang-mata-uang-t92957.html?s=8fac004aa74683c86fb0a82a942634c2&t=92957

2.http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=26456:membongkar-perang-mata-uang-as-china&catid=15:lintas-warta&Itemid=58

3.http://www.antaranews.com/kolom/?i=1287722284

Tidak ada komentar:

Posting Komentar