Rabu, 03 April 2013

Jurnal Predator


Belakangan ini, saya sering ditanya tentang jurnal predator. Rupanya orang mulai meresahkannya.

Istilah jurnal predator pertama kali diajukan Jeffrey Beall, pustakawan yang bekerja di Universitas Colorado, Amerika Serikat. Puluhan penerbit dan ribuan jurnal ia kategorikan sebagai predator. Jurnal predator diterbitkan oleh penerbit predator dengan tujuan utama bisnis, menghasilkan uang bagi si pembuat jurnal. Biaya pemuatan per makalah ratusan hingga ribuan dollar AS. Tidak murah!

Jeffrey Beall saat ini rutin meneliti jurnal predator yang baru muncul dan bersifat open-access, yaitu jurnal yang hanya tersedia secara online, tidak ada versi cetak. Kalaupun ada, hanya versi cetak lepas (reprint) yang tentu saja sangat mudah dicetak dengan printer masa kini.

Skandal ilmiah

Tidak sulit memulai bisnis ini asalkan bisa membangun situs yang menarik dengan embel-embel foto orang-orang berjas putih, memakai masker putih, seolah-olah sedang meneliti atau berdiskusi. Lebih meyakinkan lagi jika situs tadi ditempeli gambar rantai DNA agar terlihat lebih ilmiah. Ironisnya, bahkan untuk jurnal sosial pun, rantai DNA tetap dipajang.

Dengan menggunakan peranti lunak Open Journal System yang mudah dipasang dan gratis karena bersifat open source, remaja yang terlatih menggunakan teknologi informasi bisa mengendalikan aliran makalah yang masuk, proses penjurian (review), hingga penerbitan makalah secara profesional. Seperti kata Beall, prinsip pendirian jurnal predator adalah membuat situs, mengirim e-mail spam ke para ilmuwan, dan setelah itu tinggal berleha-leha menunggu konsumen datang.

Mungkin masalah terberat jurnal predator adalah mencari penulis makalah, juri (reviewer), dan dewan editor. Meski demikian, pendiri jurnal predator tidak kehabisan akal. Mereka mengirimkan e-mail spam ke ilmuwan-ilmuwan untuk mengisi.

Di negara berkembang, hal ini seperti gayung bersambut karena ilmuwan negara berkembang sangat membutuhkan aktualisasi diri melalui jurnal-jurnal dengan ”cap internasional”. Semua itu untuk meraih hibah penelitian atau jabatan yang lebih tinggi meski harus membayar mahal. Jadilah ”simbiosis yang saling menguntungkan”.

Sebenarnya tidak ada masalah jika makalah yang masuk benar-benar diperiksa juri yang mumpuni, sebidang, dan menggunakan standar ilmiah internasional. Kenyataannya, hampir semua jurnal ini menjamin makalah pasti diterima asal membayar. Di sini skandal ilmiah itu dimulai.

Contoh paling jelas adalah makalah hasil copy-paste di bidang pertanian yang mengatasnamakan penyanyi Inul Daratista dan Agnes Monica sebagai penulis makalah di sebuah jurnal predator di Afrika tahun lalu. Tentu saja, kejadian ini sangat memalukan bagi jurnal tersebut karena jelas sekali makalah tidak diperiksa oleh juri ahli sebelum diterbitkan. Saat ini, makalah itu sudah dicabut oleh pemilik jurnal, tetapi Jeffrey Beall masih menyimpan salinan makalah tersebut di lamannya.

Alamat palsu

Hasil penelitian Beall memperlihatkan, hampir semua jurnal predator dikendalikan dari India, Pakistan, serta negara-negara di Afrika meski di situsnya ada alamat surat di Amerika, Kanada, atau Eropa untuk mengelabui konsumen.

Pada umumnya, jurnal predator bisa ditengarai dari sulitnya menemukan alamat darat jurnal. Editor jurnal hanya dapat dihubungi melalui e-mail atau situs internet. Beberapa alamat yang dipajang, bila diperiksa dengan fasilitas Google Earth, hasilnya akan menunjuk ke alamat apartemen murah, apotek, atau tempat-tempat yang mustahil berbau ilmiah. Pemilik jurnal biasanya menyewa alamat kotak surat di Amerika atau Kanada.
Banyak juga jurnal predator yang judulnya dimulai dengan ”American Journal of” atau ”Canadian Journal of” semata-mata untuk menunjukkan bahwa jurnal ini merupakan produk Amerika atau Kanada.

Begitu pesatnya perkembangan jurnal predator membuat penerbit ataupun jurnal mulai kehabisan nama. Muncul nama-nama penerbit atau jurnal yang mirip atau malah sama. Bahkan, nama-nama tidak lazim mulai bermunculan, misalnya ada jurnal yang namanya ”sampah”.

Jadi rumit

Masalah jurnal predator ini menjadi rumit karena kontribusi para ilmuwan (terutama dari negara berkembang) yang secara langsung turut membesarkan jurnal. Di lamannya, Beall mengajak para ilmuwan dan akademisi untuk menjauhi jurnal ini dengan cara tidak berkontribusi sebagai penulis makalah, juri, atau reviewer, serta editor jurnal.
Akibat kontribusi para ilmuwan, beberapa jurnal memiliki faktor dampak (impact factor/IF) meski IF tertinggi hanya 0,5. Sejumlah jurnal predator juga sudah diindeks oleh Scopus. Sebagai catatan, IF dipercaya banyak ilmuwan untuk menggambarkan kualitas jurnal, sedangkan indeks Scopus dalam skala nasional kita dianggap sebagai stempel jurnal internasional.

Bagi jurnal-jurnal ilmiah nasional yang sudah diakui keilmiahannya melalui akreditasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, keberadaan jurnal predator jelas sangat merugikan. Makalah-makalah ilmiah yang potensial untuk diterbitkan jurnal nasional terserap oleh jurnal predator gara-gara ada embel-embel internasionalnya. Padahal, dalam banyak hal, jurnal nasional kita jauh lebih baik dibandingkan jurnal predator.
Ada satu kasus lagi yang direkam laman Beall. Seorang ilmuwan terpaksa harus menarik kembali makalahnya dari sebuah jurnal predator karena makalah tersebut terpublikasi juga di jurnal yang jauh lebih bergengsi. Namun, jurnal predator mengharuskan si penulis makalah membayar ”biaya penarikan”.

Sangat mencengangkan, betapa komersial jurnal tersebut. Untuk memasukkan harus membayar, dan untuk menarik makalah juga harus membayar. Saya tidak dapat membayangkan berapa banyak biaya total yang dihabiskan ilmuwan negara berkembang untuk menarik makalah-makalah yang mereka tulis jika sekali waktu jurnal sejenis ini dimasukkan dalam daftar hitam pihak berwenang.

Permasalahan jurnal predator tidak akan begitu kronis jika para ilmuwan negara berkembang kembali menyadari hakikat makalah ilmiah (Kompas, 21 Februari 2012). Seberkas makalah ilmiah tidak lebih dari laporan hasil penelitian yang ditulis dalam format tertentu untuk dibaca para peneliti lain yang mengerti atau berkepentingan dengan hasil penelitian tersebut.

Jurnal komunitas

Saat ini ada puluhan ribu jurnal ilmiah sehingga peneliti harus mencari jurnal yang visible bagi pembaca targetnya. Jurnal komunitas—mayoritas komunitas penelitian tertentu memublikasikan hasil penelitian mereka—merupakan jurnal yang paling tepat untuk tujuan ini.

Di bidang fisika, misalnya, ada jurnal yang diterbitkan American Physical Society atau European Physical Journal dan merupakan contoh jurnal-jurnal komunitas yang sangat baik.

Kita sangat yakin bahwa ilmuwan yang baik tidak memerlukan jurnal predator karena komunitas ilmiahnya sudah memiliki jurnal-jurnal standar komunitas yang visibilitasnya sangat tinggi di komunitas itu. Meski saya tidak menampik bahwa IF dapat menggambarkan kualitas jurnal secara kualitatif, jurnal komunitas akan lebih efektif menyampaikan informasi.

Jurnal predator bisa dikategorikan sebagai jurnal subhat (meragukan) sehingga sebaiknya kita hindari.

Terry Mart Pengajar Departemen Fisika FMIPA UI
Sumber : Kompas Cetak
Mengenali Penulis artikel di atas:
Dosen Berprestasi

Dr. Terry Mart merupakan salah satu fisikawan Indonesia yang paling produktif dalam berkarya. Saat ini selain menggeluti bidang Fisika Nuklir, ia juga sedang menggeluti bidang Ekonofisika. Prestasinya telah terlihat sejak ia mahasiswa, selain menjabat sebagai ketua senat pada tahun 1987-1988, ia juga lulus dengan predikat Cum Laude. Sejak awal ia tertarik dengan penelitian tentang produksi partikel nuklir. Mulai dari skripsinya yang berjudul “Electroproduction of p(e; e0K+)S0” sampai pada tesisnya yang berjudul “Electromagnetic Production of Kaons off the Nucleon and 3He”, dan masih banyak penelitian dan karya ilmiahnya yang berkaitan dengan tema tersebut. Berbagai penghargaan telah diterimanya, diantaranya adalah: Mahasiswa Teladan FMIPA Universitas Indonesia sebagai Best Performance Student pada tahun 1987; The Best Young Researcher Award di Universitas Indonesia pada tahun 1997; International Publication Awards di Universitas Indonesia pada tahun 1998-2007; dan Habibie (Former Indonesian President) Award, for Pioneering Theoretical Research in Indonesia pada tahun 2001.
…dst

Fisikawan Itu Akhirnya Menjadi Guru Besar


Rabu, 14 Maret 2012 | 21:08 WIB
DEPOK, KOMPAS.com — Fisikawan Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Terry Mart, dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Fisika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Pengukuhan dipimpin Rektor UI, Gumilar Rusliwa Somantri, Rabu (14/3/2012), di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat. Terry Mart, salah satu fisikawan Indonesia yang produktif. Lebih kurang 117 publikasi ilmiah telah dihasilkan dalam jurnal Physical Review, yang merupakan jurnal fisika bergengsi dalam lingkup internasional. Terry Mart lahir pada 3 Maret 1965 di Palembang, Sumatera Selatan. Kecemerlangan Terry Mart sudah terlihat sejak ia mahasiswa. Lulusan Sarjana Fisika berpredikat cum laude FMIPA UI pada tahun 1988 ini, memperoleh gelar doktor berpredikat cum laude dari Institut f¨ur Kernphysik, Universit¨at Mainz, Jerman, pada 1996 dengan tesis berjudul “Electromagnetic Production of Kaons off the Nucleon and 3He”. Prestasi lain yang dicapai, di antaranya The Best Young Researcher Award UI 1997, International Publication Awards UI pada tahun 1998-2007, Habibie Award 2001, Outstanding Southeast Asian Scientists dari South East Asia-European Union Network tahun 2009, dan Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2009.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar