Senin, 15 April 2013

Pantulan Keimanan



Suatu hari bibi Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz pergi ke rumahnya dengan maksud hendak meminta tambahan dari Baitulmal. Ketika wanita itu masuk, ia melihat keponakannya yang Amirul Mukminin itu sedang makan kacang adas dan bawang (makanan rakyat biasa).

Melihat bibinya datang, Umar menghentikan makannya. Ia sudah tahu maksud kedatangan bibinya. Lalu Umar bin Abdul Aziz mengambil sedirham uang perak, dan dibakarnya di atas api. 

Sesudah cukup panas, ia bungkus uang perak itu dengan kain dan diberikan ke tangan bibinya. “Inilah tambahan yang bibi mintakan itu!” ujarnya.

Karuan saja, begitu tangan wanita itu menggenggam bungkusan tersebut, ia menjerit kepanasan. Lalu Umar berkata menjelaskan, “Jika api dunia terasa amat panas, bagaimana dengan api akhirat  kelak yang akan membakar aku dan bibi, karena menyelewengkan harta kaum Muslimin.”

Sebuah harmoni yang indah sekali dari keimanan dan kecerdasan, yang menyatu dalam diri pemimpin. Betapa konsep keimanan yang menghunjam dan aplikatif dalam diri sang muslim punya kontribusi besar dalam menciptakan kehidupan yang manis.  

Sedang hari-hari ini, bagaimana ruh keimanan itu menguap begitu saja, dan tak lebih hanya menjadi wacana belaka. Karena deretan penyelewengan, penyalahgunaan jabatan, korupsi, dalam berbagai level, menjadi santapan harian media kita.

Menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa hanya ada dalam slogan, tidak dalam amalan. Kehadiran lembaga khusus yang menangani kasus korupsi saja, KPK, sudah cukup menjadi sinyal betapa korupsi merupakan penyakit akut di sini. 

Pekik keimanan dibungkam sedemikian rupa, sehingga yang lahir adalah sikap-sikap yang berlawanan dengan kehendak Ilahi, yang dipicu oleh nafsunya sendiri, keluarga, atau kroni-kroninya.

Sebagaimana tersimbul dalam narasi di atas, Umar bin Abdul Aziz piawai sekali dalam menangkis hasutan keluarganya untuk merampas kekayaan negara (umat), yang dibentengi dengan kekuatan iman.

Pantulan keimanan yang sama juga pernah terjadi pada era Nabi. Seperti yang  dituturkan Ummu Salamah, ada dua orang yang bertikai menyangkut warisan. Keduanya tiada bukti, kecuali hanya pengakuan mereka saja. 

Masing-masing mengklaim: “Ini hak saya!” Seraya menolak kalau harta itu milik salah seorang dari keduanya. Lalu keduanya mengadukan perkaranya kepada Rasulullah SAW, tapi di dadanya tetap bercokol egoisme yang tinggi.

Kemudian Rasulullah saw meremukkan telinga dan hati keduanya dengan sabdanya yang hidup ini: “Aku hanyalah manusia biasa, dan kalian berselisih serta meminta keputusan kepadaku.'' 

Rasulullah melanjutkan, ''Boleh jadi salah seorang di antara kalian lebih hebat dalam memberikan argumentasi dari yang lain, sehingga aku memutuskan sesuai dengan apa yang kudengar darinya.'' 

''Jika aku memenangkan seseorang dengan sesuatu yang merupakan hak saudaranya, maka janganlah ia mengambilnya sedikit pun. Karena berarti aku menyematkan lempengan api neraka padanya.”

Setelah mendengar sabda Nabi itu, tersentuhlah tali keimanan dari hati keduanya, bersemilah ketakutan kepada Allah dan (siksa-Nya) di kampung akhirat. Lalu keduanya menangis, seraya masing-masing berujar kepada yang lain, “Hak saya, untuk engkau!”

“Jika kalian memang hendak berbuat demikian,” ucap Nabi, “Maka bagilah dan lakukanlah dengan benar. Lantas minta halallah masing-masing kalian berdua, dan hendaklah toleran terhadap apa yang mungkin ia merupakan hak saudaranya.”



Oleh Makmun Nawawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar