Minggu, 08 September 2013

Jadilah Kesatria Sejati......




Kafir Makkah sedang memeras otak. Abu Jahal, Utbah, Syaibah, Abu Sufyan, Jabir bin Muth’im, Abu Bukhturi, Abu Aswad, Hakim bin Hizam, Umayah bin Khalaf, dan sejumlah dedengkot kafir lain bersidang untuk mengatasi Rasulullah. Abu Bukhturi mengusulkan agar Rasulullah dirantai dan dibui. Abu Aswad menyarankan agar Rasulullah diusir saja dari Makkah. 

Semua usulan itu kandas di ruang sidang. Kesepakatan baru didapat dari ide dedengkot utama, Abu Jahal. Menurutnya, harus dikumpulkan pemuda-pemuda pemberani dari setiap kabilah. Mereka lalu dipersenjatai dan ditugasi untuk mengepung rumah Rasulullah di malam hari, dan mengeroyok beliau sampai mati. Dengan begitu, Bani Hasyim tidak akan mungkin menuntut balas kepada seluruh kabilah. 

Keputusan diketuk. Masing-masing pihak bekerja sesuai tugas. Tetapi, Jibril segera kirim kabar dan memerintahkan Rasulullah untuk hijrah. Sebagian sahabat masih berada di Habasyah dan sebagian lain sudah hijrah ke Madinah. Yang tersisa di Makkah tinggal Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq, dan Ali bin Abu Thalib. 

Situasi malam itu sungguh mencekam. Berpuluh pemuda utusan kaum kafir Makkah mengintai kamar Rasulullah. Mereka mondar-mandir di depan pintu rumah, bersiap melakukan penyerangan sekiranya beliau keluar rumah. Rasulullah sendiri tidur ditemani Abu Bakar As-Shiddiq dan Ali bin Abu Thalib.

Tepat tengah malam, beliau keluar bersama Abu Bakar, berangkat ke Madinah. Untuk mengelabui musuh, Rasulullah lantas meminta Ali untuk tidur di ranjang beliau. Kepadanya, beliau juga berpesan agar memulangkan semua barang yang selama ini diamanahkan kepada beliau. Subhanallah. Ali patuh tanpa syarat. Padahal dia sadar bahwa nyawanya sedang menjadi taruhan. 

Boleh jadi tidak ada orang tua yang merelakan anaknya menyongsong bahaya. Tetapi Rasulullah jelas tidak hendak menjerumuskan putra asuh kesayangannya itu ke dalam maut. Meminta Ali untuk tidur di ranjang maut itu, beliau justru menanamkan jiwa kesatria kepadanya. Rasulullah pasti sudah berhitung bahwa Ali pasti selamat. Faktanya, tiga hari pasca peristiwa, pemuda 22 tahun itu menyusul Rasulullah ke Madinah. 

Ali memang pemuda pilihan. Selain cerdas, keberaniannya tidak tertandingkan. Dalam usia belia, dia bahkan rela menjadi tebusan nyawa Rasulullah. Keberanian dan kegeniusan itu pasti hasil pendidikan Rasulullah. Kelak, sejarah mencatat Ali sebagai tokoh Islam garda depan. Masuk Islam usia 8 tahun, dan hatinya telah dipenuhi keindahan Al-Qur’an sejak usia 10 tahun. Pantas dia berjuluk Kota Ilmu. 

“Dialah putra Ka’bah yang suci, asuhan wahyu yang mulia, panglima kebebasan, pembela keadilan, penggenggam ketakwaan, orator andal, pejuang gagah berani, dan tidak memiliki seekor unta pun untuk mengarungi lautan pasir mengerikan yang membentang antara Makkah dan Madinah,” tulis Ali Syariati dalam salah satu karyanya. Hasan Al-Basri juga menyatakan, “Ali telah mencurahkan tekad, ilmu, dan amal kepada Al-Qur’an. Baginya, Al-Qur’an ibarat kebun-kebun yang indah dan tanda-tanda yang jelas.”


Pendekar Jihad

Rasulullah telah berhasil mendidik Ali sebagai pribadi mulia. Dia cerdas namun santun, pemberani tetapi rendah hati, tegas sekaligus bijak, miskin nan dermawan. Tidak heran, dia mampu memenangi ‘persaingan’ dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab untuk memperistri putri Rasulullah tercinta, Fatimah Az-Zahrah. 

Dialah pendekar jihad yang membuat musuh-musuh Islam lari tunggang langgang. Kependekaran Ali di medan juang bisa dibuktikan, misalnya, dalam Perang Khaibar (629 M). Ketika itu, benteng Yahudi begitu susah ditembus, bahkan oleh pasukan yang dipimpin Abu Bakar dan Umar. Menyaksikan keadaan itu, Rasulullah akhirnya berkata, “Besok akan aku berikan bendera ini kepada seorang yang mencintai dan dicintai Allah dan Rasul-Nya. Melalui kedua tangannya, Allah akan memberikan kemenangan.”

Esok harinya, setelah pasukan bersiap, Rasulullah berteriak, “Dimana Ali bin Abu Thalib?” begitu Ali tiba, Rasulullah lalu memberi isyarat dengan tangan kanan beliau agar dia tampil ke depan. Rasulullah mengambil bendera, mengangkatnya, dan mengibarkannya tiga kali, sebelum meletakkan bendera itu di tangan kanan Ali. 

“Ambillah bendera ini,” tutur Rasulullah, “kemudian pergilah dengannya, sampai Allah membukakan kemenangan padamu.” Segera Ali maju memimpin pasukan. Tidak lama, benteng Yahudi yang sudah berhari-hari tidak dapat ditembus itu akhirnya dapat dikalahkan di bawah pimpinan Panglima Ali bin Abu Thalib.

Lain lagi kisah kependekaran Ali dalam Perang Khandak (627 M). Ketika itu, Ali sedang memimpin penggalian parit untuk membendung serangan musuh. Mendadak beberapa pasukan musuh di bawah pimpinan Amr bin Ash dan Ikrimah bin Abu Jahal menyeberangi parit. Amr berkata pongah, “Hai orang Arab, apa yang kalian lakukan? Hadapi aku! Kita duel sampai terbukti siapa yang layak untuk hidup.”

Ali menyuruh anak buahnya terus menggali parit, sementara dia menghampiri Amr dengan ketetapan hati yang bulat. “Aku akan menghadapimu, Hai Amr.” Amr mengangkat dagunya. “Aku tidak suka membunuh orang seperti dirimu. Ayahmu adalah sahabat setia ayahku. Karena itu, pergilah! Engkau masih muda.”

Ali masih menderap, mengabaikan kalimat Amr. Melihat kesungguhan Ali, tidak ada pilihan lain bagi Amr kecuali turun dari kuda. Dia menyiapkan pedang dan menyambut kedatangan Ali. Pertempuran dimulai. Suara logam saling hantam. Debu menghalangi pandangan. Orang-orang menebak bagaimana ujung pertempuran. Ikrimah masih duduk di punggung kuda. Dua orang lagi di belakangnya ikut mendegupkan jantung. 

“Allahu Akbar!” Suara yang mengejutkan Ikrimah. Jelas bukan teriakan Amr. Itu lantang suara Ali. Seketika Ikrimah sadar, nasib buruk sedang menimpa Amr. Alamat buruk juga buat dirinya. Segera dia menarik tali kekang kuda, diikuti dua orang anak buahnya. Ikrimah berhasil selamat. Tetapi dua orang di belakangnya terperosok galian. Beberapa tentara Muslim turun dan menuntaskan tugas perang.

Itulah Ali bin Abu Thalib. Sosok kesatria sejati, yang tumbuh dalam asuhan Panglima Sejati Berhati Suci. 

Oleh M Husnaini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar