Jumat, 12 November 2010

IDUL ADHA DAN REALITA KEHIDUPAN

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

(Q.S. Ali Imran [03]: 92)


Idul Adha atau hari raya korban mengajarkan arti penting sebuah keyakinan dan pengorbanan. Bermula dari kisah Nabi Ibrahim as. yang mendapat perintah dari Allah SWT agar menyembelih putra tercintanya Ismail a.s. Ketulusan Ibrahim untuk menyembelih putranya atas perintah Allah, merupakan bentuk pengorbanan yang sangat mendalam. Pengorbanan demi suatu keyakinan yang kuat akan nilai kebaikan, dan pasti akan mendapat pertolongan Allah dalam perjalanannya, meskipun harus melepas sesuatu yang paling ia cintai. Hikmah dari keikhlasan tersebut ternyata tidak sia-sia, dengan keridhaan Allah SWT mengganti Ismail dengan domba untuk disembelih sebagai hewan kurban. Ibrahim telah mendapatkan kebaikan yang sempurna atas pengorbanannya.

Momentum inipun diabadikan dalam agama ini atas kemuliaan bapak para nabi. Umat Islam yang mampu secara materi berkewajiban untuk menyembelih hewan kurban setiap datangnya Idul Adha. Begitu pentingnya kurban ini, baik sebagai bentuk simbolik maupun materialnya, Rasulullah pernah bersabda yang artinya, “Barang siapa yang telah mampu berkurban namun tidak melakukkannya, hendaklah ia tidak mendekati tempat-tempat ibadah“. (H.R. Ahmad)


Makna Idul Adha

Dilihat dari segi maknanya, kata Idul Adha terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata pertama Idul berasal dari kata ‘âda-ya’ûdu-awdatan wa ‘îdan yang memiliki arti kembali. Sedangkan Adha berasal dari kata Adha-Yudhî-udhiyatan yang berarti berkorban. Dengan demikian, Idul Adha adalah suatu perayaan yang dilakukan oleh umat sebagai tekad untuk kembali kepada semangat pengorbanan.

Pengertian ini tentu sangat sederhana. Namun, jika kita kaji lebih jauh makna filosofis yang ada padanya akan kita dapati banyak hal mendasar dalam kehidupan kita. Bahwa kehidupan ini adalah jihad atau perjuangan (al hayâtu jihâdun), sedangkan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Dengan demikian, sifat berkorban adalah sifat keharusan bagi setiap insan yang pada akhirnya memberikan kesadaran.

Dari segi waktu pelaksanaannya, yaitu pada hari pelemparan jumrah aqabah yang dilakukan oleh jama’ah haji, menunjukan bahwa salah satu bentuk pengorbanan dalam melakukan perlawanan tanpa akhir terhadap musuh-musuh manusia, yaitu syaitan dengan segala bentuk sifat turunannya. Begitu juga dengan perayaan Idul Adha merupakan suatu kesadaran sejati untuk melakukan perlawanan terhadap segala sifat syaitan dalam kehidupan ini.

Sedangkan ketika kita tilik dari kata “korban” yang lebih dikenal di kalangan muslim Indonesia, sesungguhnya juga berasal dari bahasa Arab “Qurbân” yang asalnya “Qaruba-yaqrabu-qurbun wa qurbân” yang artinya kedekatan yang sangat. Kata “qurbân” adalah bentuk tafdîl yang menunjukkan penguatan terhadap sifat yang dikandung dari kata tersebut. Dengan demikian, korban adalah wujud kedekatan yang sangat tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan simbol penyembelihan hewan, seorang hamba diharapkan semakin dekat (qarîb) dengan Rabb-nya. Penyerahan pengorbanan dan tersimbahnya darah dari hewan adalah simbol penyerahan hidup seorang hamba kepada Rabbul ‘âlamîn sekaligus pembuktian dari ikrarnya: “Katakanlah: Seungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku adalah milik Allah, Rabb seluruh alam.” (Q.S. Al-An’am [06]: 162)

Pada akhirnya akan terpatri suatu hubungan yang dibangun di atas landasan “radhiyatun mardhiyâtun” yaitu seorang hamba yang memiliki jiwa yang ridha lagi diridhai oleh Allah SWT. Tingkatan kejiwaan seperti ini adalah puncak kejiwaan insan muttaqiin, sebagaimana disebutkan dalam tingkatan-tingkatan tangga riyadhah nafsiyah (latihan kejiwaan) dalam dunia tasawuf.

Penjelasan kejiwaan seperti ini, juga sejalan dengan makna lain yang dikandung oleh kata “Adha”, yang semakna dengan “Dhuha”. Dalam bahasa Arab, selain berarti pengorbanan, kata dhuha juga berarti waktu dimana matahari sedang menapaki jenjang awal dalam manerangi bumi yang sebelumnya diselimuti kegelapan. Artinya pengorbanan yang dilakukan seorang hamba yang beriman sesungguhnya juga merupakan mentari (penerang) jiwa dalam menapaki kehidupannya menuju alam kehidupan sejatinya yang lebih terang benderang.

Diharapkan dengan motivasi pengorbanan jiwa akan semakin bersih dan suci (muzakkah), sehingga dapat berpaut erat dengan cahaya di atas cahaya yaitu cahaya Ilahi. Jiwa yang bersih dan suci (qalbun salîm) seorang muslim akan manapaki sisa-sisa perjalanan hidupnya menuju Sang Pencipta. Hanya jiwa seperti ini yang dapat membawa manfaat di hari segala sesuatunya akan sia-sia dan menjadi hari penyesalan. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”(Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 88-89)

Namun, di manakah pancaran sinar tersebut? Adakah masih tersembunyi di balik hati nurani kita? Akankah ia ragu menampakkan diri kepada mereka-mereka yang di sekeliling kita? Masihkah pantulan sinar itu terhijab oleh ego manusia itu sendiri? Bagi seorang mu’min tentu saja jawabannya adalah tidak. Seorang mu’min, sebagaimana ia dituntut untuk terus membesarkan sinar qalbunya, juga dituntut agar sinar qalbunya mampu menerangi alam sekitarnya. Di sinilah ia dituntut dalam pengabdiannya untuk bertakbir (Allahu Akbar) membesarkan nama Allah dan di sisi lain juga, ia harus menyinari alam sekitarnya dengan sinar kedamaian dan ketentraman (salâm).

Kesadaran jiwa untuk berkorban menjadi tuntutan yang begitu mendesak saat ini. Pasca krisis yang terjadi di negara kita telah meninggalkan permasalahan-permasalahan sosial yang cukup parah. Pengangguran semakin banyak, yang nota benenya hampir semuanya adalah muslim. Pembantaian sistematis akibat dendam yang tak berkesudahan di berbagai tempat, masih terus berlangsung. Anak-anak remaja yang tercampakkan ke dalam jurang narkoba, prostitusi dan berbagai masalah lainnya, telah mengancam masa depan generasi ummat ini. Semua ini adalah realita-realita kehidupan yang membutuhkan sinar (dhuha) mentari yang terpantul dalam nurani setiap mu’min. Akankah kita merayakan hari raya kurban tahun ini, sementara tak secercah sinar pengorbanan ini mampu menerangi kegelapan hidup mereka? terbetik dalam jiwa kita? Ingat, “Man lam yahtamma bi amril Muslimîna falaisa Minhum” (sungguh siapa yang tidak memperhatikan masalah ummat Islam, maka bukanlah dari golongan mereka).



Penutup

Semoga idul adha kita kali ini menjadi semangat pengorbanan yang hakiki. Suatu semangat yang melandasi hidup dan kehidupan kita menuju ridha Ilahi, sekaligus menyinari qalbu dan nurani kita untuk menengok realita kebesaran Khaliq dan realita kehidupan di sekitar kita. Kegelapan, yang menjadi kabut tebal menutupi kebenaran Ilahi di sekitar kita perlu disingkap dengan sinar mentari pagi (dhuha) yang kita rayakan ini. Wallahu A’lam.

Joko Susilo

Mahasiswa Pascasarjana MSI UII Jogjakarta


http://alrasikh.wordpress.com/2009/11/17/idul-adha-dan-realita-kehidupan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar