Senin, 01 April 2013

Korupsi Ibadah


Banyak penyeru menekankan pentingnya ibadah sebagai cara memerangi korupsi. Pernahkah terpikir bahwa pengamalan ibadah yang salah justru bisa menyuburkan korupsi? Akar terdalam dari tindakan korupsi adalah korupsi terhadap peribadatan. Alquran mengisyaratkan hal ini sebagai pangkal kecelakaan. ”Maka, celakalah orang-orang yang shalat; yang lalai dalam shalatnya; yang hanya pamer; yang tidak memberikan pertolongan.”

Lebih dari tujuh dekade yang lalu, Mohandas K Gandhi menengarai adanya ancaman yang me matikan dari “tujuh dosa sosial”. Satu di anta ranya adalah ”peribadatan tanpa pengorbanan”. Dalam Hikayat Florentin, Machiavelli menandai ”kota korup” dengan sejumlah ciri. Antara lain, pemahaman keagamaan penduduk ”berdasarkan kemalasan bukan kesalehan”. Yang ia maksudkan adalah keagamaan yang menekankan aspek formal dan ritual ketimbang pengembangan esensi ajaran.

Memuja ”insan pembual dari pada insan pekerja,” memperindah tempat ibadah daripada menolong yang papa. Modus keagamaan seperti ini, menurutnya, ”membuat orang tak lagi beramal saleh, yang mengantarkan penduduk menjadi mangsa empuk tirani politik dan modal.” Membicarakan hal ini penting di bulan Ramadhan yang padat ibadah. Alangkah malangnya, jika peringatan Rasulullah menimpa kita, ”Betapa banyak yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.”

Untuk tidak tergelincir dalam praktik korupsi terhadap ibadah, kita perlu menangkap pesan moral dari setiap peribadatan. Salah satu pesan moral dari puasa adalah menahan diri agar perut kita tidak menjadi kuburan bagi orang lain. Pesan ini, pertama dialamatkan kepada golongan pemimpin. Mengapa? Rasulullah mengingatkan, ”Tidak akan tersucikan suatu umat se lama si lemah tidak dapat menuntut dan mem peroleh kembali haknya yang dirampas oleh orang yang kuat tanpa rasa takut.”

Terhadap golongan ini, puasa mengajarkan penghayatan rasa lapar, untuk membangkitkan rasa kasih sayang dan tanggung jawab bagi rakyatnya. Dalam hal ini, Sayidina Ali menasihatkan, ”Tanamkanlah kasih sayang di hatimu terhadap rakyatmu, dan perlakukanlah mereka secara lemah lembut. Dan janganlah sekali-kali engkau menjadikan dirimu seperti binatang buas, lalu engkau menjadikan rakyatmu sendiri sebagai mangsamu.”

Kedua, pesan itu juga ditujukan kepada golongan elite. Mengapa? Imam Ali mengingat kan, ”Sesungguhnya rakyat yang berasal dari golongan elite ini adalah yang paling memberatkan wali negeri dalam masa kemakmuran, paling kecil memberikan bantuan saat terjadi musibah, paling tidak menyukai keadilan, paling banyak permintaannya secara terus-menerus, tetapi paling sedikit rasa terima kasihnya bila diberi, paling lambat menerima alasan bila di tolak, dan paling lemah kesabarannya bila berhadapan dengan berbagai bencana.”

Terhadap golongan ini, puasa mengajarkan bahwa manusia tidak akan pernah merasa ”puas” hingga bisa ”puasa” (menahan diri). Puasa juga mengajak mereka untuk berzuhud: ”Tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan-Nya kepadamu” (QS 57: 23), dengan menumbuhkan empati terhadap yang papa dan nestapa. Dengan demi kian, puasa mengajak kita untuk melampaui ego personal menuju kesadaran transpersonal.

Orang-orang dalam kesadaran transpersonal (makrifat) pada gilirannya akan memiliki kesadaran hakikat. Suatu bentuk kesadaran Rabaniyah yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan alam semesta.

Dengan semangat Rabaniyah timbul keinsyafan akan tanggung jawab kepemimpinan. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, ”Setiap kamu pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” Tanggung jawab kepemimpinan ini pada gilirannya bukan saja menuntut perhatian keluar, tetapi terlebih dahulu harus menengok ke dalam, mengasah diri sendiri. Orang yang sadar dirinya, akan memahami Tuhannya.

Dan orang yang memahami kebesaran Tuhannya akan menyadari bahwa semakin besar bukan kian serakah dan bahaya bagi yang lain, malahan memberikan ruang hidup bagi keragaman yang lain. Semoga puasa kita terbebas dari korupsi ibadah!     

oleh: Yudi Latif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar