Rabu, 28 Agustus 2013

ADB Ingatkan Pemerintah Jangan Anggap Enteng Kondisi Saat Ini


Bank Pembangunan Asia mengingatkan Pemerintah Indonesia agar tidak menganggap enteng kondisi teraktual di pasar modal Indonesia. Prinsip kehati-hatian tetap perlu dikedepankan untuk mengambil pilihan-pilihan kebijakan dan atau respons atas kondisi perekonomian teraktual itu.

”Jika tidak hati-hati, bisa saja krisis moneter 1998 terulang. Ini masalahnya tidak sesederhana seperti terlihat, seperti tekanan pada nilai tukar dan defisit,” kata ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), Iwan Jaya Azis, seusai diskusi bersama pelaku pasar yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Kamis (22/8/2013).
Iwan menyatakan, dunia semakin terkait satu sama lain. Dampak masing-masing tidak dapat dihindari. ”Satu sakit kena semua,” kata Iwan, yang juga Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Region ADB.

Menurut Iwan, kondisi Indonesia saat ini masih lebih baik dibandingkan dengan India dan Thailand. Namun, dia meminta pemerintah juga mewaspadai kemungkinan dampak dari kondisi terbaru Korea Selatan, negara dengan tingkat utang rumah tangganya lebih tinggi daripada kondisi di Yunani. Negara ini mengalami krisis ekonomi terparah di Uni Eropa.
Iwan menyatakan, kekuatan Asia sebagai sumber pertumbuhan global sudah turun lebih dari 50 persen dibandingkan dengan tiga bulan lalu. Ini gara-gara gonjang-ganjing sektor keuangan dunia dengan pelambatan terbesar terjadi di China.
”Saya tidak yakin tapering akan dilakukan bulan depan, tapi akan segera dilakukan. The Fed juga bingung karena hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Makanya tidak dapat diprediksi, mereka coba-coba juga,” kata Iwan.

Tapering adalah rencana pengurangan pembelian obligasi atau pengurangan kebijakan memperlonggar likuiditas atau quantitative easing (QE) oleh Bank Sentral AS/The Federal Reserve. The Fed berniat mengurangi pembelian obligasi dari 85 miliar dollar AS per bulan menjadi 60 miliar dollar AS hingga 65 miliar dollar AS mulai September sampai Desember 2013.

Sampai hari Kamis (22/8/2013), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup turun -47,04 poin (1,11 persen) ke 4,171.41. Tercatat transaksi sebanyak 15,7 juta lot atau setara dengan Rp 6,8 triliun. Penjualan bersih oleh asing di pasar reguler sebesar Rp 647 miliar. Sepanjang tahun ini, dana investor asing yang keluar dari Bursa Efek Indonesia senilai Rp 7,8 triliun.

Sementara kurs tengah BI menunjukkan nilai rupiah turun 72 poin atau 0,67 persen ke level Rp 10.795 per dollar AS. Di pasar spot, rupiah berada di level Rp 10.875 per dollar AS atau turun 100 poin (0,93 persen). Nilai rupiah kemarin sempat menyentuh level Rp 11.145 per dollar AS. Sepanjang tahun ini nilai rupiah telah turun sekitar 13,5 persen.
Kebijakan The Fed mengurangi pembelian obligasi juga membuat mata uang regional anjlok. Nilai rupee India turun dari 64,72 rupee menjadi 65,15 rupee per dollar AS. Menurut AFP, rupee bahkan sempat menyentuh rekor terendah 65,27 rupee per dollar AS. Baht Thailand juga melemah dari 31,77 baht menjadi 32,12 baht per dollar AS. Sejumlah mata uang di Asia juga melemah hari Kamis kemarin.

Wakil Presiden Boediono saat kuliah umum peserta program pendidikan Lemhannas menolak istilah pelemahan rupiah. Bagi mantan Gubernur BI itu, kondisi di pasar valuta ini lebih mengindikasikan terjadinya fenomena penguatan dollar AS. Maka, istilah pelemahan rupiah perlu diganti dengan istilah penguatan dollar AS. ”Implikasi kebijakan (dari kedua istilah tersebut) berbeda. Jangan sampai kita salah mendefiniskan masalah yang terjadi kini,” ujarnya.

Langkah pemerintahPresiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengumumkan paket kebijakan ekonomi di Jakarta, Jumat ini. Hal ini sebagai respons pemerintah atas pelemahan rupiah dan jatuhnyaIHSG selama empat hari terakhri ini. Salah satu langkah yang akan ditempuh adalah memperbaiki transaksi berjalan dan menggenjot investasi.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menggelar rapat di Jakarta, kemarin. Hadir antara lain Menteri Keuangan M Chatib Basri, Menteri Perindustrian MS Hidayat, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, Menteri Pertanian Suswono, dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswo Utomo.

Rapat tersebut merupakan tindak lanjut atas rapat kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Yudhoyono sehari sebelumnya. Rapat menyiapkan paket kebijakan. Rapat dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama khusus internal pemerintah. Sesi kedua pemerintah dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Di sela-sela rapat, Hatta menyatakan, paket kebijakan ekonomi akan diumumkan langsung oleh Presiden. Paket tersebut intinya adalah kumpulan kebijakan untuk menjaga stabilitas perekonomian dan menjaga pertumbuhan ekonomi nasional jangka pendek dan menengah.
”Dari sisi moneter, BI bekerja. Dari sisi pemerintah, kita bekerja pada makro maupun sektor riilnya,” kata Hatta.

Salah satu isi paket sebagaimana dipaparkan Hatta adalah menggenjot investasi. Caranya adalah relaksasi sejumlah insentif pajak, revisi daftar negatif Indonesia (DNI), dan pemangkasan hambatan, terutama perizinan.

Relaksasi insentif pajak antara lain diberlakukan pada tax allowance (pengurangan pajak) dan tax holiday (pembebasan pajak). Untuk DNI, revisi yang dilakukan semangatnya adalah membuat daftar tersebut semakin ramah investor tanpa melanggar undang-undang. Sementara pemangkasan hambatan perizinan antara lain dilakukan di sektor migas. Dari 68 perizinan dipangkas menjadi 8 perizinan.
Pemerintah juga mencermati transaksi berjalan yang defisit selama tujuh triwulan berturut-turut. (BEN/LAS/ATO/CAS/MAS/RAZ/ETA/PPG)


**********************************


Iwan Jaya Azis: Bisa Saja Krisis Moneter Terulang

NAMA Iwan Jaya Azis sudah tak asing di telinga para birokrat, pengusaha, apalagi ekonom Indonesia. Ahli matematika ekonomi dan ekonomi regional ini adalah Guru Besar Cornell University, Amerika Serikat dan Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia (UI). Bulan Juli 2010, Iwan diangkat sebagai Kepala Kantor Integrasi Ekonomi Regional Bank Pembangunan Asia (ADB) hingga kini.

Apa pandangannya tentang ambruknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah, termasuk sektor keuangan di sejumlah negara Asia? Iwan Purwantono dari InilahREVIEW dan beberapa wartawan lain mewawancarai lelaki kelahiranSurabaya, 17 Februari 1953, ini seusai diskusi bersama pelaku pasar yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Kamis pekan lalu. Petikannya:

Nilai tukar rupiah dan IHSG terus melemah, termasuk defisit neraca perdagangan yang semakin membengkak. Apa komentar Anda?

Untuk menghindari dari itu (krisis), kebijakannya memang bermacam-macam. Ya, semua sangat bergantung kepada pemerintah. Kalau ini saya tidak tahu. Saya lebih mendalami perekonomian negara lain, seperti Korea dan China.
Apakah krisis 1998 bisa terulang?

Kalau pemerintah tidak berhati-hati, bisa saja krisis moneter 1998 terulang. Saya kira, pemerintah sudah mempersiapkan langkah-langkahnya. Kita tunggu saja.
Beberapa negara di Asia, seperti Indonesia, Thailand, dan India mengalami defisit neraca berjalan dan jumlahnya cukup besar. Komentar Anda?

Ketiga negara itu, masalahnya memang mirip-mirip. Nilai tukarnya terpuruk. Namun yang paling parah adalah India dengan ruppe-nya. Nilai tukarnya anjlok besar-besaran.
Korea, berbeda lagi. Masalah ekonominya akibat kredit rumah tangga yang sangat besar. Volumenya jauh lebih besar dibandingkan utang Yunani. Yang ingin saya katakan, perekonomian negara-negara di Asia seperti Indonesia,Thailand, India, dan Korea, cukup spesifik. Mereka memiliki fase krisis yang berbeda. Tentu saja, penanganannya juga berbeda.
Apa dampak dari pelemahan ekonomi di Asia?
Yang jelas, pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia mulai meredup. Dalam catatan saya, tiga bulan terakhir ini, terjadi penurunan sampai 50%. Asia sudah bukan lagi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
Apa penyebabnya? Apakah karena salah urus atau ada faktor eksternal?
Tentu, ada kaitannya dengan perkembangan di AS dan Eropa. Kalau Eropa, kita semua sudah tahu. Sedangkan AS, terkait kebijakan The Fed selaku bank sentral di sana. Apalagi kalau bukan rencana penghentian pelonggaran kuantitatif atau quantitative easing (QE).

Kalau AS jadi menghentikan QE, apakah perekonomian banyak negara bakal rontok?
Saya kok tidak yakin. Karena, Pemerintah AS belum pernah menjalankannya. Jadi, agak sulit memprediksinya. Bahkan boleh dibilang unpredictable. Bank sentral AS tidak bisa menetapkan kapan dimulainya penghentian QE dan pengurangan stimulusnya berapa. Saya kira, semuanya masih belum jelas.
Tapi, Chairman The Fed Ben Bernanke sudah mengatakan akan mengakhiri QE sampai 2014.
The Fed yang biasanya memborong obligasi senilai US$ 85 miliar tiap bulan, kemudian mau dikurangi menjadi US$ 60 miliar. Tapi, saya kok masih belum bisa yakin. Demikian pula kabar bahwa stimulus The Fed bakal distop sampai 2014, belum yakin juga. Bank sentral Amerika kelihatannya masih bingung. Ya termasuk itu, Bernanke.
Artinya, pencabutan QE dilakukan setelah AS terbebas dari krisis. Kalau sekarang, apakah AS sudah bisa dibilang bebas dari krisis?
Saya kira belum sepenuhnya. Karena indikatornya belum tercapai. Misalnya, disebut bebas dari krisis kalau angka inflasinya 2% serta jumlah penganggurannya di bawah 6%. Nah, kondisi tersebut belum terjadi.
Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di majalah InilahREVIEW edisi ke-01 tahun ke-03 yang terbit, Senin, 26 Agustus 2013. [ts]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar