Sabtu, 20 April 2013

SABARNYA RASULULLAH SAW


Makna Sabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "Shobaro", yang membentuk infinitif (masdar) menjadi "shabran". Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur'an:
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi/ 18 : 28)

Perintah untuk bersabar pada ayat di atas, adalah untuk menahan diri dari keingingan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rab nya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT.

Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah:
Menahan diri dari sifat kegeundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.


Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-Qur'an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidak sabaran untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain sebagainya.

Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang). Artinya untuk berbuat seperti itu perlu kesabaran untuk mengeyampingkan keiinginan jiwanya yang menginginkan rasa santai, bermalas-malasan dan lain sebagainya. Sabar dalam jihad juga berarti keteguhan untuk menghadapi musuh, serta tidak lari dari medan peperangan. Orang yang lari dari medan peperangan karena takut, adalah salah satu indikasi tidak sabar.

SABAR, kata para ahli bahasa, secara harfiah berarti “bertahan” atau “menahan diri”. Sebuah sifat mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang, dalam status dan peran apa pun. Bentuk konkret sabar yang dilembagakan dalam (agama) Islam antara lain adalah kesadaran untuk ber-imsak (menahan diri), yang diformalkan ajarannya dalam kewajiban berpuasa. Ketika berpuasa, seorang Muslim harus “menahan diri” dari perbuatan-perbuatan yang tidak perlu, apalagi perbuatan yang dilarang, dan untuk selanjutnya — bersikap proaktif untuk beramal shalih, meskipun harus bergulat dengan realitas serba tidak ideal, di antaranya: kondisi “lapar dan dahaga”.
Sayang! Pemahaman sebagian orang terhadap ajaran untuk “menahan diri” ini seringkali terjebak pada pemaknaan eksoterik (lahiriah), menahan diri dari makan- minum, dan utamanya “jima’” (hubungan badan suami istri).


Hakikat Kesabaran

Kesabaran terdiri atas ilmu, keadaan, dan perbuatan. Ilmu diibaratkan sebuah pohon, keadaan seperti rantingnya, dan perbuatan seperti buahnya. Orang yang bersabar akan mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan sepenuh hati. Kesabaran karena ibadah akan memperoleh kebahagiaan untuk selama-lamanya. 

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(QS. Al-Baqarah: 153)


Sabar Sebagaimana Digambarkan Dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri, terdapat 103 kali disebut dalam Al-Qur’an, baik berbentuk isim maupun fi’ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah swt.

1. Sabar merupakan perintah Allah. “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153). Ayat-ayat yang serupa Ali Imran: 200, An-Nahl: 127, Al-Anfal: 46, Yunus: 109, Hud: 115.

2. Larangan isti’jal (tergesa-gesa). “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…” (Al-Ahqaf: 35)

3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar: “…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 177)

4. Allah akan mencintai orang-orang yang sabar. “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Artinya Allah senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. “Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)

6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. (Ar-Ra’d: 23 – 24)


Kesabaran  Dalam Hadits 

Sebagaimana dalam Al-Qur’an, dalam hadits banyak sekali sabda Rasulullah yang menggambarkan kesabaran. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan sabar. 

Secara garis besar:

1. Kesabaran merupakan “dhiya’ ” (cahaya yang amat terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah mengungkapkan, “…dan kesabaran merupakan cahaya yang terang…” (HR. Muslim)

2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan dan dilatih secara optimal. Rasulullah pernah menggambarkan: “…barang siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…” (HR. Bukhari)

3. Kesabaran merupakan anugerah Allah yang paling baik. Rasulullah mengatakan, “…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (Muttafaqun Alaih)

4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mukmin, sebagaimana hadits yang terdapat pada muqadimah; “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya.” (HR. Muslim)

5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala surga. Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian diabersabar, maka aku gantikan surga baginya’.” (HR. Bukhari)

6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas’ud dalam sebuah riwayat pernah mengatakan: Dari Abdullan bin Mas’ud berkata”Seakan-akan aku memandang Rasulullah saw. menceritakan salah seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudia ia mengusap darah dari wajahnya seraya berkata, ‘Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari)

7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat. Rasulullah pernah menggambarkan dalam sebuah hadits; Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah.” (HR. Bukhari)

8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullan saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim)

9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah saw. mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari Muslim)


Mukmin yang Baik

Dari Suhaib r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim)

Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad sebagaimana di atas, melalui jalur Tsabit dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Suhaib dari Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh:
· Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa Al-Raqa’iq, Bab Al-Mu’min Amruhu Kulluhu Khair, hadits no 2999.
· Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam Musnadnya, yaitu hadits no 18455, 18360, 23406 & 23412.
· Diriwayatkan juga oleh Imam al-Darimi, dalam Sunannya, Kitab Al-Riqaq, Bab Al-Mu’min Yu’jaru Fi Kulli Syai’, hadits no 2777.
Setiap mukmin digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah ‘ajaban’. Pesona berpangkal dari adanya positif thinking seorang mukminKetika mendapatkan kebaikan, ia refleksikan dalam bentuk syukur terhadap Allah swt. Karena ia paham, hal tersebut merupakan anugerah Allah. Dan tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya melainkan pasti sesuatu tersebut adalah positif baginya. Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah, ia akan bersabar. Karena ia yakin, hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya yang ada rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah swt.


Urgensi Kesabaran

Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran setengah keimanan. Sabar memiliki kaitan erat dengan keimanan: seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menggambarkan ciri dan keutamaan orang beriman sebagaimana hadits di atas.


Bentuk-Bentuk Kesabaran

Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga:

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad.

2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, dan memandang sesuatu yang haram.

3. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta dan kehilangan orang yang dicintai.


Kiat-kiat Untuk Meningkatkan Kesabaran

Ketidaksabaran (baca; isti’jal) merupakan salah satu penyakit hati, yang harus diterapi sejak dini. Karena hal ini memilki dampak negatif pada amal. Seperti hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam kemaksiatan, enggan melaksanakan ibadah. Oleh karena itulah, diperlukan beberapa kiat guna meningkatkan kesabaran. 
Di antaranya:
1. Mengikhlaskan niat kepada Allah swt.
2. Memperbanyak tilawah (membaca) Al-Qur’an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan.
3. Memperbanyak puasa sunnah. Puasa merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih kesabaran.
4. Mujahadatun nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat untuk mengalahkan nafsu yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas, marah, dan kikir.
5. Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna.
6. Perlu mengadakan latihan-latihan sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah dari pada menyaksikan televisi, misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah.
7. Membaca-baca kisah-kisah kesabaran para sahabat, tabi’in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya.


Manfaat dan Hikmah Sabar

Sabar memiliki banyak manfaat dan hikmahnya, di antaranya sebagai berikut.

1. Sabar Sebagai Penolong

Kesabaran bisa menjadi penolong yang akan menyelamatkan seseorang dari bahaya,
baik bahaya dunia terlebih lagi bahaya akhirat. Contoh kecilnya misalnya di
dalam berkendaraan.

Betapa pun ia terburu-buru, ia tetap mengemudikan kendaraannya dengan penuh
kehati-hatian dan sesuai aturan. Saat lampu lalu lintas berwarna merah, ia pun
berhenti dengan rela, saat di dalam kota, kendaraan pun diperlamban, tidak
melebihi 40 atau 50 km/jam. Ia tetap menghargai hak-hak kendaraan lain yang ada
di depan maupun di belakang, termasuk memberi kesempatan kepada pejalan kaki
atau pengguna sepeda.

Jika kesabaran demikian yang dipraktikkan setiap pengendara kendaraan bermotor,
maka Insya Allah ia akan selamat dari kecelakaan, ia selamat dari kejaran polisi
karena tidak mengebut di dalam kota sampai melampaui batas kecepatan, dan orang
lain pun akan selamat dari ulahnya kalau saja ia tidak sabar akibat terlalu
cepat.

2. Pembawa Keberuntungan

Setiap manusia normal pasti menginginkan keberuntungan. Seorang yang sedang
berdagang, ia menginginkan dapat memperoleh laba yang banyak dari dagangannya.
Seorang siswa, pelajar atau mahasiswa, ia menginginkan keberuntungan dengan
kelulusan dari studinya, baik keberuntungan dalam arti naik kelas, naik tingkat,
atau lulus plus karena memperoleh nilai yang exelence.

Sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT berikut, “Hai orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga
dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 200).

Tak ada yang perlu diragukan dari janji Allah SWT, karena Allah tak pernah dan
tak akan pernah mengingkari janji-Nya. Tak ada yang perlu dibimbangkan lagi dari
keberuntungan bagi orang-orang beriman yang sabar dan bertakwa, keberuntungan
itu pasti datang, pasti akan mereka terima, baik di dunia maupun di akhirat.
Kalau tidak di dunia, pasti di akhirat, asal mereka benar-benar beriman dan
benar-benar sabar.

3. Mendatangkan Keuntungan yang Besar

Orang berdagang, lalu untung, itu biasa. Tapi, kalau pedagang yang beruntung
besar, nah ini pantas menjadi berita. Inilah yang dinyatakan Allah SWT dalam
Al-Qur`an bahwa keuntungan yang besar akan dapat diraih oleh hamba-hamba-Nya
yang sabar.

Sabar di dalam menjalankan perintah Allah SWT dan ajaran Rasulullah saw,
meskipun keadaannya dalam kesulitan. Tetap kokoh dalam menjauhi semua yang
dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, serta tahan uji terhadap segala cobaan.

Allah SWT berfirman, “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS Fushshilat [41]: 35).

Dengan demikian, bersabarlah. Niscaya kesabaran akan menjemput Anda ke tempat
terbaik. Terbaik dalam peruntungan, hasil, dan tindakan. Sampai akhirnya Anda
akan mereguk kenikmatan abadi di akhirat kelak.

Kesabaran Rasulullah saw
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah memukul seorangpun dengan tangan beliau, tidak itu istri beliau, tidak pula pelayan beliau, kecuali saat berjihad di jalan Allah. Beliau tidak pernah sekalipun disakiti lalu beliau membalas pelakunya, kecuali bila hal-hal yang Allah haramkan dilanggar, maka beliau baru membalas karena Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim no. 2328)


Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata;
كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ


“Aku pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ketika itu beliau mengenakan selendang yang tebal dan kasar buatan Najran. Kemudian seorang Arab Badui datang lalu menarik beliau dengan tarikan yang sangat keras hingga aku melihat permukaan pundak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berbekas akibat kerasnya tarikan selendang itu. Lalu orang itu berkata, “Berikanlah aku harta Allah yang ada padamu”. Kemudian beliau memandang kepada orang Arab Badu itu seraya tertawa, lalu beliau memberikan sesuatu kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 5809 dan Muslim no. 1057)

Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita: Bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah anda pernah mengalami peristiwa yang lebih berat dari kejadian perang Uhud?”. 

Beliau menjawab:

لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ فَقَالَ ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Sungguh aku sering mengalami peristiwa berat dari kaummu. Dan peristiwa yang paling berat yang pernah aku alami dalam menghadapi mereka adalah ketika peristiwa pada hari Al-Aqabah ketika aku meminta perlindungan kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin ‘Abdi Kulal namun dia tidak mau memenuhi keinginanku. Maka akhirnya aku pergi dengan wajah gelisah. Aku tidak sadar kecuali aku telah berada di Qarnu ats-Tsa’aalib (Qarnu al-Manazil). Aku mengangkat kepalaku ternyata aku berada di bawah awan yang menaungiku, dan ternyata di atasnya ada malaikat Jibril yang kemudian memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan apa yang mereka katakana kepadamu. Dan Allah telah mengutus kepadamu malaikat gunung yang siap diperintah apa saja sesuai kehendakmu terhadap mereka”. Maka malaikat gunung memanggilku, dia memberi salam kepadaku kemudian berkata, “Wahai Muhammad, apa yang kamu inginkan katakanlah. Jika kamu kehendaki, aku akan timpakan kepada mereka dua gunung Akhsyab”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan, karena aku berharap Allah akan memunculkan dari anak keturunan mereka orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”.(HR. Al-Bukhari no. 2312 dan Muslim no. 1795)

Pelajaran yang bisa dipetik dari ketiga hadits di atas:

1.    Kelemahlembutan Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada keluarga dan pelayan beliau, dimana beliau sama sekali tidak pernah memukul mereka walaupun mereka berbuat kesalahan.

2.    Sifat pemaaf Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sangat tinggi sehingga beliau tidak pernah membalas dendam pada orang yang menzhalimi beliau. Ini nampak jelas pada hadits Anas dan hadits Aisyah yang terakhir di atas.

3.    Diperbolehkan marah atau memukul -tentunya sesuai dengan situasi dan kondisi- jika berkenaan dengan hal-hal yang Allah haramkan dilanggar.

4.    Di antara bentuk kesempurnaan cinta kepada Allah adalah cinta dan benci karena Allah, senang dan marah juga karena Allah.

5.    Penetapan adanya malaikat gunung dan besarnya kekuatannya.

6.    Kedudukan para nabi lebih tinggi daripada kedudukan para malaikat, karena di antara tugas para malaikat adalah untuk melayani para nabi.

7.    Wajibnya seorang dai untuk bersabar dari perilaku jelek orang yang dia dakwahi, sebagaimana seorang guru wajib bersabar atas tingkah laku muridnya yang jelek.

8.    Sepantasnya seorang dai memaafkan dan memaklumi kesalahan orang yang jahil terhadap agama.

9.    Hendaknya para dai memikirkan apa yang mereka bisa berikan kepada mad’u (orang yang didakwahi) dan bukan berfikir apa yang bisa saya dapatkan dari mad’u.

10.    Semakin mirip seseorang dengan para nabi maka akan semakin berat ujian yang akan menimpa dirinya.


Kecerdasan Emosi Rasulullah saw

Kecerdasan emosi Rasulullah, dipertunjukkannya sebagai teladan bagi umatnya. Salah satunya adalah kesabaran dan kebaikan hatinya menghadapi wanita Yahudi yang senantiasa manyakiti hatinya. Si wanita ini adalah tetangga beliau sendiri, yang senantiasa menyempatkan diri melongokkan kepalanya lewat jendela jika Rasulullah lewat di depan rumahnya. Lantas dengan lantang keluarlah umpatan, caci maki serta berbagai kata-kata ejekan dari mulutnya, menghina Rasulullah.

Penuh kesabaran, Rasulullah mendengarkan saja seluruh caci maki si wanita Yahudi tersebut tanpa memberi komentar. Hingga suatu hari, Rasulullah merasa heran ketika tidak mendengarnya suara yang menghinakan dirinya tersebut. Hingga tiga hari suara si wanita itu belum terdengar, beliau bahkan berinisiatif datang berkunjung ke rumah tersebut untuk menanyakan kondisi si wanita. Tahulah Rasulullah bahwa wanita Yahudi tersebut sedang sakit. Maka dalam kesempatan berkunjung tersebut Rasulullah tak terlupa mendo’akan kesembuhan baginya. Si wanita hanya terdiam menyaksikan keindahan perilaku musuhnya ini, sehingga akhirnya datang hidayah yang membawanya masuk menjadi pengikut Islam.

Dengan kecerdasan emosinya, Rasulullah tahu bahwa ejekan si wanita Yahudi bukanlah tantangan permusuhan yang berbahaya. Itu hanyalah keluar dari mulut seorang wanita yang memang relatif lebih sulit mengendalikan lidah dari pada laki-laki. Setelah Rasulullah mampu memahami pikiran lawannya, barulah beliau tentukan, apakah memilih untuk menyerang dan membalas, membiarkan saja, atau mendekatinya dengan ramah. Terbukti dengan kecerdasan emosinya, ketika dipilihnya alternatif ketiga, ternyata mendapatkan hasil yang optimal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar