Jumat, 16 November 2012

T A M A K atau R A K U S




Tamak atau rakus dalam istilah psikologi bermakna keinginan eksesif (berlebihan) untuk memperoleh atau memiliki harta kekayaan yang bukan haknya atau melebihi yang dibutuhkan.

Pada dasarnya, sifat tamak, dalam arti egois, sedikit atau banyak ada pada setiap manusia. Siapapun dia. Sama seperti sifat-sifat yang lain, seperti kasih sayang ataupun iri dengki. Semua sifat itu melekat pada semua makhluk yang bernama manusia. karena manusia memang di ciptakan dengan dua potensi, yaitu potensi kebaikan dan keburukan.

Yang membedakan kualitas seseorang dengan yang lainnya adalah bagaimana cara dia mengelola semua potensi tersebut. Untuk itu manusia di karuniai satu paket perangkat lunak supaya dapat mengelolanya dengan baik, yaitu akal dan hati.

Sifat tamak untuk sebagian besar maknanya tentu negatif. Karena ia adalah indikator ketidakstabilan jiwa, namun sifat tamak itu bisa menjadi potensi yang sangat dahsyat jika kita mau mengarahkannya pada jalur positif. Karena pada hakekatnya ketamakan adalah rasa tidak puas terhadap apa yang sudah ada. jika kita arahkan rasa tidak puas dan selalu ingin lebih itu pada hal yang positif, maka justru akan menghasilkan sebuah produk karya yang sangat besar.

Ada dua orang yang tamak dan masing-masing tidak akan kenyang. Pertama, orang tamak untuk menuntut ilmu, dia tidak akan kenyang. Kedua, orang tamak memburu harta, dia tidak akan kenyang.

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas ra di atas, ada dua karakter orang tamak yang tidak akan pernah puas terhadap apa yang dimilikinya dan senantiasa berusaha untuk menambahnya. Namun, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda menurut sisi pandang Islam.

Adalah terpuji jika ada seorang Muslim yang tamak terhadap ilmu. Muslim seperti ini senantiasa menginginkan derajat keilmuan, akhlak, amal kebajikan, dan usahanya untuk meraih kemuliaan, yang akan mengetuk hatinya untuk menapaki tangga kesempurnaan sebagai seorang Muslim. Ia selalu memanfaatkan segala kesempatan untuk mengkaji Islam dalam memecahkan problem kehidupan manusia dengan hikmah.
Sabda Rasulullah saw, ”Ilmu laksana hak milik seorang Mukmin yang hilang, di manapun ia menjumpainya, di sana ia mengambilnya,” (HR Al Askari dari Anas ra).

Sedangkan ketamakan terhadap harta hanyalah akan menghasilkan sifat buas, laksana serigala yang terus mengejar dan memangsa buruannya walaupun harta itu bukan haknya. Fitrah manusia memang sangat mencintai harta kekayaan dan berhasrat keras mendapatkannya sebanyak mungkin dengan segala cara dan usaha.

Firman Allah SWT: Katakanlah (hai Muhammad), jika seandainya kalian menguasai semua perbendaharaan rahmat Tuhan, niscaya perbendaharaan (kekayaan) itu kalian tahan (simpan) karena takut menginfakkannya (mengeluarkannya). Manusia itu memang sangat kikir. (QS Al Isra’: 100).

Rasulullah saw bersabda, ”Hamba Allah selalu mengatakan, ‘Hartaku, hartaku’, padahal hanya dalam tiga soal saja yang menjadi miliknya yaitu apa yang dimakan sampai habis, apa yang dipakai hingga rusak, dan apa yang diberikan kepada orang sebagai kebajikan. Selain itu harus dianggap kekayaan hilang yang ditinggalkan untuk kepentingan orang lain,” (HR Muslim).

Dalam Islam, istilah “merugikan orang lain” tidak hanya terbatas pada korupsi, menipu, memeras, mencuri atau membunuh. Istilah ini mencakup juga “keengganan untuk menginfakkan sebagian harta kita pada yang berhak” (QS Ali Imran 3:180).

Allah menegaskan bahwa kesalihan itu adalah membagi sebagian harta dengan orang lain; bukan hanya ibadah ritual (QS Al Baqarah 2:177).

Seorang Mukmin adalah orang yang meyakini bahwa rezeki telah ditentukan oleh Allah SWT. Dia juga yakin bahwa setiap manusia tidak akan menemui ajalnya sebelum semua rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah dicukupkan kepadanya. Ia merasa cukup terhadap harta yang telah diperolehnya dan menyadari ada hak orang lain atas kelebihan harta yang dimilikinya. Ia infakkan sebagian hartanya di jalan Allah untuk membantu saudara-saudaranya yang dilanda kelaparan dan kekurangan.

Islam selalu menekankan pentingnya kesalihan kolektif untuk mencapai masyarakat madani, suatu masyarakat yang hidup damai dan sejahtera. Kesalihan kolektif baru dapat dicapai apabila kalangan yang lebih beruntung secara ilmu dan kekayaan berinisiatif untuk membagi apa yang dimilikinya dan membuang perilaku tamak dan selfish.

Demikianlah yang patut dilakukan seorang Muslim dan ia tidak lagi silau terhadap kekayaan orang lain yang dihimpun karena ketamakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar